Monday, May 21, 2007

Separuh Jalan, Selamat Jalan?

Sidik Pramono dan Susie Berindra

"Kini saatnya bagi kita untuk melangkah bersama menjemput masa depan. Masa bersaing telah kita lalui, kini masanya bersatu. Masa berucap dan berjanji pun telah kita lalui, kini masanya untuk bertindak dan bekerja. Kini saatnya bagi kita untuk bersatu dalam kreasi dan karya bersama."

Madu manis dengan dukungan 61 persen suara sah pemilih di tangan telah mengantarkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla memimpin negeri ini untuk lima tahun. Mereka adalah pemimpin Indonesia pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyatnya.

Dinukil dari visi-misinya, salah satu bentuk Indonesia masa depan yang dibayangkan adalah Indonesia yang tidak lagi memperdebatkan Pancasila, Pembukaan UUD 1945, keutuhan NKRI, dan berkembangnya sistem kemasyarakatan yang majemuk; bahkan sebaliknya, memastikan diri menjadikannya sebagai prinsip untuk menjalankan sistem pembangunan, pemerintahan, kenegaraan, serta kehidupan bersama. Indonesia masa depan adalah bangsa yang menjalankan demokrasi dan memastikan berlangsungnya konsolidasi demokrasi, termasuk mengembalikan kedaulatan pada rakyat untuk memilih pemimpinnya.

Waktu berganti; 2,5 tahun berlalu dari madu manis pelantikan. Tanggal 20 April 2007 adalah tepat 2,5 tahun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla menakhodai Indonesia.

Di rumah sendiri, hubungan antara pusat dan daerah merupakan masalah laten dalam negara kesatuan. Mencari keharmonisan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Di hadapan kepala daerah dan anggota DPRD provinsi dalam Rapat Kerja Pemantapan Penyelenggaraan Pemerintahan di Batam pada Februari 2006, Presiden menyebutkan, "Desentralisasi untuk memenuhi tujuan keadilan, pemerataan, keseimbangan pembangunan, memberdayakan potensi lokal, memberi kesempatan kepada daerah untuk mengatur dan menata dirinya sendiri, tetapi tidak untuk menggoyahkan sendi-sendi negara kesatuan Indonesia."

Mari kita lihat apa saja yang telah dilakukan, bukan apa yang akan dilakukan pemerintahan Yudhoyono-Kalla.

Salah satu yang paling menonjol adalah penyelesaian konflik vertikal di Aceh yang telah berlangsung puluhan tahun. Lewat serangkaian proses panjang, akhirnya Pemerintah Indonesia menandatangani nota kesepahaman perdamaian bersama pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Terlepas dari reaksi negatif yang sempat muncul, penyelesaian Undang-Undang Pemerintahan Aceh pada Agustus 2006 menjadi bukti implementasi Nota Kesepahaman Helsinki itu. Disusul kemudian pemilihan kepala daerah langsung di tingkat provinsi dan 19 kabupaten/kota yang berjalan tanpa gejolak berarti. Kemenangan kandidat perseorangan dari unsur GAM menjadi penanda babak baru hubungan Aceh dengan Jakarta.

Partai oposisi maupun pengamat independen mengakui keberhasilan pemerintah dalam menangani Aceh. "Penanganan Aceh, apa pun kontroversinya, menciptakan perdamaian," ujar Sukardi Rinakit, Direktur Sugeng Sarjadi Sindycated.

Di ujung timur, permasalahan di Papua bisa jadi paling kompleks di antara daerah lainnya. Dari mulai pemanfaatan dana otonomi khusus yang diberikan pusat sejak 2002, masalah pemekaran, ditambah lagi masalah kesejahteraan masyarakat Papua yang masih memprihatinkan. Di era Yudhoyono, pemerintah menjadi mediator dalam upaya perbaikan hubungan Papua sebagai induk dan Irian Jaya Barat sebagai provinsi hasil pemekaran yang masih "mencari-cari" dasar yuridis pembentukannya.

Hasil yang bisa dilihat, pilkada di Papua dan Irian Jaya Barat bisa berjalan tanpa kekerasan. Sementara kabar yang tidak menggembirakan tentulah masih seputar kesejahteraan. Data Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, di Papua terdapat 19 kabupaten yang termasuk kategori daerah tertinggal dari 20 kabupaten/kota yang ada. Artinya, hanya satu yang tidak tertinggal, yaitu Kota Jayapura! Jangan pula lupakan ketika bencana kelaparan di Yahukimo merenggut 55 nyawa, mengejutkan semua orang. Namun, berita bencana itu ditutup dengan kehadiran Presiden Yudhoyono ke Yahukimo. Setelah itu, tidak ada lagi kabar mengenai Yahukimo: sudahkah lebih makmur atau malah makin banyak yang lapar?

Berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah, pemerintah di akhir tahun 2006 sempat membuat kebijakan yang mengejutkan. Kebijakan itu soal tunjangan dana yang diberikan kepada anggota DPRD. Sebenarnya, kebijakan pemberian tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional itu memang sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang ada. Tetapi, yang membuat marah banyak pihak, tunjangan itu dirapel satu tahun. Kebijakan sudah dikoreksi. Masalah mungkin akan timbul lagi, ketika nanti ada dugaan korupsi yang dituduhkan kepada anggota DPRD terkait tunjangan itu.

Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Pramono Anung memberi nilai rendah terhadap berbagai regulasi yang dibuat pemerintah, kemudian dikoreksi ketika ada tekanan dari publik. "Ini menunjukkan kebijakan pemerintah maju mundur," ujar Pramono.

Pemerintah juga masih mempunyai pekerjaan rumah yang penting, terutama untuk pembuatan aturan. Contohnya, aturan mengenai pembagian kewenangan pusat dan daerah. Sejak Desember 2004, Departemen Dalam Negeri mulai menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah yang sampai sekarang belum juga kelar. Tarik-menarik antardepartemen membuat RPP ini lama diproses. Misalnya saja, Badan Pertanahan Nasional yang sempat tidak mau membagi kewenangannya dengan daerah. Selain itu, BKPM dan Departemen Perdagangan yang belum sepakat mengenai kewenangan apa yang diberikan ke daerah. Begitu pun dengan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 yang mengatur tentang pemekaran daerah. Berkali-kali pemerintah diingatkan untuk menyelesaikan revisi yang mestinya masuk agenda 100 hari pertama pemerintahan Yudhoyono-Kalla itu.

Di dalam pelaksanaan pemerintahan dalam negeri, pemerintahan Yudhoyono-Kalla mencatatkan prestasi dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Sejak Juni 2005 sampai Februari 2007, tercatat setidaknya 15 provinsi, 185 kabupaten, dan 100 kota telah menyelenggarakan pilkada tanpa masalah yang signifikan—sekalipun ada satu-dua tempat yang pilkadanya memicu pertikaian dan kekerasan. Sementara konflik pemerintahan daerah yang berlarut-larut, seperti terjadi di Lampung, akhirnya bisa "selesai" seiring berjalannya waktu.

Soal keamanan dalam negeri, salah satu agenda 100 hari pertama pemerintahan adalah mengusahakan dapat ditangkapnya tokoh teroris Dr Azahari dan Noordin M Top. Target 100 hari itu meleset. Azahari berhasil ditewaskan kemudian. Hanya saja, kini pemerintah dihadapkan dengan ancaman "pembiakan" gerakan terorisme dengan lahir dan mencuatnya generasi baru—termasuk yang kemudian dikaitkan dengan sejumlah aksi kekerasan yang muncul di wilayah bekas konflik horizontal, seperti Poso.

Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum menilai politik dalam negeri sudah bagus. Dari berbagai survei maupun penilaian masyarakat juga dinilai bagus. "Ini prestasi yang menonjol," ujar Anas.

Faktor lain yang disodorkan Anas adalah bagaimana pemerintah berkonsentrasi membenahi masalah ekonomi. "Saya kira ini yang paling konkret terkait langsung dengan kepentingan rakyat," ucap Anas.

Apa pun, pemerintahan kepemimpinan Presiden Yudhoyono selama setengah periode ini sudah melakukan banyak hal. Di sisi lain, pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah juga masih menumpuk. Harus diakui, selama setengah masa jabatan ini, sebagian persoalan terkurangi. Ada masalah yang diselesaikan, tapi banyak pula yang "selesai" seiring waktu. Kini, masih sekitar 2,5 tahun untuk menyelesaikan semua persoalan—apalagi kalau mengingat Pemilu 2009 semakin dekat. Kecuali kalau memang maunya: separuh jalan dan selamat jalan....

(Sutta dharmasaputra)

No comments:

A r s i p