Wednesday, May 30, 2007

Nurani dan Akal Sehat

Saat menyampaikan Penghargaan Maarif, Senin (28/5) lalu, Prof Syafii Maarif mengingatkan kita tentang kondisi krisis yang terus-menerus menerpa bangsa.

Dari hasil perenungannya, Prof Syafii Maarif melihat penyebab utama dari krisis yang tidak pernah berakhir itu adalah perilaku kita. Secara khusus ia melihat hilangnya nurani dan akal sehat dari bangsa ini.

Hilangnya nurani dan akal sehat membuat kita cenderung memikirkan diri kita sendiri. Kita kehilangan kepekaan dan kepedulian terhadap kehidupan masyarakat yang lebih besar.

Apa yang terjadi dalam aliran dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan bisa dijadikan cermin betapa kita selalu mendahulukan tujuan daripada proses. Bahkan dari sana kita bisa mengambil pelajaran, betapa kekuasaan itu menjadi tujuan yang harus kita raih, tanpa kita mau peduli apakah itu diraih dengan cara yang benar atau tidak.

Mengapa kita mengatakan seperti itu? Sebab kita menangkap seperti adanya kenaifan. Para calon presiden pada Pemilihan Presiden 2004 maupun tim suksesnya menganggap dana yang diperoleh dari para pejabat DKP sebagai dana yang sah. Mereka tidak menyangka bahwa uang bernilai jutaan yang mereka peroleh itu berasal dari penyalahgunaan anggaran negara.

Padahal, kalau nurani dan akal sehat kita berbicara, seharusnya kita tahu uang ratusan juta rupiah yang diterima pasti berasal dari anggaran negara. Sebab kita tahu menteri dan pejabat yang sedang menduduki jabatan ketika itu bukan berasal dari kalangan pengusaha yang memiliki simpanan yang berlebihan. Mereka adalah dosen atau pegawai negeri sipil yang bisa kita ukur pendapatannya.

Kita tidak ingin masuk lebih dalam terhadap kasus yang saat ini sedang berproses di pengadilan. Yang lebih pantas menjadi perhatian kita bersama bagaimana kita melihat perjalanan bangsa dan negara ini ke depan.

Sepanjang kita tidak mau menyadari kesalahan yang sudah terjadi dan memperbaiki perilaku kita, seumur-umur kita tidak akan lepas dari persoalan seperti ini. Siapa pun presiden yang terpilih di masa mendatang tidak akan pernah lepas dari jeratan persoalan seperti yang terjadi sekarang ini.

Mustahil bagi kita untuk bisa memperbaiki perikehidupan bangsa ini sepanjang kita tidak mampu mengubah orientasi kita yang sekadar mengejar kedudukan, sekadar mengejar kekuasaan, sekadar mementingkan diri sendiri.

Seperti halnya Prof Syafii Maarif, kita percaya bahwa bangsa ini masih mempunyai harapan. Kecintaan terhadap negara ini masih cukup besar dan masih banyak orang yang peduli terhadap masa depan bangsa dan negara ini.

Tantangan kita bagaimana membuat orang-orang yang masih memiliki nurani dan akal sehat tidak kalah dalam peran dan gaungnya dari mereka yang hanya mementingkan diri sendiri. Untuk itulah kita semua harus mengawal proses demokrasi ini agar tidak "dibajak" dan disalaharahkan oleh pihak-pihak tertentu.

***

Lain Indonesia, Lain Pula Jepang

Terbongkarnya skandal suap telah membuat Menteri Pertanian Jepang Toshikatsu Matsuoka memilih bunuh diri di tiang gantungan awal pekan ini.

Itulah cara yang tidak jarang digunakan pejabat Jepang jika tersandung korupsi. Rasa malu dan bersalah yang luar biasa memaksa pejabat mengundurkan diri, bahkan bunuh diri. Hanya beberapa jam sebelum memberikan keterangan di panitia parlemen atas skandal dana politik dan manipulasi kontrak bisnis, Matsuoka (62) bunuh diri di apartemennya.

Ia dituduh menerima suap lebih dari 28 juta yen, atau sekitar Rp 2,2 miliar. Perdana Menteri Shinzo Abe amat terguncang atas cara Matsuoka mengakhiri hidupnya yang begitu tragis. Matsuoka merupakan menteri pertama yang bunuh diri sejak akhir Perang Dunia II.

Lain Jepang, lain pula China dan Indonesia. Di Jepang, hukuman pertama-tama datang dari dalam diri pejabat sendiri, yang merasa terpukul dan bersalah atas perbuatan korupsi. Sebelum diproses secara hukum, pejabat yang merasa bersalah langsung mengundurkan diri, atau bunuh diri seperti kasus Matsuoka.

Sementara di China, hukuman tidak pertama-tama datang dari kesadaran diri pejabat sendiri, tetapi dari penegak hukum. Sulit menemukan pejabat yang mengundurkan diri karena merasa malu atau bersalah, tetapi penegak hukum sangat efektif menjatuhkan hukuman. Pejabat yang korupsi dipecat, dipenjara, bahkan ditembak mati atau dibawa ke tiang gantungan.

Lain pula di Indonesia. Tidak seperti di Jepang, sulit sekali menemukan budaya malu dan rasa bersalah di kalangan pejabat Indonesia sekalipun dituduh tersandung korupsi. Jangankan mengundurkan diri, apalagi bunuh diri, pejabat yang tersandung korupsi sulit sekali mengaku bersalah dan menyatakan rasa malu. Sebaliknya cenderung menutup-nutupi, dan tanpa canggung mencitrakan diri seolah-olah sebagai pejabat atau bekas pejabat yang bersih.

Juga tidak seperti di China, pemberantasan korupsi di Indonesia tidak berjalan efektif karena penegak hukum sering disebut tidak tegas dan kurang bersih. Sering terdengar istilah tebang pilih, atau mafia peradilan. Tidak ada hukuman mati bagi koruptor seperti di China sekalipun pejabat dan masyarakat Indonesia mengagumi cara China atau Jepang dalam melawan korupsi.

Arah kampanye melawan korupsi di Indonesia pun tidak jelas. Secara kultural, budaya malu di kalangan pejabat Indonesia tidak sekuat di Jepang. Sementara secara struktural, penegak hukum Indonesia tidak setangguh di China yang mampu menghukum berat, termasuk hukuman mati bagi koruptor.

No comments:

A r s i p