Monday, May 21, 2007

Popularitas Golkar yang Anjlok

Oleh M. Alfan Alfian

PADA Rapat Konsultasi Nasional Partai Golkar di Jogjakarta belum lama ini, Ketua Umum DPP Partai Golkar Jusuf Kalla mengakui turunnya pamor partai yang dipimpinnya itu tidak bisa dipisahkan dari kualitas kinerja pemerintah. Karena Golkar merupakan pendukung terbesar pemerintah, maka anjloknya kinerja pemerintah pun berimbas kepada anjloknya citra Golkar.

Ujung pendapat itu adalah desakan Golkar agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera melakukan reshuffle. Hampir semua petinggi Golkar, termasuk Jusuf Kalla, dengan bahasa masing-masing gencar mendesakkan tuntutan reshuffle.

Ada dua alasan yang secara normatif -dan agak spekulatif- ditekankan dalam hal ini. Pertama, sebagai pendukung pemerintah, Golkar sudah selayaknya mendapatkan peran-peran optimal dalam pemerintahan. Kedua, kalau kader-kader Golkar optimal diakomodasi di kabinet, citra pemerintah akan membaik.

Sebagaimana diketahui, citra Golkar sedang anjlok saat ini, setidaknya apabila dilihat dari dua survei yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia (LSI Deny J.A.) dan Lembaga Survei Indonesia (LSI Saiful Mujani). LSI Deny yang melakukan survei pada Februari 2007 mencatat bahwa PDIP mendapatkan dukungan 22,6 persen, disusul Partai Golkar (16,5 persen), dan Partai Demokrat (16,3 persen).

Sementara survei LSI Saiful Mujani terakhir (Maret 2007) menunjukkan bahwa popularitas PDIP berada pada posisi pertama (19,7 persen), Partai Golkar (15 persen), dan Partai Demokrat (10 persen).

Dalam pemilu legislatif 2004, Partai Golkar memperoleh dukungan suara 21,58 persen; PDIP 18,53 persen; dan Partai Demokrat 7,45 persen. Tatkala Golkar anjlok, Partai Demokrat justru cenderung naik (signifikan).

Ini berarti pesannya jelas: publik makin emoh kepada Golkar dan lebih terpikat kepada Partai Demokrat. Kelihatannya, inilah efek keunggulan SBY atas Kalla yang kimia politiknya cenderung kian memudar. Sementara naiknya PDIP dikaitkan dengan sikapnya yang jelas sebagai kekuatan politik-kritis oposisional.

Inilah simalakama Golkar. Keberhasilan pemerintah belum tentu berimbas kepada dukungan pemilih pada Golkar. Bisa jadi, pemilih, terutama yang masuk dalam kategori swing voters, akan lebih memantapkan pilihannya ke partai SBY, bukan partai Kalla.

Tetapi kalau citra pemerintah anjlok, sebagaimana diakui Kalla, citra Golkar sebagai partai pendukung pemerintah otomatis ikut anjlok. Bagi Golkar, tak ada jalan lain kecuali menyukseskan pemerintah, tetapi tetap sambil berharap, Pemilu 2009 kelak, dukungan suaranya bertambah.

Juru Selamat?

Asumsi yang dikembangkan Golkar bahwa kalau kader-kadernya diakomodasi di kabinet secara lebih optimal, maka citra pemerintah akan membaik, bernada mesianik. Seolah-olah Golkar adalah juru selamat pemerintahan. Harus diakui bahwa memang Golkar punya banyak sumber daya, tetapi pertimbangan reshuffle kabinet tentu tak semata-mata dinilai dari sudut subjektivitas Golkar.

Kalaulah konsep power dipakai untuk menganalisis fenomena itu, akan amat menarik. Menurut pakar ilmu hubungan internasional Couloumbis dan Wolfe (1985), konsep tentang power memiliki tiga perspektif: otoritas alias kewenangan (authority), pengaruh (influence), dan daya paksa (force).

Kadang membosankan, tatkala khalayak, terutama elite-elite politik kepentingan, harus terlalu lama menunggu SBY bersikap karena saking hati-hatinya. SBY bagaimanapun adalah eksekutor, dia yang punya kewenangan merombak kabinetnya. SBY punya kewenangan.

Kalla punya pengaruh dan daya paksa. Apakah dengan pengaruh dan daya paksa, Kalla mampu memengaruhi kebijakan politik SBY secara signifikan dalam konteks reshuffle kabinet?

Dalam pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu kali pertama, pengaruh dan daya paksa Kalla amat signifikan, tetapi kemudian melemah saat SBY menata ulang kabinetnya (reshuffle I). Kalangan Golkar menganggap akomodasi politik ke kabinet masih belum optimal dalam reshuffle I tersebut, dan sejak itu desakan serta tekanan partai itu ke SBY makin kuat, supaya ada reshuffle dan optimalisasi kader Golkar di kabinet.

Tetapi, SBY tidak tergesa-gesa merespons desakan-desakan tersebut. Inilah yang kemudian membuat elite-elite Golkar mecoba memperkuat daya paksa mereka.

Fase Kritis Jilid II

Posisi serbadilematis Golkar saat ini, tampaknya, cepat atau lambat akan dapat menyeretnya ke fase kritis jilid II, yang bahkan lebih berat dibanding fase kritis jilid I (1998-1999). Ukurannya adalah perolehan suara dalam pemilu. Kalau di Pemilu 2009 dukungan suara ke partai berlambang pohon beringin itu anjlok seperti yang tecermin pada hasil survei-survei di atas, maka ia gagal melewati fase kritisnya.

Dikatakan kritis karena tantangan partai makin berat saat ini. Positioning Golkar bermasalah. Ketua umumnya adalah wakil presiden, tetapi seolah-olah dia tetap merupakan kekuatan kritis terhadap pemerintah.

Publik banyak melihat fenomena kontradiksi interminis atas banyak ucapan Kalla. Dia bagian absah dari pemerintah, tetapi juga pengkritik pemerintah. Membingungkan bukan?

Lain halnya kalau Golkar berada di pihak oposisi sehingga positioning politiknya jelas. Kritisisme Golkar akan menuai apresiasi sebanding dengan simpati publik. Tetapi, Golkar sudah tak bisa lagi menarik diri mejadi partai oposisi. Absurdlah kiranya kini hal itu dilakukan, justru karena ketua umumnya merangkap sebagai wakil presiden.

Kini elite-elite Golkar makin merasakan bahwa sesuai dengan kepentingan mereka, maka jangan sampai gak oleh nangkane, intuk pulute (tidak ikut menikmati buah nangka, tapi hanya dapat getahnya).

Tapi, sepertinya, mereka tak bisa berbuat banyak. Disadari bahwa mereka melakukan upaya memperkuat perkaderan partai di lapis bawah justru di tengah lanskap kepolitikan kepartaian jelang 2009 sudah amat berubah, persaingan kian tajam. Golkar tak bisa meremehkan keberadaan Partai Demokrat di satu sisi dan di sisi lain Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang berpotensi menyedot pemilih Golkar.

Karena berat tantangan internal dan eksternalnya kini, maka pengurus partai ini tak boleh "ongkang-ongkang" saja, larut dalam pragmatisme politik yang "luar biasa" menjangkiti partai ini. Mungkinkah Golkar masih akan tetap survive kelak? Wallahua’lam.


M. Alfan Alfian, analis politik pada The Akbar Tandjung Institute dan staf pengajar FISIP Universitas Nasional, Jakarta

No comments:

A r s i p