Monday, May 21, 2007

POLITIKA

Dokumen Supardjo

Budiarto Shambazy

Terbit lagi buku baru tentang Gerakan 30 September (G30S) karya John Roosa, Pretext for Mass Murder: the September 30th Movement & Suharto’s Coup d’État in Indonesia (2006). Roosa ahli Indonesia yang mengajar di University of British Columbia, Kanada.

Bahan utama Roosa adalah "dokumen Supardjo", brigjen Panglima Komando Tempur IV, Komando Mandala Siaga di Kalimantan. Supardjo menulis postmortem analysis tentang kegagalan G30S.

Dokumen ditulis tangan dan keasliannya diakui. Ia jadi lampiran di buku tentang perang gerilya karya Jenderal Besar AH Nasution.

Supardjo divonis mati Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa). Ia melanjutkan pendidikan militer ke Quetta, Pakistan, dan ikut operasi penumpasan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.

Roosa menjadikan dokumen Supardjo sebagai titik tolak menulis narasi tentang G30S. Ia memperkaya telaah tentang G30S yang bersumber dari dokumen-dokumen versi Pemerintah RI, ilmuwan lokal dan Barat, sidang Mahmilub, atau declassified documents Pemerintah Amerika Serikat (AS).

Menurut Roosa, G30S diotaki lima orang: Komandan Batalyon I Tjakrabirawa Letkol Untung Sjamsuri, Komandan Garnisun Kodam Jaya Kolonel Abdul Latief, Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan AU Halim Perdanakusuma Mayor Soejono, Ketua Biro Chusus Pusat (BCP)-PKI Sjam Kamaruzaman, dan anggota BCP Supono Marsudidjojo (Pono).

Supardjo menyimpulkan G30S dipimpin "langsung oleh partai (PKI)" lewat kaitan antara Ketua Umum PKI DN Aidit dan Sjam. Supardjo menilai gerakan itu gagal karena dipimpin Sjam yang sipil.

Ia mengkritik kekurangsiapannya. Sekitar 4.000 aktivis PKI dan underbouw-nya di Jakarta dan di daerah tak dimobilisasi karena berbagai alasan, misalnya tak tahu ada penculikan jenderal. Kekacauan koordinasi tampak saat ratusan prajurit G30S di Monas kelaparan sehingga dengan cepat menyerah.

Kegagalan ini tanggung jawab Sjam, tokoh misterius. Ada yang menuding pria keturunan Arab kelahiran Tuban ini double agent yang bekerja untuk dua pihak yang bermusuhan.

Ia ditangkap tahun 1967, divonis mati 1968, dan dieksekusi 1986. Namun, ada yang percaya—misalnya Sersan Mayor Bungkus yang ikut penculikan—Sjam masih ada di Amerika Serikat.

Sjam memimpin BCP (sebelumnya Bagian Militer) sejak 1964 menggantikan Karto alias Hadi Bengkring. Sebelum meninggal Karto kepada Aidit menyampaikan ketidaksetujuan atas rencana PKI menunjuk Sjam sebagai ketua baru BCP.

Sjam ikut perang kemerdekaan dan dikenal sebagai aktivis buruh di Tanjung Priok. Ia masuk sekolah dagang di Yogyakarta dan jadi pegawai negeri sebelum bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia dan akhirnya masuk PKI.

BCP merupakan lembaga yang serba rahasia. Sjam menyamar sebagai pengusaha genteng dan Pono sebagai pemilik restoran. BCP tak berkantor, rapat sekali sebulan, dan cuma Sjam yang melaporkan kegiatan BCP kepada Aidit.

Sjam, yang sering berjas dan berdasi, sosialita yang bergaul luas. Ia malas baca buku, apalagi mempelajari teori.

Roosa menggambarkan Sjam seorang oportunistis. Berdasarkan analisis dokumen Supardjo, Roosa menyimpulkan sejak awal Sjam bertujuan agar G30S gagal total.

Mengapa? Roosa, juga beberapa ilmuwan lain, mengatakan G30S dimanfaatkan sebagai dalih (pretext) untuk menumpas PKI sampai ke akar-akarnya.

PKI dipancing untuk memercayai rumor tentang rencana kudeta Dewan Jenderal terhadap Bung Karno (BK) 5 Oktober 1965. Sebelum didahului, Sjam "mencuri start" lewat G30S dengan alasan menyelamatkan BK dari kudeta Dewan Jenderal.

PKI yang pro-China terlibat konflik melawan TNI AD (plus blok antikomunis) yang pro-Barat. Beijing ingin Indonesia jadi negara komunis terbesar ketiga di dunia setelah Uni Soviet dan China, sebaliknya Barat ingin mencegahnya.

Di bab terakhir, "Assembling a New Narrative", Roosa menampilkan sumber-sumber teranyar tentang G30S, termasuk declassified documents baru. Cukup banyak terungkap informasi tentang bagaimana Washington DC membantu "Nato" (Nasution-Suharto).

Nato istilah dari Supardjo. Pak Nas adalah patriarch TNI AD saat itu yang menduduki posisi Menko Hankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata berbintang empat, sedangkan Pak Harto Panglima Kostrad berbintang dua.

Stabilitas politik jadi prioritas utama Orde Baru setelah "Nato" secara de facto berkuasa. BK mulai disingkirkan walau tetap menjadi presiden.

Roosa mengutip laporan Duta Besar AS di Jakarta Marshall Green ke Washington DC tentang Pak Harto bulan Mei 1966. "Ia berbicara tentang Pancasila. Ia mengatakan kemiskinan lahan subur bagi tumbuhnya kembali komunisme, jadi Indonesia harus segera membangun ekonominya," tulis Green.

Roosa menyebut pembunuhan massal pasca-G30S mencerminkan kultur run amok, apalagi terhadap yang tak berdaya. Penculikan dialami BK menjelang Proklamasi 1945, para jenderal saat G30S, dan juga para aktivis menjelang kerusuhan Mei 1998.

Per 1 Januari 2007 pukul 00.00, Pemerintah AS membuka jutaan halaman declassified documents, termasuk yang menguak lebih dalam lagi G30S. Akan terkuak lagi bukti-bukti terbaru.

Akan terbit pula buku-buku baru yang melengkapi narasi Roosa. Buku adalah jendela untuk melihat dunia, tetapi ia juga bisa bagaikan kotak pandora yang membuat kita terkejut saat membukanya.

No comments:

A r s i p