Monday, May 28, 2007

Reformasi Baru Sebatas Ornamen Demokrasi

Suwardiman

Setelah hampir sembilan tahun negeri ini mendayung dalam arus reformasi, tuntutan-tuntutan utama yang diserukan rakyat Indonesia menjelang runtuhnya kekuasaan rezim Orde Baru dinilai publik belum juga terpenuhi. Selain itu, reformasi baru sebatas menjadi ornamen demokrasi, belum menyentuh sisi substansial kehidupan masyarakat.

Hasil jajak pendapat yang dilakukan terhadap 875 responden di 10 kota besar di Indonesia menunjukkan, betapa slogan-slogan perubahan yang digembar-gemborkan selama periode reformasi lalu tidak menyentuh hal-hal yang secara esensial lebih dibutuhkan rakyat, yaitu perbaikan kualitas hidup.

Selama sembilan tahun reformasi, mayoritas publik (63,7 persen responden) menilai pemerintah sudah tidak konsisten memperjuangkan jalannya reformasi. Sementara 79,5 persen responden juga menyatakan, para pemimpin di negeri ini semakin tidak jelas menentukan arah negara Indonesia. Hal itu jelas merupakan cermin dari realitas melencengnya semangat reformasi dari apa yang dituntut mahasiswa dan elemen-elemen masyarakat di akhir pemerintahan Soeharto.

Sembilan tahun yang lalu, gelombang besar yang dimotori mahasiswa dan aktivis berujung pada tuntutan perubahan besar dalam kehidupan berbangsa di negeri ini. Enam agenda utama menjadi tuntutan rakyat kala itu, yaitu: penegakan supremasi hukum; pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya; perubahan konstitusi; pencabutan dwifungsi TNI/Polri; serta pemberian otonomi daerah seluas- luasnya.

Publik ragu

Dalam perjalanan mewujudkan reformasi, realitas politik menggambarkan, betapa relasi kekuasaan masa lalu masih menancap kuat dalam sistem pemerintahan di negeri ini. Kini, publik pun meragukan pemerintah bisa memenuhi tuntutan- tuntutan reformasi (lihat grafis).

Harapan atas tegaknya supremasi hukum pun mulai pupus tatkala kasus-kasus hukum Soeharto dan kroni-kroninya selalu kandas. Selain itu, selama empat pemerintahan produk reformasi hingga kini gagal mengungkap kasus-kasus kejahatan hak asasi manusia (HAM) berat. Ini menegaskan antiklimaks gerakan reformasi di negeri ini.

Padahal, membangun "kebesaran bangsa" dengan reformasi identik dengan meletakkan dasar hukum yang kuat. Nicollo Machiavelli dalam adikarya klasiknya, The Prince, mengatakan, untuk menuju kebesaran ada dua cara: yang pertama dengan hukum (by the law) dan yang kedua dengan pemaksaan/kekerasan (by force).

Bangsa ini sudah memiliki pengalaman bagaimana penguasa menggunakan kekerasan dalam membangun kebesaran bangsa. Sejarah juga membuktikan kekuasaan dengan cara kekerasan ternyata memberi ruang terjadinya penyelewengan. Mengikuti asumsi Machiavelli, jika bangsa ini ingin menuju kebesaran, penegakan hukum adalah sebuah keniscayaan.

Memang tidak bisa dinafikan, sejumlah perubahan sudah terjadi selama proses demokrasi. Perubahan UUD 1945 untuk lebih mengakomodasi elemen-elemen dalam kaidah demokrasi, penguatan kelembagaan politik untuk menghasilkan liberalisasi partai politik, pembentukan komisi-komisi negara untuk mengoptimalkan tugas-tugas negara, serta pelaksanaan pemilu langsung agar kehidupan politik menjadi lebih demokratis.

Perubahan positif lain, yaitu reposisi dan depolitisasi peran TNI/Polri yang direalisasi melalui enam regulasi dalam sektor keamanan selama periode 2000-2004. Selain itu, pelaksanaan otonomi daerah kemudian ditegaskan dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Namun, sejumlah perubahan tersebut dinilai hanya menjadi "kosmetik" demokrasi semata.

Kenyataan menunjukkan, implementasi di lapangan tidak berjalan sinkron dengan cita-cita dan semangat reformasi. Penguatan lembaga-lembaga politik terbukti hanya menjadi alat untuk mengusung kepentingan sejumlah kelompok.

Partai politik belum mampu berperan menjadi wadah yang menampung kepentingan rakyat atau konstituen. Anggota DPR masih menjadi boneka yang digerakkan oleh kepentingan kelompok dan partai, bahkan oleh penguasa. Demikian juga dalam hal pemberantasan korupsi, otoritas negara masih diskriminatif dalam mengusut kasus-kasus korupsi.

Sementara itu, otonomi daerah hanya melahirkan raja-raja kecil. Perebutan kekuasaan di tingkat lokal terbukti tidak banyak memberi perbaikan kesejahteraan masyarakat daerah, sebaliknya otonomi daerah tak jarang menciptakan konflik-konflik baru.

Reformasi gagal?

Dalam sebuah acara ajang wicara sebuah stasiun televisi, Sri Bintang Pamungkas mengatakan, saat ini kondisi masyarakat jauh lebih sulit dibandingkan dengan masa Orde Baru. Setelah sembilan tahun bergulirnya reformasi, kesejahteraan masyarakat Indonesia lebih buruk dibandingkan dulu.

Apa yang diungkapkan oleh tokoh yang pada era Soeharto beberapa kali terkait kasus subversi itu, mewakili apa yang dirasakan oleh masyarakat di tingkat bawah pada umumnya.

Hasil jajak pendapat ini pun menunjukkan, 57,4 persen responden menilai kondisi harga barang-barang kebutuhan pokok semakin buruk, dan 50,2 persen menilai peluang bekerja dan berusaha semakin buruk. Hal senada diungkapkan saat menilai kinerja pemerintah dalam menangani masalah-masalah kemiskinan dan pengangguran, dua di antara tiga responden menyatakan kondisinya semakin buruk.

Dalam perspektif kesejahteraan masyarakat, langkah-langkah pemerintah dinilai tidak banyak memberi perbaikan pada kualitas hidup rakyat. Bahkan, sebagian kelompok masyarakat secara ekstrem menganggap upaya reformasi telah gagal. Seperti yang disuarakan oleh 67,7 persen responden yang terekam dalam jajak pendapat kali ini.

Dalam satu dekade terakhir, jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat pesat. Pada tahun 1996 jumlah penduduk miskin di negeri ini sebanyak 34,5 juta jiwa. Setelah krisis multidimensi berlangsung di Indonesia, jumlah penduduk miskin melonjak jadi 38,7 juta jiwa pada tahun 2000.

Kini, nyaris satu dekade setelah reformasi bergulir, jumlah penduduk miskin di negara ini terus meningkat mencapai 39,05 juta jiwa atau 17,75 persen dari total penduduk Indonesia tahun 2006. Padahal, anggaran untuk program kemiskinan terus dinaikkan berkali lipat selama lima tahun terakhir, dari Rp 18 triliun pada tahun 2004 dan melambung jadi Rp 65,5 triliun untuk anggaran tahun 2008.

Bagaimana masyarakat mengapresiasi reformasi, ketika perubahan yang terjadi mengabaikan kesejahteraan rakyat?

Wajar jika sebagian dari warga negara republik ini menganggap reformasi gagal, jika ternyata perubahan yang terjadi tidak benar-benar mengubah kehidupan mereka menjadi lebih baik. (Litbang Kompas)

No comments:

A r s i p