Tuesday, May 22, 2007

Mengapa Ragu atas Amandemen?

Indra J Piliang

Tidak sampai 24 jam, Partai Demokrat yang semula mendukung amandemen ke-5 UUD 1945 berbalik arah dan mencabut dukungannya.

Sikap ini menimbulkan pertanyaan di kalangan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan pengurus. Atas peristiwa itu, Partai Demokrat sulit menyatakan independensi politiknya mengingat kuatnya hubungan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Dewan Pembina.

Selama ini persepsi publik mengarah ke Presiden Yudhoyono. Dalam waktu singkat, sikap peragu mengalir ke Partai Demokrat. Sebagai partai politik yang lahir pada era reformasi, berbagai pilihan konservatifisme dan pro- status quo yang dilakukan Partai Demokrat membawa orang kepada pemikiran betapa partai tidak lebih baik dari pilihan posisi Golkar pada masa Orde Baru.

Padahal, sebagai penopang lembaga kepresidenan, Partai Demokrat bisa memanfaatkan momentum amandemen ke-5 untuk memperkuat sistem presidensial, membenahi hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, lalu menata mekanisme yang lebih jelas dalam penggunaan hak prerogatif presiden.

Perjalanan pemerintahan selama separuh lebih masa jabatan Yudhoyono menunjukkan betapa sistem politik yang mempertemukan konsep trias politika dalam bingkai konstitusi telah memenjarakan presiden sebagai representasi partai politik. Berbagai kesulitan itu bisa dinegosiasikan dengan DPD dan anggota DPR, dengan tujuan menyeimbangkan hubungan-hubungan kekuasaan.

Misteri

Keraguan Partai Demokrat mengandung misteri. Substansi amandemen adalah salah satu agenda, termasuk bagaimana amandemen dijalankan. Ada dua pilihan, langsung membahas butir-butir amandemen yang diajukan pengusul atau menyerahkan kepada panitia negara yang disuruh melakukan sosialisasi dan menjaring pendapat publik.

Bisa jadi Sidang MPR hanya mengeluarkan sinyal-sinyal ke arah evaluasi substansi UUD 1945 hasil empat kali amandemen atau mengevaluasi pengetahuan publik atas substansi itu.

Patut dipahami, pengetahuan penyelenggara negara atas konstitusi telanjur buruk. Padahal, konstitusi adalah ibu kandung seluruh peraturan perundangan.

Beragam sidang yang digelar Mahkamah Konstitusi menunjukkan banyak kepentingan publik diabaikan undang-undang. Para penyelenggara negara juga mengalami dilema, di satu sisi harus makin spesialis di bidangnya, di sisi lain harus menguasai kerangka makro secara luas.

Dengan uraian itu, amandemen konstitusi layak menjadi agenda penting. Secara akademis, amandemen konstitusi membuat banyak kalangan berpikir lebih keras dalam tataran normatif, futuristis, sekaligus empiris.

Secara politik, amandemen bisa mengurai kekusutan penyelenggaraan pemerintahan yang bergerak sporadis, bukan kepada titik-titik temu, tetapi titik-titik pecah. Amandemen juga memungkinkan publik mendapat sajian keilmuan yang berbeda dengan tarian-tarian politik yang kini digelar tanpa jeda.

Obat mujarab

Sudah saatnya elite politik meletakkan semua agendanya di atas meja amandemen. Juga para pakar yang bertengkar berdasar buku-buku. Proses awal yang layak disepakati adalah komitmen untuk tidak mengubah bagian-bagian yang dianggap baku dan tabu, sebagai simbol negara republik, multikultural, dan menjunjung tinggi HAM.

Jika "perintah" untuk meluruhkan dukungan Partai Demokrat atas amandemen ke-5 berasal dari perhitungan politik, apalagi kekhawatiran terjadi politisasi atas proses amandemen, berarti "si pemberi perintah" layak berpikir tentang kiprah politik Partai Demokrat.

Tidak perlu ada kecurigaan akan ada agenda politik di balik amandemen mengingat politik adalah realitas dan pilihan kehidupan demokratis hari ini dan sudah ditubuhkan dalam konstitusi. Yang layak dipertarungkan adalah agenda politik demi kepentingan masyarakat banyak atau bukan, dan cara yang ditempuh demokratis atau tidak.

Amandemen bukan obat mujarab untuk menyelesaikan aneka masalah besar negeri. Namun, jika konstitusi yang ada dijadikan ajang melempar tanggung jawab oleh penyelenggara negara, berarti amandemen menjadi jalan keluarnya. Lewat proses yang terbuka, partisipatif, dan demokratis, amandemen konstitusi bisa merangkai berbagai pikiran terbaik yang dimiliki anggota MPR dan pihak lain.

Negarawan tidak lahir dalam sehari, bahkan bagi politikus puluhan tahun pun belum mampu menyandang status itu. Status negarawan muncul dari pergulatan antara aksi dan refleksi.

Pikiran-pikiran terbaik pendiri negara justru lahir saat konstitusi disusun dengan banyak pidato indah, dalam, dan melintasi batas-batas tahun dan wilayah.

Amandemen berpotensi menghasilkan orang-orang dengan pikiran besar, bukan orang-orang kerdil pada zaman besar seperti sekarang. Mengapa kita ragu dengan itu?

Indra J Piliang Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta

No comments:

A r s i p