Monday, May 21, 2007

PKS dan Ideologi Cetak E-mail
Oleh: Fahri Hamzah

Pertarungan politik untuk meraih kursi Gubernur DKI Jakarta mulai menghangat. Hal ini ditandai dengan geliat berbagai partai politik dalam menjaring, mengelus masing-masing jago dan menjalin koalisi dengan partai politik yang lain. Hingga saat ini dua nama bakal calon gubernur yang mendapat dukungan riil dari partai-partai politik adalah Fauzi Bowo (Wakil Gubernur DKI Jakarta saat ini) dan Adang Daradjatun (mantan Wakil Kapolri). Fauzi Bowo dicalonkan oleh PDIP, Partai Demokrat, Golkar, PBB, PDS dan sejumlah partai lainnya. Sementara Adang dicalonkan oleh PKS. PKB dan PAN, hingga tulisan ini dibuat, belum menentukan secara tegas nama yang akan dicalonkannya.

PKS : Musuh Ideologis?

Di tengah konstelasi politik yang semakin jelas tersebut, perlu dicermati apa yang diungkapkan oleh partai-partai politik pendukung Fauzi Bowo yang menyatakan bahwa mereka bersama bergabung melawan calon yang diajukan PKS, karena PKS adalah musuh ideologis bagi mereka. Mereka bahkan membuat polarisasi antara dua kubu, dengan menyatakan kelompoknya adalah Nasionalis yang akan melawan kelompok Sektarian.

Positioning PKS yang dipandang sebagai musuh ideologis oleh partai-partai pengeroyoknya ini mengundang pertanyaan akan relevansi ideologi sebagai dasar yang memisahkan satu kelompok partai dengan partai yang lain. Bukankah kita semua telah sepakat bahwa Pancasila telah final sebagai ideologi negara ini, dan otomatis menjadi ideologi bagi segenap organisasi massa, partai politik dan lain sebagainya? Walaupun terdapat beberapa kelompok masyarakat yang menempatkan Islam atau sesuatu yang lain sebagai azas gerakan, namun hampir dapat dipastikan tak ada satupun kelompok resmi (terdaftar) yang masih mempersoalkan Pancasila sebagai ideologi.

Bahkan PKS berkali-kali dalam pernyataan tokoh-tokoh kuncinya menyebut bahwa Pancasila, UUD 1945 (termasuk hasil amandemen) dan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) adalah final. PKS tidak mau lagi umat Islam diadu dan dihadapkan dengan negara. Karena negara ini mayoritas muslim dan ketegangan seperti yang selama ini terjadi, telah merugikan bangsa ini dalam perpecahan yang tiada henti. Kini PKS mengajak kita melihat ke depan, melihat apa yang terbaik bagi bangsa besar ini.

Artinya, ketika perdebatan tentang ideologi tersebut telah berakhir, maka faktor diskriminan yang membedakan satu partai politik dengan yang lainnya adalah pada level strategi ataupun kebijakan untuk mewujudkan cita-cita nasional. Tudingan terhadap PKS sebagai lawan ideologis, mengingatkan kita pada cara-cara yang digunakan oleh pemerintah Orde Baru ketika menuding kelompok-kelompok yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah, sebagai gerakan komunis, ekstrem kiri, kanan dan sebagainya.

Tudingan terhadap PKS tersebut jelas bertolak belakang dengan realitas di lapangan, di mana dalam berbagai momentum, PKS telah menunjukkan diri sebagai partai terbuka untuk bekerja sama dengan kelompok manapun. Dalam pilkada yang diselenggarakan di berbagai daerah, PKS tak segan untuk bergandengan tangan dengan berbagai partai yang memiliki keragaman ciri, termasuk ciri agama non-Islam. Dalam kasus Papua, PKS bersama PDS menyusun calon gubernur yang sama (pasangan Lucas Enembe dan Aitarau Arobi) yang lebih kalah tipis oleh pasangan Barnabas Suebu. Di Papua juga PKS mencalonkan anggota legislatif Nasrani dan sukses menjadi anggota DPRD setempat. Selain memilih mereka yang mencerminkan komposisi masyarakat sebagai pengurus partai, PKS juga percaya bahwa demokrasi bermakna representasi, tidak ada pemaksaaan atas nama segenap masyarakat tempat PKS berada.

Jelas hal tersebut tidak akan terjadi pada partai yang memilih untuk bersifat eksklusif dan memandang ciri tertentu yang dimilikinya melampaui kebhinekaan yang real dalam keindonesiaan. Pada kenyataannya, dalam perjalanan pencalonan Gubernur DKI Jakarta, PKS telah mengambil inisiatif untuk menjalin koalisi dengan partai lain, termasuk yang berbasis massa Nasrani, atas kesadaran bahwa Ibukota berwarna-warni dan ini adalah wajah kita semua, walaupun akhirnya ajakan tersebut tidak diterima. Penolakan atas PKS bukan disebabkan oleh perbedaan visi dan program tetapi lebih diakibatkan oleh alasan yang tidak jelas, seperti persoalan ideologi, kecurigaan, tekanan politik luar, dan lain-lain.

Pilihan PKS sebagai partai terbuka, bukanlah pilihan tanpa sadar. Partai terbuka mensyaratkan penerimaan akan keberagaman dan perbedaan. Mayoritas bisa jadi mengungguli minoritas, tapi dilakukan voluntarily. Pilihan PKS untuk membuka diri ini akan memperluas basis konstituennya, sekaligus menutup peluang untuk bersikap eksklusif atas nama agama tertentu. Dalam teori distribusi normal selalu saja ada ekstrim, tetapi tidak pernah menjadi mayoritas. Ekstrim adalah watak populasi minoritas. Itu sebabnya PKS bersikap moderat. Dan moderat adalah watak ideologi PKS.

Ideologi dan Simbol

Penempatan PKS sebagai musuh ideologis oleh sejumlah partai, dapat dipastikan sebagai upaya yang sistematis untuk mengeksklusi partai yang dimotori para aktivis kampus ini. Ketika trauma masyarakat atas komunisme mulai sirna, dengan tampilnya mantan-mantan tokoh gerakan pada masa lalu yang memaparkan sejarah menurut sudut pandang mereka, phobia terhadap Islam tampaknya berusaha dihidupkan. Akan sangat disayangkan jika hal ini sebetulnya mengikuti agenda global yang pada banyak negara barat memandang Islam sebagai identik dengan terorisme dan kekerasan.

PKS tidak masuk dalam kelompok yang dipandang berpotensi melakukan tindakan terorisme, namun label yang hendak ditempelkan pada PKS adalah sebagai gerakan politik yang hendak memperjuangkan negara Islam, memaksakan keseragaman, dan lain-lain. Label ini bisa jadi akan terus didengungkan oleh sekelompok partai, untuk mentransfer asosiasi tentang Islam garis keras yang menjadi momok bagi seluruh dunia, pada PKS sebagai sebuah kekuatan riil. Memang waktu yang akan menunjukkan bahwa perjuangan mewujudkan negara Islam, bukanlah agenda PKS.

Eksistensi PKS dalam beberapa tahun terakhir tak dapat dilepaskan dari upaya mewujudkan masyarakat berkeadilan yang sejahtera. Upaya tersebut diderivasi dalam serangkaian upaya untuk mendorong pemberantasan korupsi, mewujudkan pemerintahan yang bersih, serta mandiri dan bermartabat di mata dunia internasional.

Tudingan PKS sebagai musuh ideologis, tak lebih dari upaya membelokkan persepsi masyarakat akan citra PKS yang lekat dengan perjuangan nilai-nilai di atas. Kembalinya pengelompokan atas dasar ideologis, seolah hendak membutakan masyarakat akan persoalan-persoalan strategi dan kebijakan yang justru lebih relevan untuk diangkat di tengah masyarakat, dalam situasi kita melihat lumpuhnya para tokoh dan hilangnya ide-ide besar dalam diskusi politik kita.

Labelisasi PKS sebagai partai sektarian, juga seolah hendak mengajak masyarakat melupakan kegagalan Pemprov DKI dalam mengantisipasi banjir pada awal 2007 yang menambah jumlah masyarakat miskin. Ingatan masyarakat akan kenyataan tersebut tentu saja akan menyulitkan calon gubernur yang didukung partai-partai tersebut, karena merupakan bagian dari pemerintahan daerah yang lama. Masalah pengangguran, macet yang tak kunjung teratasi, hilangnya rasa aman di tengah masyarakat; seakan terkalahkan signifikansinya oleh perdebatan tentang ideologi, yang bagi PKS sendiri telah dipandang final.

Kesadaran Masyarakat Penerima Tudingan dan upaya memberikan label tertentu secara ideologis, pada dasarnya tidak lepas dari upaya merebut simpati calon pemilih. Masyarakat yang terbenam dengan timbunan informasi, dicoba untuk dibuatkan short-cut pada alam pikirannya, untuk mengasosiasikan PKS dengan stigma yang dianggap negatif.

Manusia adalah homo symbolicum. Sebagai makhluk hidup ia akan selalu memproduksi makna, mereproduksinya, kemudian juga tanpa henti menafsirkan makna yang bertebaran di sekelilingnya. Dalam hal ini masyarakat tidak bisa dipandang sebelah mata dalam kemampuannya menafsirkan makna. Pelempar isu PKS sebagai musuh ideologis, bisa jadi tidak paham betul bahwa ketika sebuah wacana terlempar di tengah masyarakat, maka wacana tersebut menjadi otonom. Ia bisa diterima dan dipahami oleh masyarakat dengan cara berbeda, bahkan bertolak belakang, dengan maksud awal pencipta wacana.

Ketika belasan partai bersatu mengeroyok PKS, kemudian secara agresif melakukan “serangan-serangan�? dan stigmatisasi ala Orde Baru, wajar apabila kemudian muncul pertanyaan, “Ada apa gerangan?�? Apakah ada dalam catatan perjalanan PKS sebagai partai politik yang mengonfirmasi tudingan sebagai musuh ideologis, dalam hal ini Pancasila? Mengapa pertarungan yang dipilih oleh belasan partai tersebut adalah pada level ideologis? Dan tidak pada tataran strategi, kebijakan ataupun program? Apakah calon yang diajukan oleh PKS merepresentasikan kekuatan radikal Islam atau justru menyimbolkan keragaman dan moderasi dalam keimanan? Sejuta pertanyaan mengalir dalam pikiran kita. Berjuta kemungkinan jawaban dan penafsiran siap menyambutnya.

Pada akhirnya masyarakat pemilih adalah hakim yang adil dalam menentukan pilihannya. Kebebasan pemilih dalam menjatuhkan pilihan mendapat tempat terhormat dalam proses demokrasi ini. Namun, alangkah baiknya bagi partai-partai pendukung calon gubernur untuk membangun kedewasaan berpolitik dengan mempertarungkan gagasan-gagasan yang mencerdaskan.

Sudah saatnya kita semua bertindak lebih kongkret, menempatkan kemiskinan dan ketidakberdayaan sebagai musuh bersama kita. Kemudian berlomba-lomba memformulasikan strategi terbaik untuk menghantamnya. Kegagalan dalam mengelola Jakarta pada masa sebelumnya kita jadikan pelajaran, agar kita dapat segera mewujudkan Ibukota yang manusiawi dan sejahtera. Jangan alihkan mata kita dari menemukan masalah sebenarnya. Rakyat butuh perubahan nasib, yang nyata dan dilakukan sekarang juga. (*)

Fahri Hamzah
Wakil Sekjen PKS dan Wakil Ketua Fraksi PKS

No comments:

A r s i p