Tuesday, May 29, 2007

Kultur Barat Lawan Kultur Jawa

TJIPTA LESMANA

Pertikaian Amien Rais dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan adalah pertarungan kultur barat dan kultur Jawa.

Kultur Jawa mengagungkan kerukunan dan keharmonsian. Rukun berarti berada selaras, tenang, dan tenteram. Antarsesama, jangan membuka aib. Kritik terbuka—apalagi kecaman—harus dihindarkan. Namun, oleh Soeharto prinsip "rukun" dipelesetkan untuk membungkam lawan atau mereka yang kritis.

Awal Oktober 1995, misalnya, Menteri Negara Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja mengkritik pemerintah, menilai terjadi ketidakberesan dalam komunikasi politik. Akibatnya, sulit menentukan arah dialog politik yang mampu menumbuhkan kesadaran pencapaian cita-cita bangsa (Kompas, 4/10/1995). Pernyataan Sarwono memancing kontroversi di antara sesama menteri. Soeharto marah.

Dalam perjalanan pulang dari Osaka ke Jakarta, di pesawat, Soeharto mengingatkan semua pihak bahwa landasan pembangunan yang diletakkan menuju kemampuan Indonesia bersaing dengan negara lain jangan diganggu "tetek bengek" yang menggelisahkan rakyat, tidak bisa memanfaatkan peluang pasar (Kompas, 21/11/1995). "Kalau dibiarkan diganggu berita-berita yang tidak benar, semua potensi kita akan terganggu, timbul keragu-raguan, tidak bisa memusatkan tenaga dan pikiran untuk membangun sehingga peningkatan daya saing kita menjadi kurang!"

Kultur Jawa

Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga bercorak kultur Jawa, tak beda dengan Soeharto. Perhatikan berbagai pernyataannya, "Kalau bicara hati-hati", "Jangan sembarang kritik", "Jangan memfitnah", "Membangun budaya damai".

Namun, pemimpin tipikal Jawa pun bisa marah. Soeharto menggunakan kata "gebuk" untuk mengultimatum para politisi yang tergabung dalam kelompok Petisi 50 saat ia mencurigai langkah-langkah mereka sudah mengarah ke tindakan makar. SBY pun mengancam akan menyeret Amien Rais ke pengadilan jika "nyata-nyata Amien Rais atau siapa pun menuduh saya (menerima dana nonbudgeter DKP) di depan umum."

Amien bicara dengan kultur Barat saat (a) mengakui menerima sumbangan dana dari mantan Menteri Rokhmin Dahuri dan siap mempertanggungjawabkannya secara hukum; (b) meminta agar calon presiden 2004 lain mengakui secara ksatria kalau juga menerima bantuan serupa. Ia tidak pernah menuduh secara eksplisit pasangan SBY-JK ikut menikmati dana itu. Bahwa opini publik berkembang dan mengarah ke nama SBY-JK, itu bisa dimaklumi sebab dari persidangan Menteri maupun Sekretaris Jenderal DKP terungkap, hampir semua calon presiden/wakil presiden dikatakan menerima melalui tim sukses mereka.

SBY atau calon presiden 2004 mana pun tidak usah kebakaran jenggot jika merasa tak menerima. Seyogianya SBY tidak menggunakan komunikasi konteks Jawa dalam menanggapi serangan Amien, tetapi perintahkan saja pengadilan atau aparat penegak hukum "membuka" kotak pandora yang dilemparkan Rokhmin.

Konteks kultur Jawa pada era Orde Baru dan Reformasi amat berbeda. Pada era Orde Baru, siapa pun tak berani merespons, apalagi menantang, saat melihat Soeharto gusar. Pada era reformasi tidak ada yang takut. Bahkan kian memprovokasi SBY untuk melampiaskan amarahnya setiap kali ia melontarkan pernyataan kontroversial!

SBY perlu memahami, kultur Jawa sudah kehilangan pamor. Pada rezim Orde Baru, kekuasaan Soeharto begitu omnipoten sehingga bebas menggebuk siapa pun yang berani melawannya. Kini, kekuasaan dalam arti luas (power) terdistribusi merata antara Presiden, DPR, lembaga peradilan, LSM, dan media. Belum lagi tuntutan agar hukum ditegakkan secara adil.

Jalur hukum

Jika SBY tidak pernah menerima dana DKP dan merasa kehormatannya ternoda oleh tuduhan-tuduhan miring, tuntut saja pihak-pihak yang dinilai telah memfitnahnya?! Ucapan Presiden, "Saya ini tidak suka sedikit-sedikit menuntut. Ini tidak sehat", memberi pelajaran buruk dari perspektif law enforcement.

Jangan lupa reformasi menuntut tegaknya good governance, jika tidak mau menggunakan istilah kultur Barat. Good governance berarti pemerintahan harus dijalankan secara terbuka dan akuntabel. Masyarakat berhak mengontrol. Setiap pertikaian harus diselesaikan melalui jalur hukum. Jika SBY terus bersikap defensif dan menyatakan tidak menerima uang DKP tanpa tindakan nyata, posisinya akan kian terjepit. Prinsip good governance mengharuskan Presiden memerintahkan penegak hukum untuk menindaklanjuti data peradilan yang diangkat Rokhmin.

Bisa saja sejumlah anggota Tim Sukses SBY-JK atau calon presiden lain menerima bantuan DKP tanpa sepengetahuan capres dan cawapres bersangkutan. Daripada menduga-duga, lebih baik buka-bukaan. Maka, tepat ucapan Amien, "The show must go on." Skandal dana nonbudgeter DKP harus dituntaskan lewat proses hukum!

Tjipta Lesmana Mantan Anggota Komisi Konstitusi

No comments:

A r s i p