Wednesday, May 23, 2007

Gelombang Balik Reformasi?!

Budiman Tanuredjo

Unjuk rasa memperingati sembilan tahun reformasi mulai surut. Dua hal yang bisa ditangkap. Dari sisi jumlah, antusiasme pengunjuk rasa merosot. Dari sisi substansi, terekam kekecewaan atas kondisi ekonomi yang tak juga kunjung membaik dan lemahnya penegakan hukum.

Fadjroel Rachman, mantan mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang pernah mendekam di penjara, pernah menyampaikan analisisnya: Indonesia sekarang pada tahap normalisasi. Tokoh yang dulu sempat menjalankan operasi menangkapi mahasiswa yang dianggap menentang Orde Baru berada di lingkar dalam kekuasaan.

Mantan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Bara Hasibuan mengingatkan sebuah buku yang ditulis Samuel Huntington, "Gelombang Balik". Tesis buku itu, demokrasi yang gagal memberikan kesejahteraan ekonomi, pemerintahan demokratis yang tak bisa mengendalikan keadaan sehingga terjadi kekacauan, memunculkan kerinduan masyarakat akan masa lalu. Dan, lahirlah rezim lama.

"Indonesia belum sejauh itu," ucapnya. Namun, ia mengingatkan benih kekecewaan dan gejala ke gelombang balik seperti dipaparkan Huntington bisa saja menjadi kenyataan. Jakarta seperti kehilangan kontrol atas daerah. Peraturan daerah yang tidak konstitusional dibiarkan eksis, padahal Jakarta punya kewenangan legal membatalkannya. Teriakan kesulitan ekonomi terdengar. Kemiskinan menjadi potret keseharian. Ancaman pengangguran menjadi nyata!

Mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik Budiman Sudjatmiko—yang juga pernah mendekam di penjara Orde Baru—mengatakan, reformasi menawarkan nilai kebebasan demi kebebasan itu sendiri. "Bukan kebebasan untuk menyejahterakan rakyat, bukan kebebasan untuk sebuah kemandirian," ucap dia.

Gelombang reformasi yang bersifat spontan pada 1998 memang telah mampu memaksa Soeharto turun. Namun, setelah itu, reformasi seperti kehilangan arah. "Tak ada konsep yang jelas mau apa setelah Soeharto jatuh," ujar Budiman.

Peralihan kekuasaan dari Orde Baru ke "Orde Reformasi" memang berbeda dari transisi politik Orde Lama ke Orde Baru. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno.

Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik—di Eropa Timur sering disebut lustrasi—dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol). Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.

Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, militer, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi. Hampir 32 tahun!

Keadilan transisional

Saat memegang kekuasaan, Soeharto menggunakan semua instrumen keadilan transisional untuk membedakan Orde Baru dengan Orde Lama. Neil J Kritz dalam buku Transitional Justice: How Emerging Democracies Reckon With Former Regime, membagi dua model keadilan transisional, yakni sanksi kriminal dan sanksi nonkriminal.

Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif.

Corak transisi politik Orde Baru ke "Orde Reformasi" memang berbeda. Presiden BJ Habibie mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi. Sejumlah tahanan politik dilepaskan. Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan dibebaskan, tiga hari setelah Habibie menjabat. Tahanan politik dibebaskan secara bergelombang. Budiman Sudjatmiko dan beberapa petinggi Partai Rakyat Demokratik baru dibebaskan pada era Presiden Abdurrahman Wahid.

Budiman mengapresiasi langkah yang diambil Habibie, seperti liberalisasi parpol, pemberian kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan UU Subversi. "Pada satu sisi Habibie ingin membuktikan bahwa ia beda dengan Soeharto, namun pada sisi lain Habibie juga sempat tergoda meloloskan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya, namun urung dilakukan karena besarnya tekanan politik," kata Budiman.

Waktu terus berjalan. Setelah Habibie membebaskan tahanan politik, tahanan politik baru muncul. Sejumlah aktivis mahasiswa diadili atas tuduhan menghina pemerintah atau menghina kepala negara (lihat infografis). Desakan meminta pertanggungjawaban militer yang terjerat pelanggaran HAM tak bisa dilangsungkan karena kuatnya proteksi politik. Bahkan, sejumlah perwira militer yang oleh Mahkamah Militer Jakarta telah dihukum dan dipecat karena terlibat penculikan, kini telah kembali duduk dalam jabatan struktural.

Pengadilan HAM meski telah didirikan tak pernah punya kerjaan karena tak ada kasus yang dilimpahkan. Pasal soal kejahatan kemanusiaan mulai diadopsi dalam RUU KUHP yang juga bisa juga menjerat pers. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang sedang tahap pembentukan, mati sebelum lahir oleh putusan Mahkamah Konstitusi. Mungkin inilah normalisasi yang dimaksud Fadjroel.

Kehidupan bernegara terasa begitu kendur. Cair! Lebih dari 1.000 peraturan daerah dibiarkan hidup meskipun sebenarnya bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Jakarta seakan tak berdaya terhadap kekuasaan kepala daerah.

Mandek

Mengacu pada masa Revolusi Perancis, reformasi Indonesia masuk pada tahap thermidorian period untuk menggambarkan mandeknya Revolusi Perancis, kembalinya kekuatan kontrarevolusi dan pada akhirnya rakyat tergiring untuk menerima Napoleon menjadi Kaisar Perancis. "Padahal, itu bertentangan dengan nilai-nilai Republikanisme Revolusi Perancis," ujar Budiman.

Di Indonesia, tak ada lagi kekuatan reformasi. Kekuatan reformasi tak efektif dalam praksis politik. Reformasi hidup dalam dunia wacana, namun mati suri dalam panggung politik nyata.

Di era kemandekan reformasi, semangat reformasi harus kembali ditemukan dan diabdikan untuk pemulihan demokrasi politik serta demokrasi sosial dan ekonomi. Pemulihan demokrasi sosial dan ekonomi harus mewujud dalam bentuk terpenuhinya hak ekonomi dan sosial masyarakat yang dijamin dalam Pasal 33 UUD 1945 yang selama 32 tahun diingkari Orde Baru.

Tak hanya pemilu

Konsolidasi demokrasi sebagai lanjutan dari transisi politik tidak hanya selesai dengan sebuah pemilu yang demokratis. Menurut Juan J Linz dan Alfred Stepan, konsolidasi demokrasi menuntut jauh lebih banyak dari sekadar pemilu.

Konsolidasi demokrasi menuntut lima persyaratan yang saling berkaitan dan saling menguatkan. Kelima syarat itu adalah: pertama, adanya kondisi yang bisa membuat masyarakat sipil berkembang. Kedua, adanya masyarakat politik yang otonom. Ketiga, adanya keyakinan dari semua tokoh tentang ideologi negara hukum. Keempat, harus ada birokrasi negara yang dapat dimanfaatkan pemerintahan demokratis yang baru. Kelima, adanya masyarakat ekonomi yang dilembagakan.

Ideologi negara hukum dan birokrasi yang seharusnya melayani rakyat tampaknya menjadi sesuatu yang belum tersentuh reformasi.

Reformasi membutuhkan semangat baru. Reformasi menuntut hadirnya negarawan yang mau mengabdi pada bangsa dan melayani rakyatnya. Jika tidak, kita khawatir gelombang balik, sebagaimana ditulis Huntington, terjadi di Indonesia. Dan, itu mahal harganya!

A r s i p