Thursday, May 24, 2007

Dana Nonbudgeter Paling Besar untuk Politisi
Keluarga Rokhmin Dahuri Pun Ikut Menikmati

Jakarta, Kompas - Meskipun tujuan pengumpulan dana nonbudgeter awalnya diperuntukkan bagi para nelayan, ternyata penggunaan dana untuk nelayan paling kecil. Penggunaan dana itu lebih banyak untuk para politisi, seperti anggota DPR, partai politik, maupun tim-tim sukses calon presiden dan calon wakil presiden. Bahkan, Rokhmin dan keluarganya juga ikut menikmati dana tersebut.

Hal ini terungkap dalam sidang di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (23/5), saat majelis hakim memeriksa saksi Didi Sadili, Kepala Bagian Umum Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Didi dipercaya Rokhmin Dahuri untuk mengelola keuangan dana nonbudgeter dari Rokhmin. Saksi lainnya adalah mantan Sekjen DKP Andin H Taryoto.

Didi mengatakan, ia mendapat perintah dari Rokhmin untuk mengelola dana yang diberikan Rokhmin, total Rp 24 miliar. Setiap pemasukan dan pengeluaran selalu ia laporkan kepada Rokhmin setiap dua minggu sekali. Khusus untuk pengeluaran, Didi mengaku selalu mendapat perintah dari Rokhmin untuk menyerahkan uang kepada orang atau ormas tertentu. Didi mengatakan, pengeluaran uang itu hanya bisa dilakukan apabila sudah diberikan izin oleh Rokhmin.

Majelis hakim menanyakan pengeluaran untuk Rokhmin yang tidak ada kuitansi "Karena beliau yang punya," jawab Didi.

Khusus untuk para politisi, partai politik, maupun tim sukses calon presiden, Didi mengaku yang menyerahkan adalah staf- staf khusus Rokhmin, yaitu Fadlil Hasan alias Pupup dan Barlan.

Dari dana Rp 24 miliar yang ia kelola, Didi telah meminta pembayaran kembali sebanyak Rp 4,3 miliar dari Sekjen DKP Andin H Taryoto.

Didi di dalam sidang kembali mengungkapkan penggunaan uang-uang tersebut. Uang yang diserahkan langsung oleh Rokhmin, misalnya ke Abdurrahman Wahid dan Solahuddin Wahid. Solahuddin menerima Rp 200 juta yang diserahkan Rokhmin kepada menantu Solahuddin di rumah dinas Rokhmin berupa delapan travel check dengan nilai masing-masing Rp 25 juta.

Jaksa penuntut umum Zet Tadung Allo mengklarifikasi penerimaan dana oleh Amien Rais kepada Didi, apakah Rp 400 juta atau Rp 600 juta. Berdasarkan BAP, Amien Rais menerima Rp 600 juta, yaitu 1 Mei 2003 Rp 200 juta, 29 Maret 2004 Rp 200 juta, dan 23 Mei 2004 Rp 200 juta.

"Saya diminta untuk menyerahkan uang kepada Pak Munawar Fuad Tim SBY Rp 150 juta. Saya diminta ketemu orang yang diutus oleh Pak Munawar di Cibubur. Kalau Mega Center melalui Stefen Rp 200 juta diserahkan kepada terdakwa. Lalu Tim SBY tanggal 13 Mei 2004 menerima Rp 100 juta melalui Fadhil Hasan yang diberikan Rokhmin. Untuk pembuatan buku SBY Rp 200 juta," kata Didi.

Kuasa hukum Rokhmin, Herman Kadir, menanyakan berapa dana yang diterima PKS, sebab begitu banyak dana yang diterima oleh PKS. "Soalnya kami menghitung, PKS menerima sampai Rp 700 juta," katanya.

Didi mengungkapkan adanya aliran dana ke keluarga Rokhmin, yaitu ke kakak kandung Rokhmin, Suhanah; adik kandung Rokhmin bernama Onah, Suminta, dan Rohaini. Didi juga pernah mentransfer dana ke istri Rokhmin, Pigoselvi Anas, Rp 200 juta.

Secara terpisah, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid meragukan sebagian kebenaran pernyataan pihak Rokhmin, terkait aliran dana DKP. "Pernyataan yang dikeluarkan hendaknya didasari pada bukti dan fakta," katanya.

Tanpa kedua faktor itu, klaim yang mengarah pada pejabat atau tokoh negara bisa mengarah pada pembunuhan karakter. "Agar tidak terjadi fitnah dan bola liar politik yang mengarah pada disharmoni anak bangsa serta cacat pada pemimpin nasional, basic pernyataannya harus berdasarkan fakta, bukan klaim sepihak," ujarnya di sela-sela Seminar 99 Tahun Kebangkitan Nasional, Rabu siang.

Jaksa Agung Hendarman Supandji menyatakan, Kejaksaan Agung memonitor perkara korupsi dana nonbudgeter DKP itu. "Apakah itu gratifikasi atau bukan, siapa yang menentukan? KPK," katanya.

Menurut Hendarman, dilihat dari status penerima dana nonbudgeter DKP yang saat itu sebagai anggota tim kampanye atau calon presiden peserta Pemilu 2004, konstruksi hukum yang dapat digunakan adalah pelanggaran Undang-Undang No 23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. (vin/idr/jon/nwo)

No comments:

A r s i p