Tuesday, May 22, 2007

Menyelamatkan Reformasi

Yudi Latif

Sembilan tahun setelah pekik reformasi merobek langit mendung politik Jakarta, kepercayaan publik akan keampuhan daya ubahnya mencapai titik nadir.

Publik pantas kecewa. Berkah reformasi cuma menetes ke kantong-kantong keserakahan elite tertentu, yang bersikap aji mumpung dari perubahan kesempatan, prosedur, dan kelembagaan politik. Bagi rakyat banyak—yang membayangkan demokrasi sebagai sarana perbaikan kualitas hidup—tekanan rezim baru pada pemenuhan hak-hak sipil dan politik dengan menelantarkan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya memerosotkan wibawa reformasi sebagai mimpi buruk.

Hasrat reformasi untuk menegakkan daulat rakyat tidak terjadi. Demokrasi dijalankan dengan menyertakan sedikit kaum demokrat, bahkan tanpa memedulikan nasib demos (rakyat-jelata), yang menjadi ibu kandungnya. Rakyat didorong ke bilik-bilik pencoblosan pada tahap awal, untuk diabaikan pada tahap akhir.

Situasi ini telah dirisaukan Soekarno 67 tahun lalu. "Ya, marilah kita ingat akan pelajaran revolusi Perancis itu. Marilah ingat akan bagaimana kadang-kadang palsunya semboyan demokrasi, yang tidak menolong rakyat-jelata, bahkan sebaliknya mengorbankan rakyat-jelata, membinasakan rakyat-jelata sebagaimana telah terjadi di dalam revolusi Perancis itu. Marilah kita awas, jangan sampai rakyat-jelata Indonesia tertipu oleh semboyan ’demokrasi’ sebagai rakyat-jelata Perancis itu, yang akhirnya ternyata hanya diperkuda belaka oleh kaum borjuis yang bergembar-gembor ’demokrasi’—kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan, tetapi sebenarnya hanya mencari kekuasaan sendiri, keenakan sendiri, keuntungan sendiri!"

Bukan khas Indonesia

Nada putus asa merebak dari segala penjuru. Keadaan negara tak kunjung menemukan bentuk politik yang cocok bagi watak rakyatnya, seakan terus tersandung dari eksperimen kekuasaan yang satu ke yang lain dengan hasil yang sama: rakyat sebagai pelengkap penderita.

Dalam kabut apatisme dan pesimisme, orang sulit membayangkan terusan di ujung terowongan transisional. Tetapi untuk tidak mudah terserang depresi "pasca-otoriter" yang merambatkan nostalgia ketertiban masa lalu, perlu diingatkan, kekacauan dan kekecewaan dalam situasi transisional seperti ini bukan pengalaman khas Indonesia.

Seperti dilukiskan Huntington (1991), sepuluh tahun setelah tumbangnya kediktatoran di Portugal (1974), kegembiraan dan semangat kreatif awal perlahan lenyap. Menjelang 1987, luapan kegembiraan terhadap demokratisasi di Amerika Latin telah "lenyap". Di Pakistan, kurang dari setahun masa transisi, kemurungan dan ketidakpercayaan menggantikan luapan kegembiraan dan harapan. Setahun setelah tumbangnya kediktatoran di Eropa Timur, pengamat menemukan kekecewaan dan keputusasaan yang mendalam.

Untuk keluar dari jebakan itu, sikap optimistis harus terus dipelihara. Orang boleh kecewa dan mengganti pemerintahan, tetapi harus bersabar untuk mempertahankan rezim (sistem) demokratis. Perlu disadari, demokrasi merupakan solusi terhadap tirani, tetapi tidak selalu merupakan solusi terhadap masalah-masalah lain.

Berbeda dengan ledakan harapan, pemerintahan demokratis baru justru sering dihadapkan pada aneka masalah dan kekecewaan yang sulit diatasi. Karena itu, betapapun legitimasi kinerja memainkan peran penting bagi kelangsungan pemerintahan demokratis baru, yang lebih menentukan bukan kesanggupan mereka menuntaskan masalah-masalah itu, tetapi cara pemimpin politik menanggapi ketidakmampuan dengan menggalang semangat gotong royong.

Manajemen pemerintahan

Terbatasnya jangkauan yang bisa dilakukan, suatu pemerintahan demokratis bisa bertahan jika mampu memelihara kepercayaan dan keyakinan rakyat. Karena itu, empati terhadap situasi kebatinan rakyat serta pelibatannya dalam agenda pemerintahan menjadi faktor amat penting. Seperti anjuran George S Patton, penasihat Presiden Clinton, "Jangan pernah berkata kepada rakyat tentang bagaimana cara mengerjakan sesuatu. Tetapi, katakan kepada mereka apa yang kamu inginkan untuk dapat mereka capai, dan kamu akan terkejut oleh kemampuannya."

Untuk membangkitkan optimisme dan kreativitas rakyat, ujung prosesi demokrasi harus bermuara pada manajemen pemerintahan (birokrasi) yang sejalan tuntutan demoktratis. Ledakan partisipasi massa sering berujung kekecewaan, saat hiruk-pikuk perdebatan politik tak punya kaitan dalam output pemerintahan. Ini bisa terjadi karena dalam konteks negara modern, de facto kekuasaan tidak dijalankan oleh perdebatan parlemen atau sabda raja, tetapi rutinitas administrasi.

Dalam konteks ini, fokus birokrasi pemerintahan harus bergeser dari asupan ke hasil. Artinya, jangan berhenti pada regulasi yang menetapkan berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan, berapa orang yang harus dicakup, berapa besar pinjaman yang diberikan. Perhatian harus ditekankan pada hasil, kreativitas yang lahir, serta kinerja yang ditunjukkan, yang akhirnya menuju pada kebijakan pembiayaan atas dasar prestasi.

Terlalu mahal jika eksperimen demokrasi diruntuhkan oleh dorongan kembali ke otoritarianisme. Karena itu, kepercayaan terhadap demokrasi harus dirawat dengan berhenti memandang politik sebagai "seni kemungkinan" (the art of the possible), jika itu berarti sekadar seni untuk berspekulasi, dagang sapi, intrik, mengecoh persepsi publik, dan deal-deal rahasia yang merugikan publik.

Saatnya ditegakkan politik sebagai "seni ketidakmungkinan" (the art of the impossible), yang mampu memperbaiki dan mengembangkan diri demi menyelesaikan hal-hal yang dianggap tidak mungkin. Dengan kata lain, seni untuk menjebol batas kewajaran dan kebudayaan yang menjadi dasar pembenar terhadap penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian hak rakyat.

Dengan ketulusan pengabdian, semoga ada terang di ujung gelap!

YUDI LATIF Direktur Eksekutif Reform Institute; Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina

No comments:

A r s i p