Friday, May 25, 2007

Menyoal Aliran Dana DKP

Eddy O S Hiariej

Dana taktis yang dihimpun Departemen Kelautan dan Perikanan selama Rokhmin Dahuri menjadi menteri telah menyeretnya ke meja hijau dengan dakwaan korupsi.

Kasus ini kian heboh menyusul pernyataan Rokhmin bahwa aliran dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang dihimpunnya juga menciprati pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dalam pemilihan presiden 2004 silam. Keterangan Rokhmin itu diperkuat keterangan Andin H Taryoto sebagai terdakwa dalam kasus yang sama di depan sidang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Kompas, 23/5/2007).

Bahkan, seminggu sebelumnya, Prof Amien Rais MA PhD sebagai salah seorang calon presiden dalam pemilihan presiden 2004 mengaku menerima aliran dana dari DKP sebesar Rp 200 juta.

Alat bukti sah

Persoalannya kemudian, mengapa aliran dana DKP tak mendapat respons dari aparat penegak hukum, baik Jaksa Agung, Kepala Polri, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi. Padahal, aliran dana DKP yang dikemukakan Rokmin Dahuri, Amien Rais, dan Andin sudah merupakan indikasi adanya perbuatan pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Aparat penegak hukum tidak perlu menunggu laporan masyarakat. Bukankah berdasar Pasal 184 KUHAP keterangan terdakwa di depan sidang pengadilan adalah alat bukti yang sah. Terlebih, keterangan kedua orang terdakwa itu telah diakui oleh kejujuran seorang Amien Rais. Artinya, sudah ada bukti permulaan yang cukup untuk dilakukan penyidikan.

Jika bersandar pada UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 45 Ayat (1) huruf c menyebutkan, "Pasangan Calon dilarang menerima sumbangan atau bantuan lain untuk kampanye yang berasal dari Pemerintah, BUMN dan BUMD".

Selanjutnya di Pasal 89 disebutkan, "Setiap orang yang dengan sengaja menerima atau memberi dana kampanye dari atau kepada pihak-pihak yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 Ayat (1), diancam pidana penjara paling singkat 4 (empat) bulan atau paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)".

Beberapa catatan

Berdasar konstruksi Pasal 45 dan Pasal 89 itu, ada beberapa catatan dari penulis.

Pertama, ancaman pidana dalam pasal itu menimbulkan kontroversi persoalan kedaluwarsa penuntutan pidana. Berdasarkan Pasal 78 KUHP, kedaluwarsa penuntutan pidana telah diatur secara rigid. Terhadap kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, kedaluwarsanya enam tahun. Kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari tiga tahun, kedaluwarsanya 12 tahun. Kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, kedaluwarsanya 18 tahun. Sementara dalam pasal itu, ancaman maksimum pidananya "sebanyak" dua tahun.

Kedua, rumusan ancaman pidana dalam pasal itu memberi diskresi yang begitu luas kepada hakim dengan adanya kata-kata "dan/atau". Hakim dapat menjatuhkan pidana denda saja, pidana penjara saja, atau pidana denda diakumulasikan dengan pidana penjara.

Ketiga atau yang terakhir, substansi kedua pasal itu adalah masalah money politics yang dalam konteks kriminologi tidak mungkin dipisahkan dari korupsi.

Jika SBY-JK terbukti menerima

Kembali kepada kasus aliran dana DKP, para pelaku yang dapat diseret ke pengadilan tidak hanya yang memberi dana itu, tetapi juga termasuk semua pasangan calon yang menerima aliran dana itu. Bahkan, jika terbukti benar, para pelaku tidak hanya dijerat dengan menggunakan UU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, tetapi juga dijerat dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Artinya, apa yang dilakukan para pelaku, bisa dikualifikasikan sebagai concursus idealis atau suatu perbuatan yang diancam beberapa ketentuan pidana.

Konsekuensi selanjutnya ancaman pidana yang dapat dijatuhkan adalah ancaman pidana paling berat dari berbagai ketentuan pidana yang dilanggar. Jika pasangan calon Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla terbukti juga menerima aliran dana itu, pintu untuk melakukan pemakzulan terhadap presiden dan wakil presiden terbuka lebar.

Sebagai catatan ke depan terhadap undang-undang pemilihan umum yang masih digodok, kiranya ketentuan pidana perihal money politics dapat memuat ancaman lebih tegas dengan ancaman minimum dan maksimum penjara yang cukup signifikan serta tidak memberi diskresi yang besar kepada hakim.

Selain itu, harus ada aturan lebih ketat perihal transparansi dan akuntabilitas dana kampanye, baik pada kampanye legislatif maupun kampanye calon presiden dan calon wakil presiden.

Eddy O S Hiariej Pengajar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

No comments:

A r s i p