Thursday, May 24, 2007

Persepsi Publik Atas Penyelesaian Kasus Soeharto

Solusi ”Three in One” Untuk Pak Harto

Analisis Survei Populasi Jakarta


Mayoritas publik memaafkan Pak Harto (65.1%). Namun mereka tak ingin proses hukum Pak harto dihentikan (50.1%). Proses hukum yang publik inginkan atas pak Harto tidak disebabkan oleh masih tersimpannya kemarahan atau kekecewaan atas Pak Harto selama menjadi presiden. Sebaliknya, setelah delapan tahun tidak lagi berkuasa, Soeharto mendapatkan apresiasi yang positif. Publik menginginkan dituntaskannya proses hukum lebih karena ingin ditumbuhkannya supremasi hukum tanpa pandang bulu.

Ini salah satu temuan survei mutakhir Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Survei ini hanya dilakukan di Jakarta, sebagai kota yang paling bergolak dan pusat gerakan yang menyebabkan jatuhnya Suharto delapan tahun lalu. Klaim yang dibuat dalam temuan ini hanya berlaku untuk populasi Jakarta saja, tidak dimaksudkan mewakili seluruh populasi Indonesia.

Survei diselenggarakan tanggal 17-20 Mei 2006, di seluruh wilayah Jakarta, dengan metode multi stage random sampling. Jumlah responden 438, yang diwawancarai secara tatap muka. Temuan survei ini mewakili opini seluruh populasi Jakarta dengan margin of error sekitar 4.8%.

Keputusan Jaksa Agung yang menghentikan proses hukum Pak Harto ditentang mayoritas publik. Yang menentang paling menonjol datang dari segmen pemilih yang berpendidikan tinggi ( 65.4%) dan pemilih PDIP pada tahun 2004 (63.9%). Penghentian proses hukum ini dianggap tak adil (54.9%).

Sungguhpun proses hukum harus diteruskan, mayoritas publik memaafkan pak harto. Apresiasi publik terhadap pak Harto setelah delapan tahun tak berkuasa cukup berimbang. Mayoritas (63.9%) menganggap pak Harto adalah presiden yang berhasil. Hanya minoritas (17.9%) yang menganggapnya sebagai presiden yang gagal. Dari semua jasa Soeharto yang diberi nilai tinggi, pembangunan ekonomi Indonesia dianggap yang terpenting (56.1%).

Lebih jauh lagi jika dibandingkan dengan kondisi sekarang, mayoritas (62.3%) menganggap kondisi Indonesia di era pak Harto lebih baik dibandingkan kondisi Indonesia di bawah presiden SBY. Yang menganggap kondisi Indonesia di bawah SBY lebih baik hanya 17.9%. Bahkan jika dibandingkan dengan Orde lama dan Orde Reformasi, soal ekonomi Orde Baru lebih baik (69.6%).

Tetap ada sekelompok orang yang berpandangan sangat negatif terhadap Pak Harto. Ia hanya dilihat sebagai pembawa kemunduran bagi Indonesia. Namun jumlah mereka yang hardliners marah kepada pak Harto sangat minoritas, di bawah 5% saja.

Persoalannya, bagaimana membuat kebijakan hukum dan politik yang sesuai dengan emosi dan opini publik ini? Di satu sisi publik ingin proses hukum diteruskan. Namun di sisi lain, publik juga ingin memaafkan Pak Harto.

LSI menyarankan solusi pak Harto melalui tiga langkah dalam satu paket ( three in one). Pertama, pemerintah mengeluarkan Perpu sehingga memungkinkan melakukan pengadilan in absentia tanpa melanggar prinsip hukum. Kedua, pengadilan atas Pak Harto dibuat secepat mungkin (paling lama satu bulan) dan dalam satu tahap saja (tak dapat naik banding). Ketiga, presiden melakukan rehabilitasi jika Pak Harto diputuskan tidak bersalah. Sebaliknya, presiden memberikan grasi jika Pak Harto diputuskan bersalah.

Solusi LSI melalui kebijakan ”Three in One” ini memiliki lima kekuatan sekaligus. Pertama, tradisi supremasi hukum diperkokoh. Selalu diupayakan terobosan hukum yang membuat proses hukum tidak terhenti. Kedua, kepastian kondisi dan pemaafan (jika bersalah) bagi pak Harto dijamin. Pak Harto dan keluarga tak lagi terombang-ambing karena ketidak pastian hukum. Ketiga, emosi dan opini publik sangat direspon melalui kebijakan ini. Segera kebijakan ini mendapatkan dukungan publik yang luas. Keempat, kasus pak Harto dapat terhindari menjadi komoditas politik yang lama karena ditangani secara tuntas melalui pengadilan yang cepat dan satu tahap saja. Kelima, tuntasnya kasus Pak Harto, melalui terobosan hukum dan langkah politik pemaafan sekaligus, justru akan menjadi salah satu success stories pemerintahan SBY.

Sudah delapan tahun kasus pak Harto mengendap. Sampai berapa lama lagi kasus ini diendapkan? Kebijakan ”Three in One” diharapkan menjadi solusi yang diterima mayoritas.

Saatnya SBY mengambil peran sebagai strong leader seperti Kim Dae Jung di Korea Selatan. Untuk menyatukan kembali bangsanya yang terkoyak karena pertikaian politik masa silam, Kim Dae Jung memaafkan dua pendahulunya (Chun Do Hwan dan Roh Tae Woo). Namun ini dilakukan justru dengan memperkuat tradisi supremasi hukum, yang didahului oleh pengadilan. Untuk kasus Pak Harto saat ini, pengadilannya pun dibuat khusus, dipercepat dan hanya satu tahap.

No comments:

A r s i p