Tuesday, May 29, 2007

Krisis Pemimpin & Kepemimpinan

Syamsuddin Haris

Secara mengejutkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengecam sinyalemen mantan calon presiden Amien Rais tentang aliran dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan yang diduga juga dinikmati semua pasangan capres pada Pemilu 2004.

Haruskah Presiden Yudhoyono begitu reaktif merespons pernyataan Amien Rais yang bukan hanya tidak begitu spesifik menyerang Presiden, melainkan juga bersumber pada kesaksian terdakwa kasus korupsi dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi?

Mengapa pula kecaman itu harus dilakukan sendiri oleh Presiden Yudhoyono melalui konferensi pers resmi di Istana Kepresidenan? Apakah tidak ada persoalan bangsa yang jauh lebih serius daripada sekadar saling mengecam antartokoh bangsa?

Konflik personal

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul itu menggarisbawahi realitas bahwa bangsa kita sesungguhnya tengah mengalami krisis pemimpin dan kepemimpinan yang semakin parah. Betapa tidak, fenomena saling mengecam di antara para tokoh atau elite politik cenderung semakin meningkat dalam beberapa waktu terakhir ini. Saling mengecam secara terbuka itu, ironisnya, bahkan telah menyentuh wilayah personal dari masing-masing tokoh yang semestinya dihindari sejauh mungkin.

Kecenderungan saling mengecam dan konflik antartokoh bangsa yang bersifat personal jelas patut disesalkan. Hal ini bukan hanya karena konflik demikian cenderung emosional, tetapi juga memiliki dampak politik yang lebih buruk, yakni terpancingnya massa atau kelompok pendukung masing-masing tokoh yang bersangkutan untuk ikut terlibat dan melibatkan diri dalam konflik.

ATM partai politik

Sebenarnya sudah menjadi rahasia umum bahwa hampir semua partai politik di negeri ini hidup dari dana haram, baik yang mengalir melalui pejabat publik dan instansi pemerintah maupun melalui badan-badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha swasta. Tidak terkecuali para calon presiden dan wapres pada Pemilu 2004.

Persoalannya, sistem hukum di negeri kita masih terlalu lemah untuk mengungkap semua itu. Begitu pula aparat penegak hukum yang mudah tergoda oleh uang dan harta. Pada saat yang sama, berbagai aturan perundang-undangan justru didesain sedemikian rupa sehingga memungkinkan diakali oleh siapa saja yang memiliki niat busuk.

Partai politik secara obyektif tak mungkin hidup tanpa dana haram seperti terungkap melalui kasus DKP. Maka tidak mengherankan jika jabatan-jabatan politik yang dianggap "basah" menjadi incaran partai untuk diperebutkan.

Jabatan Menteri Negara BUMN, misalnya, diperebutkan partai-partai menjelang perombakan kabinet jilid dua kemarin karena dianggap bisa menjadi ATM (automatic teller machine) bagi partai politik dalam Pemilu 2009.

Karena itu, Presiden Yudhoyono sebenarnya tidak perlu menanggapi sendiri secara langsung sinyalemen seperti dikemukakan Amien Rais. Apalagi jika tanggapan itu dilakukan melalui konferensi pers secara resmi di Istana Kepresidenan.

Bisa jadi Presiden Yudhoyono benar-benar tidak menerima aliran dana nonbudgeter DKP itu, tetapi tidak mustahil dana itu benar mengalir ke salah seorang anggota tim sukses yang tidak melaporkannya secara institusi sehingga tidak diketahui Yudhoyono-Kalla. Seperti diakui oleh Munawar Fuad Nuh dari Blora Center, tim SBY-JK juga menerima aliran dana DKP seperti para pasangan capres lainnya, terlepas dari soal bahwa penerimaan itu terjadi setelah pilpres berlangsung.

Perlu keteladanan

Saling mengecam di antara para tokoh atau pemimpin jelas bukan teladan yang baik bangsa ini. Rakyat kita merindukan kerja sama antarpemimpin dalam membenahi bangsa kita dari keterpurukan, kemiskinan, dan penderitaan yang tak kunjung berakhir. Para pemimpin boleh berbeda secara pemikiran dan ideologi, tetapi semestinya perbedaan itu tidak mengarah kepada konflik personal yang tidak produktif.

Dwi-tunggal Soekarno-Hatta berbeda pandangan dalam mengisi kemerdekaan dan melanjutkan perjuangan, tetapi mereka tetap bersahabat secara akrab.

Keteladanan seperti itu pula yang dulu diperlihatkan para tokoh Partai Masyumi dan PNI, atau pemimpin Masyumi dan tokoh-tokoh Partai Katolik. Meski berbeda secara ideologis, Mohamad Natsir dan IJ Kasimo, misalnya, tetap membina persahabatan yang tulus. Karena itu, hakikat kepemimpinan sesungguhnya adalah kemampuan memberikan keteladanan bagi rakyat, bukan sekadar kepandaian berwacana mengatasnamakan mereka yang menderita.

Perseteruan para pemimpin bukanlah berita baik bagi kita semua karena tidak seorang pun yang diuntungkan, kecuali mereka yang menghendaki bangsa ini tetap bergelimang dalam keterpurukan. Perseteruan itu justru menjadi indikasi paling jelas dari ketidakmampuan para pemimpin membangun kerja sama di antara mereka. Juga ketidakmampuan membaca secara jernih aspirasi dan kehendak rakyat yang menginginkan para pemimpinnya bahu-membahu memperbaiki kehidupan rakyat.

Karena itu, barangkali sudah waktunya para pemimpin negeri ini lebih banyak berkomunikasi secara personal tanpa harus mengorbankan prinsip institusi atau partai masing-masing. Apa salahnya Presiden Yudhoyono sekali-sekali mengundang Amien Rais, Abdurrahman Wahid, atau Megawati Soekarnoputri secara informal untuk membicarakan garis besar persoalan bangsa kita?

Sebaliknya, jika arogansi kekuasaan, prasangka dan egoisme politik lebih melembaga dalam kepemimpinan para tokoh bangsa ini, mungkin perangkap krisis yang kita alami tidak akan pernah berakhir.

Syamsuddin Haris Profesor Riset pada Pusat Penelitian Politik LIPI

No comments:

A r s i p