Thursday, May 31, 2007


Bangsa Ini Sesungguhnya Bisa Indah...
Oleh : Asro Kamal Rokan

Di salah satu sisi Bundaran Hotel Indonesia tempat favorit pengunjuk rasa terdapat foto seluruh presiden Indonesia, dari mulai Presiden Sukarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Foto para presiden itu, dalam ukuran besar, juga terdapat di ruang utama Istana Merdeka.

Penempatan foto-foto tersebut boleh jadi dimaksudkan untuk mengingatkan kepada masyarakat bahwa para pemimpin Indonesia itu lepas dari pro-kontra dalam masa kepemimpinan masing-masing adalah bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah Republik ini. Mereka adalah pemimpin kita, pemimpin bangsa ini.

Saat melintas di Bundaran Hotel Indonesia, saya membayangkan: Betapa indah, apabila para pemimpin Indonesia tersebut, tentu yang kini masih ada, duduk bersama, berdialog, saling membantu untuk kepentingan rakyat dan bangsa ini.

Ketika Presiden Yudhoyono dan Amien Rais, Ahad (27/5) lalu bertemu dan menjalin hubungan silaturahim, tradisi mulia antarpemimpin sedang bergulir dan memberikan warna dan aroma segar bangsa ini. Perbedaan sikap politik dan itu sah-sah saja sedang tumbuh dalam suatu taman bernama silaturahim. Ia menjadi bunga dalam aneka warna, aroma, dan bentuk. Bunga-bunga itu tumbuh mekar, tidak saling meniadakan, membuat taman bangsa ini justru menjadi indah.

Kearifan, kesabaran, saling menasihati dalam kebenaran, sangat penting bagi bangsa ini, bangsa yang mencari jalan meningkatkan martabatnya, mengangkat kemiskinan, dan mengakhiri silang sengketa. Bangsa ini membutuhkan kearifan dan keteladanan. Membutuhkan sebanyak mungkin tokoh yang menyiramkan air dalam api yang berkobar, bukan justru mereka yang menyiramkan bensin dalam api menyala-nyala.

Saya ingat Pak Natsir. Ketika menjadi Perdana Menteri pada 1950-1951, Ketua Umum Masyumi itu melibatkan IJ Kasimo, FS Hariyadi (Partai Katholik), J Leimena dan AM Tambunan (Parkindo), dan tokoh-tokoh sosialis dalam kabinetnya. Bagi Pak Natsir yang pernah menjabat sebagai Wakil Presiden World Muslim Congress dan Presiden The Oxford Centre for Islamic Studies London bangsa ini harus diurus bersama.

Perbedaan politik yang tajam masa itu antara Masyumi, Partai Kristen, Katholik, Nasionalis, dan Komunis, tidak membuat tali silaturahim tokoh-tokohnya putus. Itu karena, menurut Pak Natsir, yang bertengkar itu pikiran, masalah, bukan personal. ''Setelah itu, saya bisa minum teh, makan-makan bersama dengan tokoh-tokoh PKI,'' kata Pak Natsir. Beberapa masalah penting, malah diselesaikan melalui pertemuan informal. Para politisi tidak bicara kami dan kamu, tetapi kita, dalam hubungan kepentingan bangsa. (Majalah Editor, 23/7/1988).

Setelah keluar dari penjara masa Sukarno, hak-hak politik dan Pak Natsir tak kunjung pulih pada masa Orde Baru. Bahkan dimusuhi dan dilarang ke luar negeri. Namun, Pak Natsir pula yang meminta PM Jepang Takeo Fukuda membantu pendanaan Indonesia. ''Beliau yang meyakinkan kami tentang perjuangan masa depan Pemerintahan Orde Baru,'' tulis Fukuda. Pak Natsir pula yang menyurati PM Malaysia Tengku Abdul Rahman agar menerima tim perunding Indonesia dalam pemulihan hubungan kedua negara.

Pak Natsir tetap menghormati Sukarno meski rezim itu yang memenjarakannya, tetap membantu Indonesia pada masa Orde Baru meski rezim itu yang membelenggunya. Pak Natsir tidak pernah dendam. Begitulah seorang negarawan. Pak SBY dan Pak Amien telah bertemu dan ingin terus membina silaturahim. Betapa indah jika seluruh pemimpin berdialog, duduk bersama, dan memecahkan persoalan untuk menolong rakyat. Bangsa ini, bangsa yang memerlukan pertolongan ini, membutuhkan banyak negawaran. Seorang negarawan akan selalu dikenang karena ia berpikir dan berbuat untuk kepentingan negara dan rakyat, bukan untuk dirinya.

No comments:

A r s i p