Monday, May 21, 2007

Estimasi Berlebihan Terhadap PKS

Oleh :

Hartono
Direktur Bening Citra Media Research and Monitoring

April 2007 ini Partai Keadilan Sejahtera (PKS) genap berusia sembilan tahun. Boleh dibilang, PKS masih hijau dalam percaturan politik di Tanah Air. Meski masih terbilang hijau, harus diakui PKS ternyata mampu bersaing dengan partai-partai lain yang sudah banyak makan asam garam perpolitikan. Pada Pemilu 1999 ketika masih menyandang nama PK, partai ini hanya memperoleh suara 1,3 juta atau 2,1 persen suara pemilih. Hasil ini membuat PK tidak lolos electoral threshold, sehingga pengurusnya harus mendirikan partai baru jika ingin ikut Pemilu 2004.

Setelah berganti jubah menjadi PKS, peruntungan partai ini membaik. Isu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang diusungnya lewat slogan bersih dan peduli, berhasil menggugah emosi masyarakat dan membuat masyarakat menaruh simpati besar pada partai ini. Masyarakat, terutama kalangan menengah, menjadikan PKS sebagai partai alternatif di tengah kejenuhan mereka terhadap parpol-parpol yang ada.

Dan dukungan masyarakat itu kemudian menjadikan PKS melompat lumayan tinggi dengan perolehan suara 8,3 juta atau 7,3 persen pada Pemilu 2004 lalu. Perolehan itu mengantarkan 45 kader PKS ke Senayan. Dan lebih dari 1.000 kader lainnya mengisi kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. PKS pun mulai dihitung dalam kancah politik nasional. Dalam percaturan politik, baik di tingkat pusat maupun daerah, partai ini tidak lagi dipandang sebelah mata. Bahkan di sejumlah daerah PKS dipersepsi memiliki kekuatan yang begitu hebat sehingga memerlukan koalisi besar partai untuk mengadang calon yang diusung PKS.

Koalisi Jakarta yang dibangun 16 parpol besar dan kecil untuk pilkada DKI Jakarta contohnya. Partai sebesar Golkar, PDI Perjuangan, juga PPP merasa perlu bersatu untuk menandingi kekuatan PKS di Jakarta. Sedigdaya itukah PKS sehingga perlu dilawan oleh sebuah koalisi besar parpol?

Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta, estimasi terhadap kekuatan PKS terasa berlebihan. Jika saja para peserta Koalisi Jakarta mau menjadikan riset-riset yang dilakukan berbagai lembaga, tentu mereka tidak akan memiliki persepsi berlebihan seperti itu. Survei-survei itu menunjukkan, sejak Pemilu 2004 persentase perolehan suara PKS terus menurun.

Dalam survei yang dipublikasi Maret 2007, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyebut dukungan ke PKS tinggal sekitar 5,6 persen. Jauh di bawah PDI-P (22,3 persen), Partai Golkar (16,6 persen), dan Partai Demokrat (16,3 persen). Artinya jika pemilu dilakukan saat survei itu digelar, tinggal 5,6 persen masyarakat Indonesia yang memilih PKS. Perolehan suara PKS anjlok 1,7 persen dibanding Pemilu 2004.

Masih dalam konteks pilkada DKI Jakarta, calon yang diusung PKS pun tidak sementereng calon lain. Tingkat pengenalan (awareness) maupun tingkat pilihan masyarakat DKI Jakarta terhadap Adang Daradjatun, calon gubernur yang dijagokan PKS, masih di bawah Agum Gumelar dan Fauzi Bowo.

Bercermin dari angka-angka survei tersebut, sulit memahami mengapa partai-partai besar itu berkoalisi 'mengeroyok' PKS? Sampai-sampai PDIP dan Partai Demokrat yang nota bene memiliki tiket untuk mencalonkan gubernur tanpa perlu berkoalisi dengan partai lain, rela memberikan tiketnya kepada calon yang diusung Partai Golkar. PDIP, yang menyatakan diri sebagai partai oposisi, mau bergabung dengan Partai Demokrat (PD), yang menjadi penyangga utama pemerintah.

Ada sejumlah kemungkinan untuk menjelaskan fenomena itu. Pertama, ada kemungkinan elite partai peserta Koalisi Jakarta, tidak yakin, meragukan, atau mungkin tidak mempercayai hasil survei itu. Kekuatan riil PKS dianggap melampaui atau lebih besar dari angka-angka survei. Ini tentunya jadi bahan pertanyaan.

Kedua, ada kemungkinan para elite partai ikut termakan isu islamisasi yang akan dilakukan jika PKS dominan di suatu wilayah. Sehingga ada yang sempat menyebut PKS sebagai musuh ideologis. Yang lain menyebut koalisi besar itu untuk menjaga pluralisme dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam pandangan mereka jika PKS menang dikhawatirkan akan semena-mena menerapkan perda syariat sehingga mengancam pluralisme dan NKRI.

Alasan ini cukup mengherankan juga. Pasalnya, jika PKS dianggap sebagai musuh ideologis, mengapa hal itu hanya berlaku di Jakarta? Sementara dalam ratusan pilkada yang sudah digelar di berbagai daerah, partai-partai tersebut justru bahu membahu dengan PKS mengusung calon dalam pilkada.

Di kota Batam dan Balikpapan misalnya, calon dari Golkar dan PKS jalan berdampingan. Di Bontang, PDIP dan PKS maju bersama. Demikian juga dengan Partai Demokrat, dan partai-partai nasionalis lainnya, PKS berkoalisi di ajang pilkada di sejumlah daerah. Bahkan dalam pilkada di Papua, PKS bergabung dengan Partai Damai Sejahtera (PDS), dan Partai Sarikat Indonesia (PSI) membangun Koalisi Nusantara.

Kemudian terkait Perda syariah seperti di Tangerang, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, dan beberapa daerah lainnya, para elite politik itu tentu tahu jawabannya dengan pasti. Di daerah-daerah tersebut, PKS tidak dominan, baik di legislatif, apalagi eksekutif. Sebaliknya di daerah di mana PKS dominan, baik di legislatif maupun eksekutif hal yang selalu disangkakan tampaknya tidak terjadi. Di Depok misalnya. Di kota ini anggota legislatif PKS cukup signifikan jumlahnya. Demikian juga top eksekutif di kota itu dipegang oleh kader PKS. Namun tidak ada pemberlakuan perda syariat di situ.

Ketiga, ketakutan terhadap militansi kader-kader PKS. Sudah menjadi rahasia umum, PKS memiliki kader-kader dengan tingkat militansi yang tinggi. Militansi kader memang terbukti efektif dan efisien dalam menggerakkan mesin politik PKS. Jika mesin politik PKS bergerak kencang memasarkan atau mensosialisasikan kandidat yang diusungnya, dikhawatirkan akan mengubah angka-angka survei yang selama ini kurang menguntungkan bagi kandidat PKS. Kekhawatiran dan estimasi berlebihan para elite politik, yang kemudian melahirkan isu pengeroyokan terhadap PKS, sangat boleh jadi justru akan menguntungkan PKS.

No comments:

A r s i p