Thursday, May 24, 2007

Kohesi Korupsi dengan Partai Politik Cetak E-mail

Oleh: H Mutammimul ’Ula SH

Korupsi,korupsi,dan korupsi.Berita korupsi menjadi sebuah berita utama setiap harinya di media elektronik maupun cetak. Kasus korupsi yang disoroti pun tak sedikit, ratusan juta sampai miliaran rupiah.

Seringnya kasus korupsi menjadi sajian media di satu sisi bisa menjadi indikasi keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi, sehingga pemerintah gencar memberantas korupsi. Namun, hal ini juga dapat membuktikan bahwa korupsi masih menjadi budaya birokrat kita dan pemberantasan korupsi hanya sebatas lip service sehingga tidak memberikan efek jera terhadap para koruptor. Sistem pemerintahan yang berjalan belum dapat mencegah terjadinya korupsi.

Kita melihat betapa negeri ini hampir bangkrut oleh perilaku sebagian pejabatnya yang korup.Korupsi sudah merambah semua level kekuasaan negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Lihat saja dugaan korupsi yang dilakukan mulai pejabat pusat setingkat menteri sampai gubernur. Bahkan, bupati pun tidak kalah banyak yang diduga melakukan korupsi.Tidak sebatas itu saja,korupsi juga menimpa lembaga negara nondepartemen.

Korupsi juga terjadi di kalangan legislatif. Penguatan terhadap kedudukan legislatif berakibat pada euforia kekuasaan yang mendorong keinginan untuk korupsi berjamaah.Tidak hanya legislatif daerah, tetapi juga legislatif pusat. Kasus korupsi APBD yang terjadi di DPRD Sumbar, DPRD Jawa Barat,Lembaga DPR RI. Bahkan, menurut survei yang dilakukan MTII menjadi lembaga terkorup.

Tanggung jawab Partai

Kalau kita lihat orang-orang yang terlibat kasus korupsi ternyata punya korelasi dengan partai politik baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung karena mereka adalah pengurus partai, sedangkan secara tidak langsung disebabkan mereka menempati jabatan tersebut karena mendapat dukungan dan rekomendasi dari partai tertentu.Dukungan yang diberikan oleh partai politik tentunya bukan dukungan gratis tanpa balas jasa.

Di sinilah hubungan yang tidak bisa dilepaskan antara partai politik dan budaya korupsi yang masih menjadi budaya birokrasi kita. Selain dari kasus Rohmin Dakhuri,dalam penyidikan kasus korupsi direksi Bulog Widjanarko Puspoyo, juga terungkap adanya aliran dana kepada partai politik. Aliran dana tersebut diberikan berdasarkan permintaan resmi maupun permintaan tidak resmi. Terungkapnya aliran dana dari Bulog kepada partai politik mengingatkan kita kembali terhadap kasus korupsi di Bulog yang melibatkan Akbar Tanjung yang merupakan ketua DPR sekaligus ketua umum Golkar.

Realita ini membuktikan betapa budaya korupsi tidak dapat dilepaskan dari budaya partai politik kita.Yang selama kita lakukan dalam pemberantasan korupsi selalu mendesak perubahan sistem pemerintahan,namun kita melupakan akar penyebab terjadinya korupsi. Partai politik jangan-jangan menjadi salah satu penyebab membudayanya korupsi yang telah mendarah daging. Sayangnya, selama ini keterlibatan partai politik dalam kasus korupsi tidak pernah ditangani secara terbuka dan tuntas oleh hukum.

Ada suatu daya kohesi yang menyebabkan seorang pejabat negara melakukan korupsi. Secara umum ada kemungkinan keterlibatan partai politik dengan korupsi yang dilakukan pejabat negara yaitu, pertama, partai politik ”menyuruh melakukan” para kader mereka yang menjadi pejabat negara untuk melakukan korupsi. ”Menyuruh melakukan” ini berkaitan dengan penggalangan dana untuk kepentingan partai sebagai bentuk balas budi karena telah menduduki jabatan tersebut.

Para pejabat negara tersebut diwajibkan menyetorkan sejumlah dana dalam kurun waktu tertentu. Kedua, membiarkan terjadinya korupsi. Partai politik sebenarnya mengetahui baik secara langsung maupun tidak langsung bahwa kader mereka yang menjadi pejabat negara telah melakukan korupsi. Tindakan pembiaran ini tentu sebuah bentuk pemberian restu oleh partai politik terhadap tindakan dari kader-kader mereka. Dalam menyikapi korupsi ini seharusnya partai politik menjadi garda terdepan dalam usaha-usaha pemberantasan korupsi.

Partai politik harus benar-benar komitmen terhadap pemberantasan korupsi. Keberpihakan partai politik terhadap pemberantasan korupsi.Untuk menjadikan partai politik sebagai pilar utama dalam pemberantasan korupsi ada hal-hal yang harus dilakukan. Pertama, partai politik harus menyatakan dirinya sebagai partai antikorupsi. Pernyataan ini akan tergambar dari visi dan misi partai tersebut, serta usaha-usaha yang dilakukan partai tersebut untuk menjadi partai yang bersih dan antikorupsi. Kedua, partai harus memiliki sistem laporan/ pembukuan keuangan yang transparan dan akuntabel. Berdasarkan laporan KPU partai politik sampai saat ini tidak memiliki laporan keuangan yang bagus.

Laporan keuangan akan menunjukkan sumber pembiayaan partai yang bersangkutan dan ini akan menentukan apakah partai tersebut menerima dana yang benar-benar halal atau bersumber dari dana-dana korupsi. Ketiga, partai politik harus memiliki usaha yang halal sebagai sumber dana. Selama partai politik tidak memiliki sumber pembiayaan yang jelas, akan sangat sulit mengatakan tidak terhadap dana korupsi, padahal partai politik membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk membiayai aktivitas partai, apalagi menjelang pemilu.

Keempat, keberanian untuk menindak kader partai yang terlibat kasus korupsi.Partai harus berani memberikan sanksi yang tegas terhadap kader-kader mereka yang terindikasi melakukan korupsi. Partai tidak boleh memberikan perlindungan terhadap kader mereka yang diduga melakukan korupsi.Kelima,komitmen partai politik untuk memperjuangakan terbentuknya RUU pengadilan tindak pidana korupsi. Keberadaan pengadilan korupsi sangat penting dalam pemberantasan korupsi.

Bila partai politik tidak memiliki komitmen untuk segera menyelesaikan RUU ini, maka korupsi akan semakin membudaya. Menjelang pemilu 2009 yang hanya tinggal dua tahun ini tentunya menjadi perjuangan kita untuk memberantas korupsi.Komitmen kita untuk menjadikan bangsa ini bebas dari korupsi akan sangat ditentukan pada apa yang kita lakukan hari ini untuk melawan korupsi. Partai politik harus menjadikan dirinya sebagai lembaga yang antikorupsi bukan sebaliknya menjadi motivator terjadinya korupsi. Masyarakat juga harus sadar untuk memilih mana partai yang antikorupsi dan mana partai pendukung korupsi.

Hal ini bisa kita lakukan dengan melihat dari kader suatu partai yang terlibat dalam kasus korupsi. Semakin banyak kader suatu partai terlibat dalam kasus korupsi berarti semakin rendahlah komitmen partai tersebut untuk memberantas korupsi. Berarti dalam pemilu 2009 nanti masyarakat jangan memilih partai yang kader-kadernya terlibat kasus korupsi. (*)

H Mutammimul ’Ula SH
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi PKS

No comments:

A r s i p