Monday, May 28, 2007

Dalam Bayangan Rezim Cleptocracy
- AHMAD NYARWI Mahasiswa Pascarsajana FISIP UI

Hingga saat ini, publik di berbagai belahan dunia masih meyakini demokrasi sebagai sebuah sistem tata kenegaraan yang cukup memadai. Kendati demikian,dominasi kepentingan para aktor demokrasi yang mengendalikan unsur-unsur kekuasaan negara sering kali tidak terkontrol oleh regulasi sistem demokrasi.

Akibatnya, demokrasi dalam implementasinya dikendalikan oleh jaringan aktor yang bersumbu pada akumulasi kepentingan ekonomi-politik kekuasaan. Negara kian terkapar ketika para aktor kekuasaan birokrasi dan lembaga politik berperilaku tak ubahnya seperti para pencuri dan perampok. Unsur-unsur kekuasaan negara pun tak kuasa diserbu dengan barisan para pencuri dan perampok yang saat ini lebih dikenal sebagai koruptor.

Jaringan para koruptor terus menguat selama sembilan tahun pascareformasi di Indonesia. Berbagai kasus penyalahgunaan dana nonbujeter di berbagai departemen, korupsi APBD, korupsi di berbagai dinas, korupsi dana-dana pendidikan dan di berbagai lembaga perguruan tinggi, belum lagi deretan kasus pungli yang dilegalkan atas nama peningkatan PAD melalui sejumlah perda, juga pungli-pungli ilegal lainnya menjadi deretan panjang skala aktivitas para koruptor pada level vertikal dan horizontal.

Berbagai kasus eksploitasi pertambangan,hutan dan lingkungan menjadikan ’’teritori”sebagai salah satu unsur kekuasaan negara kian lumpuh.Tidak hanya itu,aset SDA dan keunggulan geografis dan geopolitik kita pun semakin terbengkalai tanpa memberikan kemanfaatan berarti bagi mayoritas masyarakat di Indonesia.

Mandulnya Cita Negara (Staat Ide)
Indonesia,sejak mula dideklarasikan Founding Fathers telah memilih Pancasila sebagai dasar negara.Roeslan Abdulgani dalam Negara dan Dasar Negara berpendapat bahwa Pancasila sebagai dasar negara dimaksudkan sebagai pemberi arah bagi masa depan bangsa.

Cita-cita Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila yang pertama adalah merupakan dasar yang kokoh untuk memberi ruang hidup kepada sifat-sifat religius daripada bangsa Indonesia.Sila itu merupakan juga sebuah jaminan akan adanya kebebasan beragama. Cita-cita perikemanusiaan menggambarkan dengan jelas watak dari bangsa Indonesia yang cinta damai dan kemerdekaan, juga bagi bangsa-bangsa lain.

Sila perikemanusiaan tersebut adalah sebuah jaminan bahwa bangsa Indonesia menjunjung tinggi martabat manusia dengan tanpa melihat perbedaan ras,jenis kelamin,dan keturunan. Cita-cita kedaulatan rakyat adalah merupakan penegasan dari sistem kehidupan bangsa kita sendiri yang didasarkan atas musyawarah,mufakat dan gotong-royong yang dipimpin oleh hasrat pengabdian terhadap kepentingan bersama.

Cita-cita keadilan sosial menghendaki terciptanya kemakmuran rakyat secara adil dan merata,sebagai sebuah reactief verzetterhadap verpaup rings-procesyang lampau,dan sebagai asas pokok dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyat. Kelima cita negara (staat ide) yang dijelaskan oleh Ruslan Abdulgani tersebut pascareformasi menunjukkan berbagai bentuk kemandulan.

Hal itu disebabkan rejim birokrasi dan rejim politik yang ada dalam unsur-unsur kekuasaan negara sedemikian rapuhnya akibat ulah rejim cleptocracy.Rejim cleptocracypada masa Orde Baru menguat seiring dengan perkembangan kapitalisme kroni (crony capitalism). Pascareformasi,rejim cleptocracy kembali melakukan konsolidasi yang menyebar dalam skala yang luas,baik pada level vertikal dan horizontal.

Jantung rejim cleptocracybahkan terus menyebar di hampir semua level generasi. Akibatnya,aktor-aktor demokrasi pascareformasi belum mampu secara konsisten mengawal cita-cita besar reformasi. Bahkan,jamak disinyalir di mana mayoritas para aktor politik yang lahir pascareformasi sekali pun tidak terpisahkan dari jaringan rejim cleptocracy.

Berbagai fungsi negara terus mengalami penggerogotan di berbagai lini karena rejim cleptocracyterus melubangi sumber-sumber kekuasaan negara untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Barisan rejim cleptocracyini kendatipun tidak banyak muncul ke permukaan,dalam aksinya tak ubahnya seperti “mafia Italia (mafioso)’’ yang memiliki jaringan di berbagai sudut kekuasaan.

Dalam struktur kekuasaan,rejim cleptocracytidak akan mau menunjukkan integritasnya dan kerja kerasnya dalam membangun struktur ekonomi- politik negara. Justru sebaliknya, rejim cleptocracyakan selalu berpikir egois mencari celah mencuri-curi kekuasaan (dan kekayaan) negara dengan berbagai modus operandi yang kian canggih.

Akibatnya, negara dibuat seperti tak berdaya di tengah beragam persoalan pengangguran, kerusakan alam dan lingkungan,kemiskinan, mahalnya harga sembako,mahalnya biaya pendidikan,bencana alam –gempa bumi,banjir dan tsunami–,memburuknya berbagai fasilitas publik dan lumpuhnya sektor ekonomi produktif masyarakat.

Power Sharing, Bukan Berarti Merampok Negara
Kontestasi demokrasi sebagai mekanisme demokrasi dimaksudkan mencapai konsensus dan power sharing. Seiring dengan menguatnya tren liberalisasi budaya politik pasca reformasi, power sharing justru lebih diidentikkan sebagai langkah bersama-sama merampok negara.

Bagi-bagi jabatan kekuasaan eksekutif (menteri) dan bagi-bagi rekanan proyek di berbagai departemen terus berlangsung,di tengah rendahnya basis kompetensi dan integritas para pelaku dan pelaksana kekuasaan. Tidak hanya itu,berbagai kasus penyalahgunaan dana nonbujeter —seperti di DKP dan Depag— semakin menunjukkan bahwa makna power sharing telah direduksi habis-habisan.

Akibatnya, rejim cleptocracy yang bertengger dalam struktur birokrasi dan politik terus berlomba-lomba “memeras”( aset) negara. Tidak hanya itu,para aktor birokrasi dan politik yang menjadi bagian dari rejim cleptocracybahkan tak segansegan “memeras” rakyat melalui sejumlah kebijakan perpajakan dan pungutan (legal dan ilegal).

Tampaknya, kita perlu belajar pada negara lain, seperti Italia,yang sejak 1990-an telah sedemikian gigih memberantas rejim mafia.Bahkan saat ini, Italia telah sukses menyita aset-aset milik para mafia yang kemudian digunakan untuk berbagai kepentingan publik.

Mungkin kita juga dapat belajar kepada China,yang penegakan hukum terhadap para pelaku korupsinya sedemikian ketat diberlakukan,termasuk hukuman mati. Namun,beranikah agenda semacam itu dilakukan? Di sinilah sebenarnya harapan bertumpu kepada Presiden SBY-Kalla sebagai top manajer pemerintahan yang legitimate hasil Pemilu 2004,atau kita akan berharap kepada presiden dan wakil presiden hasil Pemilu 2009 nanti? (*)

No comments:

A r s i p