Monday, May 28, 2007

Dana DKP dan Pemakzulan Presiden

Denny Indrayana

Di antara semua hiruk-pikuk masalah hukum mutakhir, yang paling serius adalah skandal korupsi dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan dengan terdakwa mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri.

Persidangan mengindikasikan dana DKP mengalir ke banyak elite negeri, terkait dana kampanye para pasangan calon Pilpres 2004.

Meski demikian, perlu dicatat, jika benar ada dana haram dalam Pilpres 2004, hal itu tidak dapat menjadi dasar untuk menyoal keabsahan hasil Pilpres 2004. Namun, aliran korupsi dana DKP akan menggerus legitimasi politis dan sosiologis hasil pemilihan presiden 2004. Karena itu, untuk menyelamatkan legitimasi Pilpres 2004, amat penting seluruh penyidik melakukan koordinasi menindaklanjuti informasi aliran dana itu. KPK, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian RI harus bergerak untuk menentukan langkah hukum yang wajib diambil guna membongkar korupsi dana DKP. Kerja sama sebaiknya melibatkan KPU, Panwaslu, PPATK, dan kantor akuntan publik yang mengaudit dana kampanye pasangan calon dalam Pilpres 2004.

Tindak pidana terkait

Paling tidak ada tiga tindak pidana yang dapat menjerat pemberi dan penerima dana nonbudgeter DKP: tindak pidana pemilihan presiden, pencucian uang, dan korupsi. Yang paling lemah adalah konstruksi hukum tindak pidana pilpres. Konspirasi proses legislasi melahirkan rumusan sanksi pidana yang mandul jika pasangan calon presiden tidak melaporkan ke KPU aliran dana DKP; atau jika pasangan calon melanggar larangan menerima dana dari pemerintah.

UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pilpres menghukum maksimum satu tahun untuk laporan keuangan dana kampanye yang manipulatif; maupun maksimum dua tahun untuk menerima dana kampanye dari pemerintah. Hukuman maksimum yang amat rendah itu tidak menjerakan. Apalagi rumusan sanksinya juga memberi peluang bagi hakim untuk hanya menjatuhkan denda, tanpa pidana penjara.

Pasal 2 Ayat 1 UU Tipikor mengatur, setiap orang yang melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara; dapat didakwa melakukan tindak pidana korupsi.

Jika benar pasangan calon Pilpres 2004 menerima dana nonbudgeter DKP, berarti telah memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi. Unsur melawan hukumnya adalah dana itu berasal dari pemerintah (DKP), yang dilarang undang-undang pilpres. Penggunaan dana pemerintah yang tidak sesuai peruntukannya jelas merugikan keuangan negara. Maka dapat disimpulkan, telah masuk dalam melawan hukum formal tipikor.

Yang sulit dibantah, penerimaan dana korupsi DKP dapat dijerat tindak pidana pencucian uang. UU Pencucian Uang mengatur, tiap orang yang menerima sumbangan atau hibah dana yang patut diduga merupakan hasil korupsi dipidana penjara minimal lima tahun dan maksimal 15 tahun dan denda minimal Rp 100 juta dan maksimal Rp 15 miliar.

Pengusutan atas dugaan tindak pidana pencucian uang itu dapat segera dilakukan karena penjelasan Pasal 3 UU Pencucian Uang mengatur, "Terhadap Harta Kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana tidak perlu dibuktikan lebih dahulu tindak pidana asalnya, untuk dapat dimulainya pemeriksaan tindak pidana pencucian uang".

Maknanya, meski persidangan korupsi Rokhmin belum dijatuhkan vonisnya, pemeriksaan atas dugaan tindak pidana pencucian uang sudah dapat dilakukan.

Pemakzulan Presiden

Jika SBY-JK benar menerima dana korupsi DKP, posisi kepresidenannya di ujung tanduk. Keduanya dapat dijerat dakwaan (1) tindak pidana berat lainnya; dan (2) korupsi; yang keduanya termasuk kriteria pasal pemakzulan (impeachment articles). Dakwaan tindak pidana berat lain dapat dijatuhkan karena tindak pidana pencucian uang mempunyai ancaman penjara di atas lima tahun, karena itu termasuk klasifikasi tindak pidana berat sebagaimana didefinisikan dalam UU Mahkamah Konstitusi.

Namun, masyarakat agaknya tidak akan melihat SBY-JK termakzulkan. Meski secara legal pintu pemakzulan mungkin dilakukan, aliran dana korupsi DKP telah merambah nyaris semua kekuatan politik sehingga sulit membayangkan partai politik di DPR akan menginisiasi pemakzulan. Yang mungkin terjadi adalah: konspirasi saling memaklumi di antara para penerima dana korupsi DKP, suatu loss-loss solution bagi rakyat.

Pengelolaan dana negara secara nonbudgeter terbukti amat koruptif, karena itu harus total dikaji ulang. Pengumpulan dana kampanye melalui cara-cara melanggar hukum (black market fund), seperti korupsi dana nonbudgeter DKP dan Bulog, harus diakhiri. Para pemimpin negeri harus belajar jujur dan bekerja ekstra keras agar pembiayaan demokrasi (financing democracy) termasuk pemilu–tidak justru dilakukan dengan cara koruptif, bertentangan dengan prinsip demokrasi, yang akhirnya menjadi pembunuh berdarah dingin atas demokrasi itu sendiri.

Denny Indrayana Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (PuKAT) Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta

No comments:

A r s i p