Thursday, May 31, 2007

Mengurai Masalah Daerah Pemilihan

Oleh :

Ray Rangkuti
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) dan Sa-Roha Foundation

Salah satu isu penting dalam penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) Parpol (pemilu legislatif) adalah soal pemetaan daerah pemilihan (dapil). Dalam isu ini terdapat banyak persoalan yang jika dipecah ke berbagai isu akan menjadi topik sendiri-sendiri.

Selain itu, isu ini juga akan banyak melibatkan partai politik, karena memang sangat terkait dengan nasib para calon legislatif yang akan bertarung. Karena pentingnya isu inilah, beberapa parpol seperti Golkar, PDIP, PAN, dan PKS, jauh-jauh hari telah menyiapkan skenario dapil ini sebagai bahan masukan dalam penuyusunan RUU Parpol, yang akan dilaksanakan bulan ini.

Pokok soal
Pokok soal dapil adalah pertama, sejauh mana dapil yang ada menjamin adanya hubungan yang representatif antara pemilih dan para wakil mereka (parpol) di legislatif. Hubungan yang dimaksud, tentu terkait dengan tugas pokok dan kewajiban anggota legislatif berupa menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat (Pasal 29 hurup f, UU No 22/2003).

Dalam konteks itulah dapil merupakan perwujudan identifikasi atas pemilih dan yang dipilih. Implikasi hubungan ini tentu terkait dengan pertanggungjawaban politik para anggota legislatif atas kinerja mereka selama lima tahun masa jabatannya. Dapil juga memperkuat hubungan si terpilih dan yang memilih sebagai bukan semata ritus lima tahunan, tetapi berkelanjutan yang terbingkai dalam kontrak politik yang sehat.

Kedua, penentuan dapil diperlukan untuk menerbitkan keadilan bagi para pemilih di seluruh daerah pemilihan di Indonesia. Poin ini terkait dengan keharusan untuk memperlakukan sama para pemilih. Prinsipnya adalah satu orang, satu suara dan satu nilai (OPOVOV). Pemilih daerah tertentu tidak boleh berbeda dengan pemilih daerah lain, apapun persoalan dan kondisinya.

Dalam konteks inilah maka pembagian jumlah dan harga kursi per dapil menjadi signifikan. Apakah satu dapil dengan dapil yang lain terdapat perbedaan antara jumlah dan harga kursi di dalamnya. Jika begitu, apa saja yang memang menghajatkan perbedaan tersebut serta sejauh mana perbedaan itu dapat ditoleransi, dan seterusnya.

Efek penting lain dari faktor keadilan ini adalah menjadikan wakil rakyat sebagai wakil yang sama nilai dan signifikansinya sekalipun dari berbagai dapil yang berbeda. Dengan nilai yang sama, hubungan di antara mereka juga setara. Dengan begitu, tingkat keterwakilan, hak, dan tanggung jawab merekapun sama.

Dapil Indonesia
Masalah pokok dapil di Indonesia adalah belum terwujudnya dapil sebagai pembangunan basis politik para caleg, daerah pertanggungjawaban dan dengan sendirinya merupakan wilayah bagi pertaruhan politik mereka. Hubungan antara pemilih dan wakil mereka dalam dapil tetap rendah. Hal ini terasa dalam praktik politik pascapemilu 2004 yang lalu. Tampaknya, sejauh ini dapil hanya berkesan sekadar membagi daerah untuk membagi kursi.

Rendahnya pola hubungan ini terkait dengan dua hal, pertama, sistem proporsional terbuka terbatas yang kita anut yang masih menempatkan para caleg sebagai wakil parpol daripada wakil para pemilih. Kepatuhan para caleg bukan pada pemilih tetapi kepada parpol.

Karena serba parpol, maka perpindahan dapil bagi para caleg dari satu pemilu ke pemilu berikutnya bukan sesuatu yang bermasalah secara politik dan etik. Perpindahan itupun lebih banyak didasarkan pada bacaan kekalahan yang akan dialami jika tetap pada dapil sebelumnya. Tentu yang hilang di sini adalah pertanggungjawaban dan 'pengahakiman' oleh pemilih atas kinerja anggota legislatif yang mereka pilih.

Mekanisme penetapan caleg yang dilakukan parpol rata-rata satu bulan sebelum diserahkan ke KPU, memberi sumbangsih bagi terjadinya asal pencalegan. Belum lagi ditambah dengan ambisi memenuhi seluruh dapil dengan menempatkan jumlah maksimal caleg dalam dapil.

Penyakit sistem ini diperparah dengan penetuan pemenang dalam pemilu. Sebagaimana diatur dalam UU No 12/2003 dinyatakan bahwa peraih kursi adalah mereka yang memperoleh bilangan pembagi pemilih (BPP) atau yang duduk di nomor urut utama daftar caleg. Kenyataannya, dari 550 anggota DPR hasil pemilu 2004 yang lalu, hanya dua orang yang mencapai BPP. Selebihnya merupakan peraih kursi berkat bantuan perolehan suara kandidat lain dalam satu parpol. Dari sini saja terlihat jelas tingkat ketergantungan para kandidat dengan parpolnya.

Model ini juga sebenarnya mengaburkan pertanggungjawaban personal anggota dewan. Di satu segi, ia harus bertanggungjawab terhadappara pemilih, tapi di sudut lain, kursi yang diraihnya juga disumbang suara perolehan parpol.

Besaran BPP yang mencapai maksimal 425 ribu per kursi di daerah pemilihan padat penduduk atau minimal 325 ribu di daerah rendah penduduk salah satu hal yang menyumbang kesenjangan antara pemilih dan yang dipilih. Jika besaran BPP ini dikaitkan dengan besaran dapil, maka tingkat keterwakilan itu makin berjarak.

Dan kedua, teknis pembagian dapil. Bila metode pembagian dapil semata dilihat dengan luasan daerah atau kepadatan penduduk, maka perbedaan pembagian kursi antardaerah akan terjadi. Jika total kursi DPR tetap 550, maka sebanyak 312 kursi (56,6 persen) akan diambil oleh caleg dari Jawa dan Bali.Di sini isu pulau Jawa dan luar Jawa menjadi signifikan dan sensitif.

Cara mengatasi kerenggangan tersebut, seperti dinyatakan dalam UU No 12/2003, tak sepenuhnya menyelesaikan masalah. Bahkan, seperti diungkap oleh Pipiet R Kartawidjaya (2007), model penyelesaian ini hanya melahirkan praktik pembagian kursi yang 'akal-akalan'.

Tentu saja ada jawaban atas seluruh persoalan yang telah dijelaskan di awal tulisan ini. Hanya memang diperlukan komitmen untuk menjadikan dua tujuan utama pembetukan dapil sebagai hal yang paling utama. Dengan begitu, beberapa revisi atas peraturan yang lama, menjadi keharusan. Dan sudah harus tertuang dalam draf RUU.




No comments:

A r s i p