Monday, May 21, 2007

Pharao dan Presiden

Daoed Joesoef

Dua ribu tahun Sebelum Masehi, diceritakan dalam Alkitab, Pharao bermimpi melihat 10 ekor sapi gemuk muncul dari dalam sungai Nil, disusul 10 ekor sapi kurus. Sapi-sapi kurus itu memakan habis sapi-sapi gemuk, tetapi tetap saja kurus.

Penguasa Mesir ini memanggil semua penasihatnya untuk menafsirkan makna mimpi itu. Ternyata tidak seorang pun mampu melakukan. Salah seorang di antaranya hanya sanggup mengatakan, ada seorang napi yang kiranya bisa membantu. Napi itu bernama Yosef anak Yakob, terpenjara karena difitnah.

Berkat interpretasinya yang tepat, kerajaan Mesir bisa selamat dari musibah paceklik menyusul musim subur sebelumnya. Maka dapat dikatakan, Yosef adalah ahli business cycle pertama, tetapi luput dari analisis ekonomi modern dari Adam Smith.

Jadi, sudah sejak dulu pemimpin memerlukan jasa para "penasihat", yang ternyata tidak selalu mumpuni. Jika sampai terjadi demikian, bukan salah mereka, tetapi akibat salah pilih pemimpin. Kesalahan memilih karena dia salah pikir, tidak membiasakan berpikir dalam kesendiriannya.

Presiden SBY sebenarnya tergolong pemimpin negara dan pemerintah yang paling dikaruniai demokrasi di antara semua Presiden RI yang pernah ada. Betapa tidak. Setiap hari koran Indonesia tertentu, terutama yang terbit di Jakarta, menyajikan opini di halamannya, juga majalah dan tabloid. Opini ini adalah buah pikiran dari bukan sembarang orang. Ia merupakan hasil penalaran dari warga negara yang terdidik, di antaranya ada guru besar yang terpelajar. Terhadap mereka ini di kampus, ada ejekan "sarjana koran", berasal dari sementara dosen yang sinis, tidak menyukai partai, politik, lebih-lebih politikus.

Kita boleh berpendirian demikian, tetapi semua itu tetap diperlukan oleh demokrasi sebagai necessary evil. Akibat buruk dari demokrasi kepartaian dan/ atau demokrasi politikus seperti sekarang, lambat laun bisa dikurangi dengan membangun dan memasyarakatkan (semangat) demokrasi opini atau demokrasi publik. Media sudah berusaha ke arah itu dan usaha ini sudah diberi makan oleh opini, buah pikiran kaum intelegensia yang ada di luar (disiplin) partai.

Apa saja yang disajikan media berupa opini spesialistis adalah bahan yang masih tercerai-berai, berdiri sendiri-sendiri dan baik dalam artiannya masing-masing, belum manunggal, bila dilihat dari sudut konsep menyeluruh. Maka, Presiden terpanggil, melalui nalarnya, untuk mengolah sendiri semua itu menjadi suatu kebijakan praktis yang worthy by the name. Pengetahuan mengolah ini harus dipelajari dan dikembangkan melalui usaha sendiri.

Penasihat

Ibarat mengunyah tebu, sebaik-baik pendapat yang diberikan penasihat, ia tak lebih dan tak kurang sama dengan ampas yang dilepehkan. Gula hasil kunyahan sudah ditelan sendiri. Analog dengan ini, pengetahuan yang didapat Presiden berupa nasihat dari siapa pun sebenarnya hanya bersifat informasi. Dalam bahasa keilmuan, ia disebut ilmu pengetahuan dalam arti produk, bukan ilmu pengetahuan dalam artian proses. Justru ilmu pengetahuan dalam artian proses inilah yang merupakan pengetahuan ilmiah murni karena ia hasil dari bekerjanya semangat ilmiah.

Dengan kata lain, pengetahuan keahlian yang disampaikan penasihat tetap melekat di benak sendiri dan membesarkan kemampuan pikirnya sendiri. Dari sudut presiden yang menerimanya, ia hanya berpembawaan informasi karena bukan buah dari pemrosesan nalarnya sendiri.

Jabatan penasihat memang amat menarik karena dua hal.

Pertama, nasihat yang diberikan bersifat rahasia. Jadi, publik tidak bisa mengetahui ketepatan atau kekeliruannya.

Kedua, bisa turut dalam misi kerahasiaan merupakan kebanggaan, terutama bila hal-hal yang disembunyikan bagi umum ini menyangkut nasib rakyat, bangsa, dan negara. Kebiasaan itu mengesankan si penasihat merupakan warga terpercaya.

Padahal, reformasi katanya bertekad membangun demokrasi yang terbuka, transparan bagi siapa saja (sic), bukan demokrasi bisik-bisik. Memang, dalam penyelenggaraan negara satu tingkat tertentu kerahasiaan tak terelakkan. Namun, bukan berarti segala sesuatu perlu disembunyikan. Pengangkatan pejabat dinyatakan terbuka, diumumkan ke segala penjuru, tapi pekerjaannya dirahasiakan. Sungguh aneh!

Presiden pilihan rakyat harus bisa memanfaatkan opini tertulis yang beredar di tataran publik dengan berusaha mendalami sendiri. Tangkaplah apa yang tersirat di balik yang tersurat di halaman-halaman media, terutama keterkaitan dari kekhasan pesan tiap-tiap tulisan. Rangkailah satu sama lain hingga menjadi untaian citra yang menjanjikan.

Karena sebelum diedarkan sudah diuji dua kali, oleh penulisnya sendiri dan staf redaksi, semua opini itu sudah relatif korek. Maka, pantas dijadikan materi pembahasan filosofi kontemporer yang cenderung membumi, sebagaimana terjadi di perkuliahan filosofi di perguruan tinggi bermutu di Eropa, guna mengimbangi filosofi klasik yang berpembawaan metafisis.

Namun, Presiden diharapkan mengunyah sendiri opini karena dia harus berfungsi sebagai Pikir yang merajut semua perbuatan spesialistis dari setiap pembantunya, terutama menteri, menjadi suatu rangkaian kebijakan publik yang terpadu, berkaitan secara harmonis dan terarah. Dengan kata lain, Presiden harus mengunyah sendiri tebu hingga bisa menelan sendiri kesegaran gula yang terkandung beserta segala unsur energetiknya yang diperlukan bagi pertumbuhan diri.

Tak ada jalan pintas

Pharao memimpin kerajaan di zaman purba. Saat itu Mesir sudah mengembangkan tanda-tanda yang berfungsi sebagai catatan tertulis, tetapi belum menerapkannya dalam sistem pemberitaan massal yang menampung pendapat pribadi warga tentang urusan hidup bersama. Maka, Pharao dikelilingi sejumlah penasihat yang berperan dalam menciptakan intrik, kerahasiaan, dan ketertutupan yang mengungkung suasana kerja pemerintahan dan kehidupan pribadinya. Ketiga hal itu bisa terjadi karena melalui interaksi Pharao-penasihat, daya pikir penasihat kian menguat, sedangkan sang raja kian terbius berhubung terus menelan ampas penalaran orang lain.

Sementara Alexander dari Yunani, oleh sejarah dijuluki the Great karena Aristoteles mengajarkan kepadanya rumus menemukan solusi, bukan menasihatinya dengan solusi yang siap pakai. Gegampang lain dari raja Mesir mencuat saat Ptolomeus menanyakan kepada Euclid apakah ada cara singkat dalam pembelajaran matematika. Sang matematikawan menjawab tidak ada jalan pintas guna menguasai pengetahuan, meski untuk raja.

Presiden republik adalah pemimpin negara-bangsa di abad XXI. Dia hidup dan bekerja di tengah perkembangan demokrasi opini yang dikembangkan media bersama-sama kaum intelegensia sebagai bukti turut bertanggung jawab atas jalannya kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Maka, opini itu sepantasnya ditanggapi Presiden sebagai masukan yang disampaikan secara terbuka dan transparan, sejalan dengan tekad semula dari gerakan reformasi.

Daoed Joesoef Docteur d’Etat es Sciences Economiques Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne de Paris I

No comments:

A r s i p