Monday, May 21, 2007

Anomali Demokrasi

Presiden-presiden kita menderita gejala delusion of grandeur karena merasa mampu berdiri di atas semua golongan. Ia lelah mengangkat kopernya sendiri yang berat dan isinya beraneka rupa—mulai dari handuk sampai setrika.

Mereka gemar judul gombal seperti Kabinet Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat), Pembangunan, atau Pelangi. Tak laku lagi nama singkat Kabinet Sjahrir atau Kabinet Hatta.

Dulu ada Kabinet 100 Menteri. Ada wakil perdana menteri, kementerian koordinator, kementerian negara, menteri negara, menteri muda—yang hafal bedanya cuma PNS.

Jumlah departemen penting tak sebanyak yang sia-sia. Ada Departemen Transmigrasi dan Permukiman Perambah Hutan, Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga yang datang dan hilang, atau Sekretaris Kabinet yang entah apa bedanya dengan Sekretaris Negara.

Ada yang layak jadi departemen tetapi tidak. Imigrasi dan Bea-Cukai yang tugasnya menjangkau dari kepala sampai kaki negeri ini ada di bawah Departemen Hukum dan HAM—yang malah ngurusin rekening Tommy Soeharto.

Ada yang gonta-ganti nama. Dari Menteri Negara (Menneg) Urusan Peranan Wanita jadi Menneg Pemberdayaan Perempuan, dari Menteri Muda (Menmud) Urusan Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia (UPPKTI) jadi Menneg Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, atau dari Menteri Pengajaran jadi Menteri Pendidikan Nasional.

Boros kata-kata perlu biaya. Kabinet baru membuka tender baru pengadaan kop surat dan plang nama departemen serta kantor wilayah yang jumlahnya puluhan.

Ada yang tumpang tindih seperti Menneg Pemuda dan Olahraga dengan Ketua Umum KONI Pusat. Banyak negara menyatukan foreign and trade affairs supaya sinergi pemasaran produk lokal ke ajang internasional lebih terpadu.

Ada departemen "basah" atau "kering". Parpol-parpol ingin jatah Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara atau Departemen Komunikasi dan Informasi, tetapi menghindari Menmud UPPKTI.

Biasanya penelitian dan pengembangan departemen jadi tempat orang pintar. Di sini "sulit berkembang" karena dananya sedikit dan anggota stafnya baca koran dari pagi sampai petang diselingi tidur siang.

Terkadang ada singkatan yang membingungkan seperti Depkimpraswil (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah) atau Departemen Transmigrasi dan Permukiman Perambah Hutan yang susah disingkat. Kasihan anak SD kalau disuruh menghafal nama-nama menteri.

Menteri Dalam Negeri harus jenderal, ekonom Menteri Perindustrian dan Perdagangan, ketua-ketua umum parpol Menteri Sosial atau Menteri Kehutanan. Profesor bagusnya Menteri Pendidikan Nasional, dokter Menteri Kesehatan, dan Menneg Riset dan Teknologi bergelar doktor.

Mendagri memiliterisasi IPDN, Menteri Perindustrian dan Perdagangan lebih sering ditanggap jadi seminaris. Kita selalu meragukan loyalitas ketua-ketua umum parpol.

Menteri Pendidikan Nasional berdagang buku, Menteri Kesehatan bingung memberantas flu burung. Dulu Menneg Riset dan Teknologi mau mengembangkan teknologi makhluk halus yang bernama jin.

Orang lupa menteri itu jabatan politik—bukan profesi—karena tugasnya mengambil keputusan politis. Ia tak usah pusing dengan soal-soal teknis karena ada direktur jenderal, sekretaris jenderal, dan seterusnya.

Menteri biasanya dari parpol yang sama dengan presiden yang boleh memilih dari parpol lain, termasuk dari oposisi—contoh Menhan William Cohen (Republik) di era Presiden Amerika Serikat (AS) Bill Clinton (Demokrat). Namun, kita bukan AS.

Gonjang-ganjing perombakan atau pembentukan kabinet selalu menarik perhatian karena lebih banyak bercerita tentang personality. Tak ada yang peduli "apa", lebih penting "siapa".

Berbagai komentar tentang rencana perombakan yang katanya 20 April nanti tak lebih dari lomba tekan-menekan di kalangan atas. Lebih afdal saling tekan punggung dengan teknik shiatshu.

Tak sedikit menteri dari parpol-parpol sibuk cari dana departemen dalam rangka persiapan kampanye Pemilu 2009. Ada parpol yang mengemis jatah sebanyak mungkin agar lebih siap di Pemilu 2009.

Kini beredar puluhan nama yang akan keluar atau masuk Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Pemerintah kehilangan wibawa karena ada yang lancang mengirimkan curriculum vitae (CV) untuk jadi menteri.

Merombak kabinet yang pernah dirombak belum tentu jadi perombakan untuk memperbaiki diri. Pepatah bongkar-pasang bilang, "Membongkar gampang, memasangnya yang susah."

Ibarat pembantu rumah tangga, menteri bisa bermental jongos. Ia mungkin betah, kadang bersekongkol dengan pencuri, dan tak sedikit yang nonggo-nonggo di pagar rumah.

Ibarat catur, raja berjalan hanya selangkah, permaisuri ke mana-mana, dan menteri jalannya miring dari ujung ke ujung pula. Itulah democratic anomaly Indonesia.

Anomali demokrasi terjadi karena RI-1 bukan dari parpol pemenang dan RI-2 dari parpol terbesar. Di istana ada tiga ketua umum parpol di kabinet, dua di Wantimnas, dan satu di Tim Evaluasi IPDN.

Anomali artinya penyimpangan. Tiga menteri KIB telah "berjalan menyimpang". Mereka wira-wiri. Kalau ketahuan salah mereka berbohong ke kanan dan ke kiri.

Biar semangat ayo nyanyi Panjang Umurnya ramai-ramai. "Tukar menteri A, buang menteri H, ganti menteri Y sekarang juga/Sekarang juga, sekarang juga...."

No comments:

A r s i p