Thursday, May 31, 2007


Nakhoda Bangsa

Oleh : Haedar Nashir

Pemimpin itu bagaikan nakhoda. Lebih-lebih pemimpin bangsa di kala pancaroba. Dia tak boleh kehilangan arah kemudi, kendati hantaman gelombang datang dari segala jurusan. Memimpin di kancah perubahan memang sarat masalah. Tak perlu melankolis, apalagi gampang panik. Bersikaplah wajar, jangan berlebihan. Apa pun, pemimpin itu perlu tameng kearifan, sekaligus ketangguhan.

Tapi tak banyak pemimpin yang tangguh, apalagi arif. Reformasi baru berhasil menghadirkan pemimpin pemenang, tapi bukan nakhoda. Air beriak saja disikapi over dosis seolah gelombang dahsyat. Sementara gelombang tsunami dianggap sepi seolah tak ada masalah. Seperti kulit bawang, gampang mengelupas. Padahal betapa menggunung persoalan di tubuh bangsa ini. Sedikit saja kehilangan keseimbangan, efeknya bisa seperti bola liar.

Pemimpin itu memang manusia. Selalu ada salah dan dosa. Tak ada pemimpin yang bebas salah dan masalah. Jika pemimpin itu benar dan sungguh tak bersalah, kenapa mesti gundah? Bukankah ada contoh, yang salah saja berkata apa adanya, lalu publik menghargai makna kejujuran.

Kenapa harus tunggang-langgang? Arif sedikit malah menjadi mutiara berharga. Jangankan sebuah tudingan, bahkan fitnah pun manakala memang tak ada, akan sirna dengan sendirinya. Pemimpin itu harus memiliki seribu satu perisai kearifan, juga kewajaran. Kalau gampang gundah-gulana, malah orang jadi penasaran.

Tapi biarlah rakyat nan cerdas menilai para pemimpin bangsa yang terlanjur hadir di Republik ini. Pemimpin itu memang tak dapat dipaksakan. Mana pemimpin yang sejati dan mampu menghadapi masalah secara nyata. Mana pemimpin yang gampang panik menghadapi masalah. Mana pula pemimpin yang lebih bermain di alam citra sambil meninggalkan masalah krusial bangsa. Kita tak mungkin menuntut pemimpin di luar kapasitasnya.

Kepemimpinan bangsa memang memiliki dinamikanya sendiri, ada yang mau bertindak benar dan jujur, lainnya mengikuti irama alam. Setiap babakan sejarah selalu melahirkan pemimpin yang penuh warna-warni.

Namun satu hal yang tak boleh lupa dan terabaikan oleh siapa pun di negeri tercinta ini. Bahwa bangsa ini membutuhkan pemimpin nakhoda yang harus sanggup menyelesaikan masalah-masalah krusial yang berat. Pemimpin nasional yang dengan langkah nyata mampu mengeluarkan Indonesia keluar dari kemelut. Di situlah tanggung jawab dan kewajiban pemimpin yang memperoleh mandat atau amanat rakyat. Mau arif atau tidak, itu hal yang tak bisa dipaksakan. Sikap praktis kita ialah, menghisab kepemimpinan nasional untuk menyelesaikan persoalan-persoalan krusial bangsa. Bukan kepemimpinan retorika dan pesona.

Kita harus jujur kepada rakyat. Sejumlah masalah besar yang sangat krusial masih melilit bangsa ini. Sebutlah jumlah orang miskin dan menganggur yang terus meningkat, bukan malah kian susut. Martabat bangsa pun jatuh di mata bangsa-bangsa lain, bahkan untuk berpolitik bebas aktif pun Indonesia menjadi terengah-engah karena ketergantungan yang tinggi pada negara adidaya. Bencana demi bencana bermunculan, yang meruntuhkan tatanan sosial dan lingkungan. Persoalan-persoalan lainnya yang krusial saling berhimpitan dan menjadi muara masalah nasional yang kompleks.

Sementara itu pemberantasan korupsi yang digembar-gemborkan, menurut banyak penilaian masih kasus-kasus pinggiran dan cenderung tebang pilih. Bahkan dengan kasus dana nonbujeter DKP pun terasa ada yang kebakaran jenggot, kendati tekad pemerintah katanya mau menuntaskan masalah krusial yang satu ini. Padahal tokoh nasional sekaliber M Amien Rais telah membuka jalan dengan sikap jujur dan berani, yang penuh risiko. Jika bertekad memberantas korupsi kenapa risau dengan hal-hal atributif, lebih baik dahulukan yang substantif.

Sungguh bangsa ini tak beranjak dari persoalannya yang serba krusial. Dari krisis multidimensi. Bangsa-bangsa jiran sudah melangkah jauh, padahal dulu sama-sama mengalami krisis. Rupanya kuncinya terletak pada pemimpin dan kepemimpinan yang tepat. Pemimpin dan kepemimpinan yang benar-benar menjadi nakhoda yang sesungguhnya, yang mampu mengarahkan pelayaran sekaligus tangguh menghadapi gelombang yang menghantam.

Kata Buya Safii Maarif, bangsa ini memerlukan pemimpin di kancah krisis, bukan pemimpin biasa-biasa saja. Boleh jadi pemimpin solidarity maker sekaligus problem solver. Bukan kepemimpinan yang setengah-setengah, apalagi sekadar mengandalkan citra atau pesona. Tak perlu cari dari langit, yang ada pun sebenarnya bisa dimanfaatkan laksana pepatah tak ada rotan kayu pun jadi. Apa boleh buat demokrasi tidak selalu melahirkan pemimpin yang tepat untuk waktu dan keadaan yang tepat. Namun manakala mau belajar dan memiliki kesungguhan yang total, maka tak ada yang musykil apalagi mustahil untuk dipecahkan.

Jadi, jangan-jangan masalah bangsa ini titik krusialnya berada di level pemimpin dan kepemimpinan nasional yang kehilangan fungsinya sebagai nakhoda. Nakhoda yang sungguh-sungguh mau bertanggung jawab untuk mengutamakan penyelesaian masalah-masalah krusial bangsa. Pemimpin yang lebih mendahulukan persoalan bangsa ketimbang urusan citra diri dan hal-hal yang tidak prioritas. Nakhoda yang sensitif terhadap masa depan bangsa, bila perlu tanpa memikirkan sedikit pun masa depan dirinya. Nakhoda yang sungguh-sungguh peduli pada nasib dan martabat bangsa melebihi kecintaan pada dirinya.

Cobalah saksikan persoalan yang melilit bangsa ini, masih banyak yang krusial. Termasuk krusial di bidang moral dan martabat bangsa. Bukalah kembali kasus RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang terkatung-katung hingga saat ini. Nakhoda bangsa kita begitu sangat sensitif manakala menyangkut nama dan persoalan dirinya, namun ketika dihadapkan pada agenda-agenda besar nasional seolah bukan prioritas utama. Tak tersentuh rasa kepemimpinannya, sense of belonging-nya dalam memecahkan masalah krusial bangsa. Kapan ingin menuntaskan RUU yang penting itu. Jika DPR lambat dan mandek, pemerintah bisa berteriak keras, bukan diam. Bukankah untuk satu dua hal begitu sensitif. Masalah moral seolah diletakkan sebagai agenda pinggiran.

Coba pulalah buka kembali kasus majalah Playboy. Tokoh-tokoh bangsa dan seluruh komponen umat Islam sangat berkeberatan dan bahkan memprotes keras, seraya menuntut agar pemerintah tidak mengizinkan majalah porno tersebut. Namanya saja tidak cocok dengan budaya bangsa ini. Tapi apa yang terjadi, pucuk pimpinan nasional nyaris tidak peduli dengan urusan Playboy ini, seolah bukan masalah bangsa. Padahal sering muncul retorika tentang pentingnya moral dan agama di muka publik.

Namun Playboy terus terbit, bahkan pengadilan membebaskan pimpinan redaksinya. Dengan bersembunyi di balik kebebasan pers, pemerintah bukan hanya tak berdaya, bahkan secara nyata tak peduli dan tak berpihak pada persoalan moral dan martabat bangsa. Suara jernih umat dan komponen bangsa yang peduli moral berlalu begitu saja, laksana pepatah anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.

Fakta apa yang bisa kita ambil dari semua ini? Bangsa ini kembali gagal melahirkan kepemimpinan yang efektif dan bermoral tinggi untuk memecahkan masalah-masalah krusial yang terlanjur hadir secara kompleks. Demokrasi hanya melahirkan kepemimpinan pemenang, bukan penyelesai masalah. Kepemimpinan yang begitu rupa memiliki legitimasi politik yang sangat kuat, tetapi kehilangan momentum untuk menyelesaikan masalah besar bangsa secara sistematik. Padahal jika masalah-masalah krusial bangsa ini tak terpecahkan secara tersistem, terbuka kemungkinan rakyat dan elemen-elemen nasional hilang kesabaran dan kemudian lahir tuntutan reformasi jilid kedua.

Bangsa ini lagi-lagi kehilangan peluang untuk menghadirkan kepemimpinan nakhoda di kancah gelombang perubahan. Kepemimpinan yang benar-benar teruji menjadi nakhoda yang tangguh, visioner, arif, dan mampu memecahkan masalah-masalah krusial bangsa secara nyata dan tersistem. Kepemimpinan yang mampu memilah mana yang utama dan mana yang pinggiran. Dalam logika kearifan klasik Islam, pemimpin yang mampu memisahkan mana yang terpenting dari yang penting, taqdim al-aham min al-muhim. Bukan malah terbalik-balik, yang tidak begitu penting dijadikan sesuatu yang seolah sangat penting, sehingga urusan yang semestinya disikapi normal pun akhirnya menjadi heboh dan tumpah-ruah ke segala arah.

Memang tak mudah untuk menjadi pemimpin nakhoda di negeri yang masih dilanda krisis pancaroba ini. Sang nakhoda mesti benar-benar tahu dan paham arah pelayaran bangsa. Nakhoda juga harus benar-benar sigap mengerahkan segenap awak kapal laksana komandan, bukan sekadar kepala pelayaran. Sang nakhoda bahkan harus paling siap dan bertanggung jawab dalam menghadapi hantaman gelombang dengan sikap gagah perwira, tanpa harus menjadi melankolis. Bukankah pemimpin dilahirkan untuk menghadapi gelombang tantangan, ancaman, dan hantaman? Kita tak ingin pemimpin lahir karena kesan terzalimi dan politisasi penzaliman publik, bukan karena kapasitas dan kehadiran untuk menyelesaikan masalah bangsa.

Di negeri mana pun tak ada pemimpin yang segala urusan yang dihadapinya menjadi mudah. Apalagi tanpa masalah. Selalu hadir masalah yang silih berganti bak hantaman gelombang di tengah lautan. Pemimpin itu memang dihadirkan untuk menghadapi dan memecahkan sejuta masalah, yang tak mungkin dipikul oleh rakyat kebanyakan. Pemimpin itu juga dituntut untuk membawa bangsa dan negara ke arah yang benar agar tak jatuh ke jurang yang sama sebagaimana pengalaman sejarah yang baru berlalu. Bangsa ini memang membutuhkan pemimpin nakhoda, bukan awak kapal biasa.

No comments:

A r s i p