Monday, May 21, 2007

Menunggu Kepemimpinan Baru

Azyumardi Azra

Dua wacana penting dan perdebatan publik dalam pekan terakhir menyangkut kepemimpinan nasional. Pertama tentang usulan agar calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2009 berumur di bawah 60 tahun. Kedua, perombakan kabinet yang dalam segi tertentu juga mencerminkan soal kepemimpinan.

Setelah berlangsung beberapa pekan tentang apakah akan ada atau tidak penggantian menteri dalam kabinet, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Jumat lalu, menyatakan akan merombak kabinet secara terbatas.

Publik harus menanti bagaimana bentuk perombakan yang bagi banyak kalangan terlambat (overdue), juga tanda tanya apakah hasil perombakan kabinet sesuai dengan harapan publik agar pemerintah bisa lebih efektif dalam menjalankan roda dan program pemerintah. Jika tidak, masalah kepemimpinan negara ini dalam 2,5 tahun ke depan sulit diharapkan lebih baik dan menjanjikan untuk menyelesaikan berbagai masalah yang terus dihadapi bangsa dan negara.

Menguatnya wacana dan perdebatan tentang kepemimpinan tampaknya adalah cerminan dari "kegemasan" publik yang meningkat terhadap realitas kepemimpinan di negeri ini. Kian banyak kalangan yang berpandangan, satu masalah pokok negara-bangsa ini sejak masa Reformasi adalah kepemimpinan. Sementara demokrasi membawa ledakan ekspektasi, tetapi pada saat yang sama kepemimpinan yang silih berganti gagal memenuhi harapan publik.

Wacana dan perdebatan pertama muncul sebab diperkirakan elite politik yang bertarung dalam pilpres 2009 sebagian besar adalah "stok" lama. Di antara mereka pernah memegang kepemimpinan puncak dan sebagian lagi pernah bertarung dalam pilpres 2004, tetapi kalah. Menurut prediksi, ada muka baru, tetapi dari segi usia cukup senior, yang merasa punya peluang dalam pilpres 2009 sebab yakin lebih kapabel daripada pemimpin lain, yang membuat mereka "pede" bisa meraih akseptabilitas publik dan pemilih.

Terlepas dari soal umur yang sebagian besar di atas 60 tahun, jelas tidak ada halangan yuridis yang membuat mereka tak dapat maju dalam pilpres 2009, seperti diinginkan sebagian kalangan. Lagi pula, jika sebagian kalangan menghendaki calon yang berusia di bawah 60 tahun, pertanyaannya siapa yang dapat menjadi alternatif terhadap elite politik lebih senior yang selama ini malang melintang dalam percaturan politik di negara ini.

Sulit menemukan tokoh potensial di bawah 60 tahun dengan kepemimpinan yang menjanjikan yang sedikit banyak teruji sehingga potensial meraih tingkat akseptabilitas memadai di mata publik. Kesulitan itu karena ada kecenderungan sepanjang masa Reformasi tak terjadi kapitalisasi dan mobilisasi kepemimpinan dalam lapisan lebih muda sehingga memungkinkan berlangsungnya sirkulasi elite politik dan kepemimpinan sesuai dengan harapan publik.

Banyak faktor menyebabkan terhambatnya kapitalisasi kepemimpinan lebih muda dalam beberapa tahun belakangan ini. Yang terpenting di antaranya adalah dominasi partai politik yang kuat, yang hampir tak menyisakan ruang bagi munculnya kepemimpinan formal pemerintahan tanpa melewati jalur parpol, sebagai calon independen atau alternatif. Hambatan itu terdapat dalam berbagai undang-undang dan ketentuan lain tentang politik dan pemilu.

Ironisnya, sebagian besar parpol jarang memiliki lapisan kepemimpinan yang kredibel, akuntabel, dan memiliki akseptabilitas luas. Pemimpin parpol cenderung membentuk oligarki yang hampir tidak memungkinkan terjadinya regenerasi kepemimpinan. Lebih parah lagi, kepemimpinan parpol umumnya terlibat dalam konflik berkepanjangan, yang sering berujung pada perpecahan parpol.

Akibatnya, parpol tidak mampu melakukan rekrutmen dan pengembangan kader kepemimpinan yang potensial untuk memberdayakan partai, dan selanjutnya bisa diharapkan pada waktunya tampil ke pentas nasional lebih luas. Akibatnya jelas, sebagian besar parpol tidak memiliki sumber daya manusia (SDM) teknokratik yang memiliki kepemimpinan, visi, misi, dan kapabilitas menangani masalah bangsa dan negara.

Pada saat yang sama, anak muda yang potensial menjadi kader dan pemimpin cenderung tak tertarik kepada parpol. Meski kini ada parpol tertentu memasang iklan di media massa untuk merekrut calon pemimpin dan anggota, tidak tampak hasilnya. Sebaliknya, sinisme dan apatisme terlihat meningkat di kalangan anak muda terhadap politik karena mereka menyaksikan berlangsungnya praktik politik yang mengkhianati ekspektasi publik, yang tidak sesuai dengan idealisme mereka.

Jika serius dengan persoalan kepemimpinan di negeri ini, sudah saatnya kepemimpinan negara dan politik pada berbagai level melakukan kebijakan dan langkah afirmatif untuk membuka peluang lebih besar bagi kepemimpinan baru. Hanya dengan begitu, kita memiliki pemimpin yang lebih segar di masa datang yang tak terlalu lama.

Dalam konteks itu, perlu pemberian akses kepemimpinan lebih besar pada generasi lebih muda, baik pada jabatan publik maupun politik. Waktunya mempertimbangkan kembali pengisian jabatan publik yang lebih berdasarkan pada akomodasi dan kompromi politik daripada teknokrasi, persisnya kepemimpinan, profesionalitas, keahlian, dan kapabilitas. Berlanjutnya kecenderungan akomodasi dan kompromi dalam penempatan pejabat publik hanya berarti meneruskan kepemimpinan tidak kredibel dan tak kapabel.

Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

No comments:

A r s i p