Tuesday, May 29, 2007

DKP, Drama Konferensi Pers

EFFENDI GAZALI

Konferensi pers yang paling mengesankan dalam memori saya saat kuliah dulu adalah ketika Bill Clinton nyaris menghadapi ancaman pemakzulan gara-gara skandal dengan Monica Lewinsky.

Siang menjelang sore saat itu. Clinton keluar ke halaman istana bersama sejumlah tokoh Partai Demokrat untuk memberi kesan, mereka tetap mendukung Clinton bagaimanapun krisis yang sedang dihadapi Sang Presiden.

Saat itu Clinton tidak terlalu banyak bicara. Teman-temannya yang memberi banyak pernyataan menguatkan posisi Clinton, sekaligus mengingatkan lawan- lawannya yang menyimak dari layar televisi.

Jumat (25/5) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga menggelar jumpa pers pertama di bawah dua pohon tua (ki hujan) di lapangan rumput Istana Kepresidenan. Seingat saya, saat itu Clinton tidak membawa podium ke halaman. Di Jakarta, staf istana menyiapkan podium dengan 10 kuntum mawar merah!

Mengapa SBY melakukannya? Presiden—di mana pun—berhak membela diri jika nama dan kehormatannya terserang. Presiden juga manusia.

Sebelum pengamat mana pun memberi komentar dan analisis, mereka harus mencoba berempati lebih dulu: bagaimana jika mereka ada di posisi Presiden SBY. Bukankah mereka juga akan marah dan akan melakukannya?

Masalah 2004

Sambil mencoba berempati, ilmuwan komunikasi umumnya harus mencoba memprediksi interpretasi berbagai pihak, bahkan berbeda 180 derajat dari niatnya (Fiske, 1987; Stuckey, 2004).

Dengan itu, tim dalam istana mungkin perlu mendiskusikan pada SBY bahwa pokok masalah yang dibahas adalah peristiwa tahun 2004 saat menjadi capres.

Saya mungkin akan memiliki dua memori yang sebanding (dengan jumpa pers Clinton itu) jika SBY Jumat lalu membahas tantangan yang dihadapi pemerintahannya, meski hal itu mengenai minyak goreng yang tidak terkendali harganya atau soal air pasang dan ombak belakangan ini. Lalu di bawah pohon ki hujan itu lahir tekad baru, misalnya untuk menekan harga minyak secara nyata atau hal lain.

Bicara soal konteks waktu, tepatkah Presiden SBY melakukan konferensi pers dengan gaya relatif marah ketika tingkat popularitasnya menurut data terakhir menurun drastis?

Biasanya dalam komunikasi politik, pemimpin yang sedang amat populer (karena itu rakyat sedang puas dengan kepemimpinannya) yang lebih boleh diberi ruang untuk menyatakan kekesalan atau kemarahannya.

Bahkan, beberapa presiden kini cenderung memilih menyampaikan kekesalannya dengan nada humor, memakai pernyataan tidak langsung dan analogi, meski popularitas mereka di mata rakyat masih (sedang) tinggi!

Salah citra

Jikapun ingin bermain di ranah pencitraan, mestinya jumpa pers semacam itu akan diarahkan ke image presiden sedang dizalimi oleh berbagai pernyataan orang lain yang menyerangnya!

Sebagai orang yang terzalimi, dia akan lebih banyak memainkan mimik, sedikit bicara tetapi dengan pilihan kata-kata yang membuat hati dan emosi pemirsa TV akan jalan bersama dia!

Maaf, saya lupa, bukan cuma Clinton, SBY sendiri pernah melakukannya saat dia terpersepsikan sebagai orang yang dizalimi oleh berbagai pernyataan istana.

Selain dengan mimik dan pilihan kata yang memancing empati pemirsa, mungkin perlu pula dikedepankan satu atau dua agenda lain, jadi tidak menjadi semacam konferensi pers untuk langsung dan sepanjang acara itu mengecam Amien Rais.

Lagi-lagi, mungkin bicara lebih dulu soal ekstradisi dengan Singapura; soal minyak goreng, gelombang pasang, atau lainnya sebelum mulai mempersoalkan serangan Amien Rais.

Bukankah bisa juga dipilih tidak melakukan jumpa pers sama sekali? Ya, teleconference Jusuf Rizal dari Blora Center dengan Rokhmin Dahuri yang berisi penyangkalan tertentu dari Rokhmin sementara ini sudah cukup.

Bahkan, yang selanjutnya bicara haruslah mereka yang ada di sekitar Amien Rais saat Wolfowitz (menurut cerita Amien Rais) menawarinya bantuan dana asing; yang dalam versi SBY justru (mereka) siap menyangkal cerita Amien Rais!

Sudahlah, dua pohon ki hujan serta wajah Hatta Rajasa sudah menjadi saksi sebuah jumpa pers dramatik dalam perjalanan bangsa ini belajar komunikasi politik!

Mari kita tunggu pembelajaran apa yang bisa dipetik untuk Pemilu 2009, atau akankah lobi-lobi politik mengubur bakal hikmah itu seiring dengan singkatnya memori sosial bangsa ini?

Effendi Gazali Koordinator Program Master Komunikasi Politik UI

No comments:

A r s i p