Wednesday, May 30, 2007

Bom Politik Dana Dahuri Cetak E-mail

Oleh: Indra J Pilliang

Pemeriksaan atas aliran dana nonbujeter yang dikeluarkan oleh Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri memasuki babak baru yang serius. Sejumlah tokoh yang disebut-sebut menerima dana itu mengakui, sekalipun dengan catatan tidak tahu kalau dana itu berasal dari rekening dana nonbujeter DKP.

Alasan itu tentu sangat tidak logis, mengingat Dahuri tidak akan mampu memberikan dana jutaan rupiah hanya berasal dari gaji sebagai menteri atau dosen di Institut Pertanian Bogor. Aliran dana Dahuri itu menunjukkan bahwa politikus telah berkeliling di meja para menteri sambil menenteng amplop-amplop tertutup. Uang yang dialirkan tidak dalam bentuk transferan, tetapi langsung cash and carry. Kita tidak tahu persis bagaimana model dialog selama proses serah-terima uang itu dilakukan. Tetapi, satu kata pasti terlintas di kepala,“Ayo, cincai saja.” Bagaimana arah dari pemeriksaan atas aliran dana DKP ini? Yang pasti, cacat politik telah telanjur terjadi.

Kalau dana itu mengalir untuk kepentingan Pemilu 2004, baik pemilu legislatif atau pemilu presiden dan wakil presiden, ketentuan-ketentuan dalam UU No 12/2004 dan UU No 23/2003 telah dilanggar, terutama dari besaran dana dan pihak-pihak yang dilarang menyumbang. Patut diketahui, untuk pemilu legislatif dan pilpres,besaran dana yang bisa disumbangkan oleh perseorangan sebesar- besarnya adalah Rp100 juta dan Rp750 juta untuk badan hukum swasta. Kalau ada pihak yang mengaku menerima dana untuk kepentingan kampanye melebihi angka itu, berarti telah terjadi pelanggaran dan (akan) terkena pasal pidana pemilu.Namun,pasal pidana pemilu itu tidak bisa berlaku surut, alias konsekuensi hukum atas kasus ini sudah kedaluwarsa.

Kapasitas masing-masing orang yang memberikan dan menerima dana itu harus diletakkan dalam konteks ketika dana itu diberikan. Kalau mengaitkan dengan kepentingan pemerintahan dan politik hari ini,hanya akan masuk dalam delik-delik yang rumit yang mengarah kepada antisipasi atas pelaksanaan Pemilu 2009. Akan tetapi, terdapat celah hukum yang bisa saja berlaku surut berkaitan dengan posisi masing-masing calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu 2004 itu.

Amien Rais adalah Ketua Umum PAN dan Ketua MPR RI, Megawati Soekarnoputri adalah Ketua Umum PDIP dan presiden incumbent, Hamzah Haz adalah Ketua Umum PPP dan wakil presiden incumbent. Sementara Susilo Bambang Yudhoyono dan Wiranto tidak sedang menjadi pejabat publik. Kalau Amien,Mega,dan Hamzah diasumsikan menerima aliran dana dari DKP, maka pasal-pasal menyangkut gratifikasi bisa dikenakan.

Rekam Jejak

Namun, bukan berarti Yudhoyono juga bisa melenggang kangkung apabila terbukti menerima dana DKP. Dia bisa saja dituduh telah melakukan perbuatan tercela atas rekam jejak selama kampanye. Ketika Bill Clinton menerima dana kampanye dari salah satu pengusaha Indonesia pada pemilu 1996 di Amerika Serikat, sejumlah kontroversi menyeruak di Amerika Serikat dan Indonesia, mengingat jumlahnya yang melebihi batas sumbangan. Dengan gambaran itu, berarti persoalan dana DKP ini menjadi bom waktu dan bola salju yang bisa bergulir ke mana saja.

Dalam konteks itu, masuk akal apabila Yudhoyono menjadi begitu gusar sehingga mengeluarkan kalimatkalimat yang mengandung kemarahan dan kegelisahan yang kental. Di tengah penurunan popularitas yang terjadi,Yudhoyono mencoba memanfaatkan masalah dana DKP ini sebagai persoalan publik. Padahal, ketika Amien menyampaikan dalam sejumlah wawancara dan forum publik, halamanhalaman media masih terbatas mengulas masalah ini berdasarkan alibi masing-masing pihak.

Bisa diinterpretasikan bahwa Yudhoyono sedang mengadu kepada rakyat atas masalah yang dia hadapi. Perkembangan ini tentu positif dalam konteks demokratisasi dan transparansi.Hanya, bagi penganut paham hukum positif, bisa jadi menarik persoalan yang muncul dalam proses peradilan atas kasus dana DKP keluar ruang pengadilan, apalagi dalam kapasitas Yudhoyono sebagai Kepala Negara dan Amien Rais sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Partai PAN, maka bisa masuk kategori intervensi atas proses peradilan.

Sehingga yang lebih layak dilakukan adalah pernyataan yang dikeluarkan oleh Amien,Salahuddin Wahid,Muhammad Fuad Nuh, Fahri Hamzah, Hasyim Muzadi, dan Yudhoyono sendiri itu disajikan dalam persidangan.Mereka harus dihadirkan sebagai saksi dan pernyataanpernyataan mereka berada di bawah sumpah. Dengan begitu,kebenaran dan kepalsuan atas pernyataan-pernyataan mereka langsung diuji oleh proses peradilan dan diputuskan oleh majelis hakim. Setelah itu, lembaga-lembaga lain yang berkenaan dengan korupsi, gratifikasi, atau bahkan yang melakukan pengawasan terhadap para pejabat negara menindaklanjutinya. Selain itu, para penerima dana DKP itu layak mengembalikan uang yang tidak jelas asal-usulnya itu. Sikap lepas tangan dengan mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui sumber dana itu menunjukkan permisifme yang kuat atas dana-dana (pejabat) publik lain.

Pemilu 2009

Langkah lain yang harus dilakukan adalah bagaimana mengantisipasi agar kasus ini tidak terulang dalam Pemilu 2009. Proses revisi paket undangundang di bidang politik menjadi bagian penting, terutama menyangkut tim kampanye, dana kampanye dan sanksi terhadap hukum pidana pemilu. Dalam hal yang menyangkut sumbangan pihak ketiga, sebaiknya dilarang dalam bentuk cash, melainkan langsung dimasukkan ke dalam rekening para kandidat, kecuali dalam bentuk barang.Pemilu 2004 yang disiapkan terburu-buru, mengingat keterlambatan pemerintah dan DPR menyepakati pasal-pasal dalam paket undangundang politik, justru mengurangi antisipasi kepada persoalan-persoalan teknis dan detail,termasuk dalam soal dana kampanye.

Dalam logika politik, perseteruan antara Yudhoyono dengan Amien ini akan memengaruhi peta politik tahun 2009. Yudhoyono bisa saja akan berhadapan langsung dengan Amien,tetapi Amien bukanlah orang yang mudah dikandaskan. Amien terbukti mampu menggerakkan sejumlah elite untuk membentuk kaukus atau poros, sehingga dikenal dengan sebutan si Kancil. Sementara Yudhoyono terlalu terpesona dengan diri sendiri sehingga kehilangan sentuhan dalam pendekatan personal. Fleksibilitas Amien dan kekakuan Yudhoyono adalah dua sikap yang saling berhadapan.

Untuk jangka pendek, pengaruh terpenting perseteruan Amien dengan Yudhoyono ini adalah menyangkut posisi PAN terhadap pemerintah.Dua menteri yang berasal dari PAN, yakni Hatta Rajasa dan Bambang Soedibyo, bisa jadi akan terjepit, ketika persoalan Amien versus Yudhoyono meluas menjadi persoalan PAN dengan Yudhoyono. Pada tataran ini, Amien jelas akan lebih dibela, ketimbang posisi Hatta atau Bambang. Sebagai magnet politik paling utama, Amien memiliki pengaruh kuat dalam tubuh politikus PAN. Faktor inilah yang barangkali luput dari perhatian Yudhoyono. Namun, apa pun implikasi hukum dan politiknya, sebaiknya persoalan aliran dana DKP diselesaikan secara hukum, bukan secara politik, apalagi secara adat. (*)

Indra J Pilliang
Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta

No comments:

A r s i p