Monday, May 21, 2007

Sang Peniup Peluit

Yenny Zannuba Wahid

Majalah Time (edisi 22 Desember 2002) menganugerahkan penghargaan Persons of The Year kepada Cynthia Cooper, Coleen Rowley, dan Sherron Watkins atas keberanian ketiga perempuan itu membongkar skandal keuangan dan politik di tiga lembaga yang berbeda.

Cynthia Cooper mengambil risiko personal dan profesional yang amat besar untuk membongkar skandal keuangan di WorldCom. Coleen Rowley mengambil sikap sama, membongkar skandal politik di FBI. Dan Sherron Watkins membongkar skandal keuangan di Enron.

Sherron Watkins adalah Wakil Presiden Enron yang menulis surat kepada Direktur Kenneth Lay pada musim panas tahun 2001. Dalam surat itu, Watkins mengingatkan Lay, metode akuntansi perusahaan tidak patut. Akhirnya Enron kolaps.

Coleen Rowley adalah pengacara staf FBI yang mengirim memo kepada Direktur FBI Robert Mueller. Dalam memo itu Rowley mengungkapkan, FBI telah menghilangkan nama Zacarias Moussaoui, warga Prancis keturunan Maroko, dari daftar orang yang harus diinvestigasi karena terindikasi sebagai salah satu otak serangan 11 September.

Sementara Cynthia Cooper membongkar skandal keuangan WorldCom saat perusahaan itu menutup kerugian 3,8 miliar dollar AS lewat laporan pembukuan palsu.

Ketiga perempuan itu adalah para peniup peluit (whistleblowers) yang berhasil membongkar megaskandal di perusahaan besar dan lembaga penyidik nomor wahid di Amerika. Mereka berani mengambil risiko atas pekerjaan, keselamatan, privasi, dan kesehatan jiwanya.

Pembusukan

Inu Kencana Syafei, dosen senior Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang berani mengungkap kematian praja Cliff Muntu dan berbagai skandal kekerasan di lembaga pendidikan itu, layak diberi penghargaan. Ia adalah sang peniup peluit yang secara terbuka mengungkap skandal kekerasan di IPDN. Suatu sikap yang jarang dimiliki karena bisa mengancam jiwa, keamanan keluarga, dan profesi.

Semula IPDN menyatakan, Cliff Muntu meninggal karena sakit lever. Tetapi, dengan berani, Inu Kencana menyatakan, praja asal Sulawesi Utara itu meninggal secara tidak wajar. Dalam disertasi doktornya, Pengawasan Kinerja STPDN Terhadap Sikap Masyarakat Kabupaten Sumedang, Inu mengungkapkan, sejak 1990-an hingga 2005, ada 35 praja yang tewas dan hanya 10 kasus yang terungkap.

Dilihat dari pembawaannya, Inu Kencana bukan tipe orang yang suka mencari popularitas. Ia adalah sosok dosen yang penuh dedikasi. Tanggung jawab kepada profesi dan tugas didasarkan kepentingan lebih luas dan fundamental, yaitu kepentingan pendidikan dan kemanusiaan.

Karena itu, meski ia gencar mengungkap berbagai skandal di IPDN, belum pernah terucap dari mulutnya agar lembaga ini dibubarkan. Skandal yang melibatkan beberapa orang tidak dengan sendirinya menjadi alasan untuk membubarkan lembaga itu. Yang ia lawan adalah cara-cara kekerasan yang mengatasnamakan pendidikan dan pembinaan, bukan eksistensi IPDN sendiri.

Orang seperti Inu Kencana seharusnya mendapat (1) perlindungan, (2) penghargaan, dan (3) fakta yang diungkap ditindaklanjuti aparat dan lembaga yang berwenang.

Negara harus memberi perlindungan terhadap Inu karena keberaniannya amat membantu pemerintah dalam mereformasi sistem secara menyeluruh dan membantu kepolisian mengungkap fakta. Penyimpangan dan skandal yang sudah berjalan secara sistemik, termasuk korupsi, akan lebih mudah diberantas jika ada orang dalam yang berani mengungkap fakta.

Orang seperti Inu itulah yang berjasa mencegah proses pembusukan sistem. Karena, jika tidak ada orang dalam yang membongkar, penyimpangan dan skandal akan dianggap sebagai bagian integral dari eksistensi lembaga itu sendiri.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi perhatian amat besar atas masih terjadinya kasus kekerasan di IPDN. Dengan tegas Presiden meminta adanya revisi menyeluruh atas sistem yang ada di lembaga pencetak pamong praja itu. Dimulai dengan ditiadakannya penerimaan praja angkatan 2007-2008 untuk memudahkan pembenahan sistemik ataupun mencari akar masalah di lembaga itu.

Dukungan

Lembaga-lembaga nonpemerintah seperti lembaga swadaya masyarakat dan ormas sudah sepatutnya memberi dukungan dan penghargaan kepada orang seperti Inu. Atas keberaniannya, masyarakat bisa mendapat informasi dan fakta tentang keadaan sebenarnya yang terjadi di sebuah lembaga pendidikan pencetak aparat pemerintah. Dukungan dan penghargaan masyarakat juga bisa memberi inspirasi dan panggilan moral bagi Inu-Inu lain di departemen, BUMN, atau perusahaan swasta.

Langkah Komunitas Seniman Surabaya Peduli pimpinan HM Cheng Hoo Djadi Galajapo yang memberi hadiah Rp 500.000 untuk Inu Kencana patut dihargai. Bukan jumlah yang diukur, tetapi simpati dan dukungan yang diberikan bisa menjadi inspirasi dan contoh bagi banyak orang dan kelompok masyarakat.

Dengan perlindungan dari negara serta dukungan dan penghargaan dari masyarakat, fakta-fakta yang diungkapkan oleh para peniup peluit seperti Inu bisa ditindaklanjuti untuk perbaikan menyeluruh dalam kehidupan nasional yang sedang menata diri. Mungkin beberapa orang yang terlibat harus berurusan dengan hukum, tetapi hal itu merupakan proses yang biasa dilalui untuk membangun landasan terciptanya sistem nasional yang kokoh dan negara yang kuat.

Jika di negara demokratis seperti Amerika Serikat saja orang masih takut mengungkap skandal, di negara seperti Indonesia, keberanian untuk menjadi peniup peluit merupakan sesuatu yang amat langka dan amat berharga bagi upaya percepatan pelembagaan politik yang sedang berlangsung. Kita tidak bisa memaksa munculnya para peniup peluit seperti Inu Kencana. Tetapi, kita harus selalu siap memberi respons positif dan protektif jika muncul Inu-Inu lain.

Para peniup peluit itu perlu dilindungi dan data yang diungkap harus ditindaklanjuti agar upaya-upaya reformasi sistem yang sedang dijalankan tidak menjadi upaya-upaya kosmetik, hanya menyentuh di permukaan dan memuaskan perasaan sesaat, tetapi sama sekali tidak menyelesaikan akar persoalan yang sesungguhnya.

Yenny Zannuba Wahid Staf Khusus Presiden RI Bidang Komunikasi Politik; Direktur The Wahid Institute

No comments:

A r s i p