Monday, May 21, 2007

Politik "The Untouchable"

Tata Mustasya

Ada indikasi, politik the untouchable—yang sukses dipraktikkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama 29 bulan—mulai melemah. Survei terakhir Lembaga Survei Indonesia menunjukkan hal itu.

Berdasarkan survei, 15-25 Maret 2007, kepuasan publik kepada Yudhoyono menurun hingga 49,7 persen, level terendah pada masa pemerintahannya. Bandingkan dengan popularitas Yudhoyono pada Desember 2006 yang mencapai 67 persen.

Popularitas Partai Demokrat (PD)—terasosiasi dengan Yudhoyono—juga melorot hingga 10,4 persen, jauh di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebesar 19,7 persen. Padahal, pada November 2006, popularitas PD 16 persen di atas PDI-P yang 13,5 persen.

Indikasi ini bersifat positif. Ada respons "menghukum" dari masyarakat—sebagai pemilih—atas buruknya kinerja pemerintah. Sebaliknya, politik the untouchable membuat Yudhoyono tak tersentuh, sekaligus seperti tidak berandil terhadap kegagalan kebijakan yang kerap terjadi.

Penyokong "the untouchable"

Konsekuensi politik the untouchable adalah presiden tak punya insentif kuat untuk memprioritaskan publik dalam kebijakannya, terutama saat menghadapi trade-off yang pelik. Pendapat klasik Amartya Sen, demokrasi efektif mencegah kelaparan didasarkan pada hadirnya "hukuman pemilih" bagi pengambil kebijakan jika mengabaikan pemilih. Hal yang absen di negara-negara otoritarian.

Hingga Desember 2006, Yudhoyono berhasil melokalisasi persepsi publik terhadap kegagalan kebijakan hingga level menteri dan wakil presiden. Saat janji revitalisasi sektor pertanian tak kunjung ditepati, publik menuding menteri pertanian. Ketika harga bahan bakar minyak naik lebih dari 100 persen, kambing hitamnya adalah menteri koordinator perekonomian saat itu. Yudhoyono bagai steril, seseorang berkomitmen tinggi tetapi diperdaya lawan-lawan politiknya.

Bagaimana politik "tak tersentuh" ini sukses dilakukan selama dua tahun lebih? Kuncinya, Yudhoyono disokong penuh oleh para pembangun persepsi publik: komunitas internasional, pengusaha besar, partai politik, dan media.

Hasil survei kepuasan publik kepada presiden adalah output persepsi. Soalnya, persepsi itu tak independen, tetapi kuat dipengaruhi para pembentuknya. Bagaimanapun, publik tak memiliki akses untuk menilai presiden dari tangan pertama.

Komunitas internasional dan pengusaha besar, misalnya, mampu memberi label apakah seorang politisi "ramah terhadap investor". Hibah, pinjaman, serta stabilitas pasar uang dan pasar modal merupakan ruang di mana kelompok elite ini mengarahkan persepsi publik tentang komitmen dan kompetensi presiden, terutama dalam urusan perekonomian.

Partai politik—terutama melalui DPR— dapat memutuskan untuk mengangkat atau menutup-nutupi kesalahan presiden ke wacana publik. Yudhoyono relatif aman dengan dukungan 10 partai, total 420 dari 550 kursi atau 76,4 persen.

Terakhir, pemilik media dapat mengontrol informasi tentang kinerja pemerintah bagi puluhan juta orang. Berdasarkan perhitungan data primer oleh penulis, sebagai contoh, kelompok MNC paling tidak mengendalikan informasi bagi 52,05 juta orang. Konsesi ekonomi-politik lebih mudah disepakati karena: (1) dominannya pemilik media nonjurnalis, mereka umumnya pengusaha; (2) kecenderungan akuisisi media—televisi, radio, dan cetak—oleh beberapa pemain utama.

Mulai tersentuh

Namun, kemampuan elite pembangun persepsi ini terbatas. Saat persepsi positif yang hendak dikembangkan dengan kenyataan kian senjang, Yudhoyono mulai tersentuh. Soalnya kian rumit karena konsesi ekonomi-politik dengan elite—dalam banyak kasus—memperburuk kinerja Yudhoyono, seperti sikapnya yang mengambang dalam kasus lumpur Lapindo.

Ada dua isu di mana Yudhoyono tak lagi bisa mengisolasi diri. Pertama, memburuknya indikator ekonomi terukur yang berdampak langsung kepada masyarakat, yaitu kemiskinan dan pengangguran. Untuk pertama kali sejak tahun 1999, tingkat kemiskinan antartahun naik.

Kedua, ketidakjelasan peran pemerintah dalam beberapa kasus yang amat populer, bahkan melibatkan emosi publik. Dua kasus menonjol adalah indikasi pembunuhan aktivitas HAM Munir dan korban lumpur Lapindo.

Sulit memprediksi—meski dalam jangka pendek—masa depan politik the untouchable Yudhoyono. Persoalan ini tergantung kecerdikan PDI-P untuk mengapitalisasi dan mengoptimalkan investasi politiknya sebagai partai oposisi. Mengarahkan pertanggungjawaban isu-isu penting kepada presiden—bukan lagi kepada menteri—merupakan strategi pokok.

Tantangan terbesar bagi Yudhoyono justru muncul dari dalam koalisinya yang amat transaksional. Komunitas internasional, pengusaha besar, dan media tertentu bisa beralih "jago", tergantung kepentingan. Perubahan keseimbangan politik juga bakal marak mendekati Pemilu 2009, di mana beberapa parpol mungkin hengkang dari koalisi. Tujuannya, menyokong kandidat lain, sekaligus cuci tangan terhadap kegagalan pemerintah.

Penentu terakhir adalah kemunculan kompetitor sepadan, mungkin politisi yang lebih muda dan segar. Sejauh ini, turunnya popularitas Yudhoyono akibat buruknya kebijakan tidak seelastis perubahan popularitas parpol, mungkin karena nihilnya alternatif. Jika situasi ini berlanjut, bersiaplah untuk menyaksikan kebijakan yang itu-itu juga dalam tujuh tahun ke depan.

Tata Mustasya Analis Ekonomi-Politik di The Indonesian Institute

No comments:

A r s i p