Monday, May 21, 2007

Dodolan Dawat

( Sukardi Rinakit )

Sugeng Sarjadi Syndicate

Ketika saya memutuskan melanjutkan studi doktoral ibu saya bertanya, “Untuk apa sekolah tinggi-tinggi?” Saya menjawab, “Siapa tahu nanti jadi orang, jadi pejabat.”

Saya lalu dinasihati, tidak ada gunanya sekolah tinggi-tinggi kalau tujuannya sekadar untuk mengejar kedudukan. Pangkat terbaik adalah menanam kebaikan kepada rakyat, apa pun jenis pekerjaan yang dilakukan. Kata ibu saya, “Kamu harus memilih, apakah mau numpak Mercy (mobil mewah) mbrebes mili atau mikul dawet uro-uro” (naik Mercedes sambil menangis atau jualan es dawet tapi bersenandung).

Dengan diplomatis saya menjawab, ingin naik mobil mewah (Mercy) tapi sambil bersenandung. Ibu saya tak mau berdebat. Ia hanya berpesan, jadi penguasa itu belum tentu enak hidupnya; apalagi jika tak mengetahui aspirasi rakyat. Aspirasi terpenting adalah sandang-pangan dan pekerjaan. Kehidupan negara akan ditelan kegelapan jika rakyat kurang sandang-pangan dan pekerjaan.

Popularitas merosot

Itu pula jawaban saya ketika ditanya seorang wartawan asing mengenai penyebab merosotnya popularitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhir-akhir ini. Faktor terpenting dari menurunnya popularitas Presiden adalah tingginya harga beras dan sempitnya lapangan kerja saat ini.

Dari beberapa hasil jajak pendapat, popularitas Presiden SBY cenderung turun. Desember tahun lalu, misalnya, Lembaga Survei Indonesia (LSI) masih mencatat, popularitas Presiden sebesar 67 persen. Pada survei Maret 2007, popularitasnya tinggal 49 persen. Bahkan, survei Van Zorge mencatat lebih buruk, pada Januari 2007, popularitasnya tinggal 25 persen.

Popularitas Presiden yang relatif tinggi tahun lalu utamanya disebabkan belum adanya figur alternatif yang bisa menandingi. Popularitas ini juga didukung citra Presiden sebagai sosok yang bersih, tidak korup, dan pandai. Karena itu, meski harga BBM melonjak akhir tahun 2005, citra Presiden relatif bergeming sampai akhir 2006.

Namun, karena Presiden tidak segera membangun citra diri sebagai sosok yang tegas, secara perlahan tapi pasti citranya merosot. Penundaan pidato akhir tahun dan ketidakpastian reshuffle kabinet menjadi indikator utama yang dilihat rakyat untuk menilai karakter Presiden. Suka atau tidak, rakyat sekarang sedang mencari figur alternatif. Mereka ingin bersandar pada sosok yang tegas dan pemberani.

Kepada wartawan asing itu sekali lagi saya menekankan, pemicu utama dari kemerosotan popularitas Presiden SBY adalah naiknya harga beras. Mahalnya harga beras dan penyimpangan dalam operasi pasar menjadikan rakyat pesimistis. Logika sederhana, mereka tak bisa menerima realitas kelangkaan beras itu.

Lebih dari itu, jika saat ini diadakan survei lanjutan, popularitas Presiden dimungkinkan tambah merosot. Itu berkaitan dengan adanya Visi Indonesia 2030 dan masalah Iran.

Secara umum, kelas menengah-atas melihat Visi Indonesia 2030 sebagai mimpi tak terperi. Itu juga dianggap sebagai cara pengusaha mengail ikan di kolam istana. Tak mengherankan jika kini beredar ejekan, “Indonesia 2030 memang akan makmur. Syaratnya, paling lambat tahun 2020 kita harus jadi bagian dari Amerika Serikat atau Uni Eropa.”

Untuk kelas menengah-bawah, mereka merasa diterjang dukungan Pemerintah Indonesia terhadap Resolusi 1747 Dewan Keamanan PBB. Keputusan pemerintah itu dinilai tak berpihak kepada yang tertindas (Iran). Indonesia dianggap mengekor garis politik AS karena tak setuju dengan rencana Iran untuk mengembangkan energi nuklirnya.

Faktor peledak

Situasi seperti itu, suasana batin rakyat yang mulai kecewa, mengingatkan saya, menjadi penguasa itu memang belum tentu enak hidupnya. Bagaimana bisa tenteram naik mobil mewah jika melihat rakyat antre beras, antre minyak, dan banyak yang menganggur? Bagaimana bisa naik Mercy sambil bersenandung jika langkah politik yang diambil tak disetujui rakyat sepenuhnya.

Padahal, suasana batin rakyat yang mulai kecewa adalah lahan subur bagi provokasi. Karena itu, jika tidak segera diatasi, rakyat bisa berubah menjadi air bah yang mampu membobol tanggul kekuasaan. Semua itu, pemicu utamanya adalah masalah beras.

Secara obyektif harga beras di tingkat eceran masih mahal saat ini. Padahal, persediaan diperkirakan kian menipis. Itu pun kebanyakan di tingkat pedagang dan rumah tangga. Secara spekulatif, daya tahan mereka paling lama hanya dua bulan.

Jika saat ini pemerintah gagal memobilisasi petani untuk menanam padi, bulan Juli-Agustus-September adalah titik kritis. Impor tak mencukupi. Efek gagal panen membayang. Akibatnya, ledakan sosial bisa terjadi kapan saja dalam rentang tiga bulan itu. Di sini, Presiden bisa mbrebes mili karena melihat rakyatnya menjadi anarki.

Dalam waktu tertentu, rakyat masih bisa sabar jika hanya menganggur dan tak mempunyai pakaian. Tetapi, mereka mudah meledak jika tak mampu membeli beras. Karena itu, pilar ketenteraman negara pada dasarnya terletak pada buliran padi, bukan pada kekuatan bedil, keindahan citra, dan kecanggihan wacana.

Jika Presiden SBY ingin naik Mercy sambil bersenandung, tak ada pilihan lain, harga beras dan pengangguran harus segera diselesaikan. Jika tidak, Presiden akan naik Mercy sambil mbrebes mili.

Sedangkan saya, untuk saat ini cukuplah jualan es dawet tapi sambil uro-uro.

No comments:

A r s i p