Monday, May 21, 2007

"Privilège"

William Chang

Patut diacungi jempol kesungguhan sejumlah penegak hukum untuk memburu koruptor. Dirjen, gubernur, bupati, dan anggota DPRD mulai diseret dan dipenjarakan. Hanya, logika dasar penerapan hukum positif di Tanah Air kita masih membingungkan kaum awam.

Vonis bebas di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, Sumut, mengundang reaksi sosial. Etika profesi, misalnya, menggugat profesionalitas dan kompetensi para penegak keadilan dalam membedah suatu tindak kriminal. Pembenaran etis apakah yang melepaskan terdakwa dari tuduhan korupsi di Lubuk Pakam? Siapakah yang benar? Terdakwa? Pengacara? Polisi dan jaksa atau hakim?

Kajian etis mengingatkan kita akan bahaya relativisme dan subyektivisme yang bakal menyesatkan pencarian kebenaran hukum. Ketidakadilan tampak dalam sanksi hukum atas kasus-kasus hukum yang analog. Kebijaksanaan apakah yang dianut penegak hukum dalam membaca epikeia ketentuan iuridis?

De iure, tiap warga negara memiliki hak dan kewajiban setara, tetapi de facto dunia peradilan kita masih diselimuti privilège. Mengapa pemeriksaan atas kepala daerah bermasalah (bupati, wali kota, hingga gubernur) memerlukan izin Presiden? Bukankah privilège ini memperlebar jurang strata sosial dalam masyarakat? (bdk Archibald O Haller)

Keadilan sosial

Hingga kini tradisi feodal ini masih kental. Buktinya, oknum atau kelompok sosial tertentu masih menggenggam pelimpahan hak, kesempatan istimewa, dan keuntungan khas sebagai wujud privilège (privus = private + lex = law).

Sebagai hak partikular, privilège berkembang terutama dalam hukum Romawi. Sejak masa Gratianus (1100-1150) ada oknum atau kelompok masyarakat yang memiliki aturan hidup tersendiri (private law). Ini termasuk tindakan administratif yang menguntungkan pihak atau golongan tertentu (lex favoralibilis privata).

Selain menyuburkan ketidakadilan sosial, privilège mempertebal sekat-sekat sosial dalam masyarakat. Malah, menurut Gerhardt Lenski (1966), perbedaan dalam stratifikasi sosial ini akan mengundang suasana konfliktual, khususnya dalam masyarakat pertanian dan perkebunan. Tak heran, Revolusi Perancis tegas menghapus privilège pada 4 Agustus 1789 melalui Sidang Konstituante Nasional.

Dalam proses pemberantasan korupsi, misalnya, Presiden RRC Jiang Xe-Min berani meminta sebuah peti jenazah baginya jika terbukti dia melakukan korupsi semasa pemerintahannya. Kesetaraan tiap warga negara di hadapan hukum dijunjung tinggi. Yang menarik adalah rencana PM Singapura membekukan kenaikan gajinya selama lima tahun dan disumbangkan kepada yang lebih membutuhkan.

Deretan elitis kita masih mewarisi privilège karena status sosial (primordialitas, etnisitas, agama, jabatan, kuasa, ekonomi). Koruptor kelas kakap tampaknya sulit tersentuh hukum, sedangkan maling ayam segera dijaring hukum. Malah, sejumlah penegak keadilan enggan menjerat tokoh pemerintah (nasional dan lokal), meski mereka melakukan kejahatan publik. Bukankah kasus pencairan duit Tommy Soeharto termasuk privilège? (Kompas, 17/4/2007)

Bangkit dari keterpurukan

Iklim iuridis termasuk salah satu akar tunjang keterpurukan negara kita di mata dunia. Inkonsistensi dan instabilitas iuridis memberi stigma khusus tentang sistem negara kita. Privilège sebagai simbol ketidakadilan ikut menggoyahkan kekuatan negara. Kelemahan negara kita terletak pada kelemahan iuridis. Proses perbaikan citra bangsa dimulai dengan perbaikan sistem dan mekanisme iuridis yang akan merusak seluruh stratifikasi sosial dan menimbulkan konflik sosial.

Rahasia kebesaran dan kekuatan suatu negara terletak pada peradaban untuk menerapkan hukum yang adil, transparan, dan indiskriminatif. Konsistensi law enforcement menentukan wibawa suatu bangsa. Penerapan hukum tanpa pilih kasih akan menjembatani kesenjangan sosial di masyarakat. Kesetaraan tiap anak bangsa di hadapan hukum tak tereliminasikan.

Langkah Kepala Polri Jenderal (Polisi) Sutanto untuk memberantas penyakit kronik bangsa, seperti korupsi, perjudian, dan narkoba, amat strategis untuk menggeser privilège disproporsional sejumlah oknum. Rencana untuk menindak siapa pun yang terlibat kasus Munir pantas didukung. Hanya, belum pasti semua jejaring Kapolri memiliki derap kebijakan seirama.

Kini sangat diperlukan keberanian moral dalam proses menghapus aneka bentuk privilège yang melahirkan stratifikasi sosial, kepincangan, friksi, konflik sosial. Ruang publik untuk mewujudkan keadilan sosial diperlebar dan peluang privilège dipersempit. Negara yang adil, sejahtera, aman dan damai dengan sendirinya akan dihormati bangsa lain. Iklim keadilan, kedamaian dan kesejahteraan umum akan lebih mudah terwujud jika sejumlah privilège di bidang hukum positif disingkirkan dalam percaturan hidup berbangsa dan bernegara. Beranikah oknum penguasa mendahulukan kepentingan umum di atas privilège individual atau sektarian?

William Chang Ketua Program Pascasarjana STT Pastor Bonus-Pontianak

No comments:

A r s i p