Wednesday, May 23, 2007

Perlu Standarisasi Perda Pungutan

Jakarta, Kompas - Pemerintah perlu membuat standarisasi peraturan daerah sebagai batasan yang dapat digunakan pemerintah daerah dalam membuat aturan tentang pajak dan retribusi. Hal itu diperlukan karena hingga saat ini tidak memiliki patokan saat menerbitkan sebuah peraturan tanpa mengetahui konsekuensinya.

"Saat ini, tidak ada satu pun standar yang dapat digunakan daerah. Jika standarnya sudah ada, maka tidak perlu ada satu pun sanksi yang dibebankan kepada pemerintah daerah," ujar Penasihat Asosiasi Pemerintah Kabupaten dan Kota Alfitra Salamm di Jakarta, Selasa (22/5).

Menurut Alfitra, keinginan pemerintah pusat memberikan sanksi kepada pemerintah daerah yang tidak melaporkan peraturan daerah (perda) terlalu mengada-ada. Keinginan itu dengan sendirinya telah melemahkan arti otonomi daerah yang saat ini sedang dirintis.

"Rasanya, otonomi daerah akan hilang lama kelamaan, jika banyak sanksi yang dibebankan. Sementara, pada saat yang sama, pemerintah pusat sendiri kerap melanggar aturan yang dibuatnya sendiri. Yang perlu bagi daerah hanyalah pembinaan dan pengawasan pusat melalui peraturan yang jelas," katanya.

Sementara itu, Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Harry Azhar Aziz mengatakan, beberapa fraksi di DPR mengusulkan sanksi pidana bagi kepala daerah yang menerbitkan peraturan daerah bermasalah. Perda digolongkan bermasalah jika terbukti menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.

"Salah satu fraksi yang mendukung usulan ini adalah Fraksi Partai Golkar, namun saya yakin masih ada beberapa fraksi lain yang mengusulkan hal yang sama. Usulan itu sudah dimasukan melalui Daftar Inventaris Masalah dalam pembahasan RUU PDRD ," ujarnya.

Adapun pemerintah mengusulkan sanksi berupa penangguhan pembayaran Dana Alokasi Umum (DAU) bagi daerah yang dengan sengaja tidak melaporkan perda pajak dan restribusi. Usulan pemerintah ini ditentang oleh kalangan DPR karena penangguhan DAU cenderung merugikan masyarakat, sementara penerbit perdanya sendiri tidak terkena efek jera.

"Pemerintah bisa meminta Kejaksaan Agung mengusut setiap pemerintah daerah yang menerbitkan perda bermasalah itu. Sanksi seperti ini lebih tepat, dan terhindar dari pola hukuman yang menyebabkan rakyat menderita," ujarnya.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Agung Pambudhi menegaskan, pemerintah dan DPR tidak bisa menerapkan sanksi pidana terhadap kepala daerah yang menerbitkan perda bermasalah, meskipun menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Meski demikian, pemerintah bisa menuntut kepala daerah secara perdata jika perda yang diterbitkan menyimpang dari aturan lain.

"Kecuali, jika dalam prakteknya, terjadi unsur korupsi saat pemungutan, maka atas pemungutnya bisa dijerat sanksi pidana," katanya.

Sejak tahun 2001, pemerintah pusat mulai gencar melakukan pemetaan atas perda pajak dan retribusi daerah yang dinilai memberatkan dunia usaha. Oleh karena itu, seluruh perda dan rancangan perda (ranperda) yang terkait pajak serta retribusi wajib dilaporkan kepada Departemen Keuangan.

Kemudian, Menteri Keuangan akan mengevaluasi perda yang dilaporkan itu, kemudian memberikan rekomendasi pembatalan jika perda tersebut terbukti menghambat upaya perbaikan iklim investasi. Atas rekomendasi itu, Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan perda dan ranperda tersebut.

Hingga 21 Mei 2007, jumlah perda yang dibatalkan sudah mencapai 963 aturan, sedangkan ranperda sebanyak 107. Evaluasi atas perda dan ranperda itu dinilai belum maksimal karena ada 3.447 perda dan 130 ranperda yang masih dalam proses pemeriksaan Depkeu.

Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kemampuan Depkeu dalam mengevaluasi perda bermasalah masih lebih rendah dibandingkan produktifitas pemerintah daerah dalam menerbitkan perda. Satu-satunya harapan pemerintah untuk menahan laju produksi perda bermasalah adalah pengesahan RUU PDRD secepatnya.

"Dalam RUU PDRD diatur, penerbitan perda dilakukan secara daftar tertutup. Dengan demikian, perda pajak dan retribusi yang boleh diterbitkan harus sesuai UU PDRD itu," ujar Sri Mulyani.

Dirjen Perimbangan Keuangan Mardiasmo mengatakan, pihaknya berharap RUU PDRD akan disahkan dalam waktu dekat ini. Dengan demikian, seluruh aturan tentang sanksi bagi daerah penerbit perda bermasalah dapat segera diterapkan.

"Dalam RUU PDRD itu memang diatur ada masa peralihan selama setahun sejak pengesahan untuk sosialisasi. Namun, jika DPR menghendaki, penerapan sanksinya bisa diterapkan lebih cepat dari setahun," ujar Mardiasmo.

Saat ini, RUU PDRD sudah memasuki proses pembahasan di Panitia Kerja. RUU PDRD akan merevisi aturan lama, yakni UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang PDRD. UU itu dianggap tidak memiliki pengaruh yang kuat terhadap daerah karena tidak mengatur sanksi bagi pemerintah daerah yang tidak melaporkan perda pajak dan retribusinya.

Hingga saat ini, jumlah pasal dalam DIM yang telah disetujui pemerintah dan DPR mencapai 193 pasal, sementara 256 pasal lainnya masih dalam pembahasan serius karena mengandung perbedaan dalam substansi. Selain itu masih ada 123 pasal lainnya yang belum disetujui karena perbedaan redaksional.

Harry menyebutkan, beberapa masalah substansial yang belum disepakati antara lain usulan untuk memberikan seluruh hasil pungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ke daerah. Kemudian usulan baru tentang adanya pajak rokok dan telpon.

Pajak rokok diusulkan untuk memberi sebagian dari hasil pungutan cukai kepada daerah, tanpa menambahkan pos pungutan lain atau mengubah tarif cukai yang sudah ada. "Ada yang mengusulkan agar jatah daerah dari cukai rokok maksimum 25 persen. Artinya, jika tarif cukai mencapai 40 persen, maka hasil pungutan yang sebesar 10 persen harus diserahkan ke daerah," ujar Harry.(OIN)

No comments:

A r s i p