Wednesday, May 23, 2007

Reformasi dan Kesejahteraan Ekonomi

Zezen Zaenal Mutaqin
Tim Peneliti Lembaga Survei Indonesia

Reformasi yang telah berjalan selama sembilan tahun dirasakan oleh sebagian kalangan sebagai usaha yang sia-sia. Reformasi tak kunjung membawa perubahan signifikan. Kehidupan ekonomi tak lebih baik ketimbang zaman orde baru, bahkan oleh sebagian kalangan dianggap lebih buruk. Pemberantasan korupsi, penegakan hukum, reformasi birokrasi, belum juga beranjak dari tempatnya semula. Reformasi, alih-alih menumbuhkan semangat hidup dan optimisme, malah memunculkan pesimisme di kalangan masyarakat. Terlebih belakangan muncul kekhawatiran krisis ekonomi gelombang dua siap-siap menerpa Asia, termasuk Indonesia.

Pesimisme terhadap reformasi ini menimbulkan munculnya dua kelompok dengan dua sikap berbeda. Pertama, munculnya kelompok romantik. Kenangan hidup enak di bawah rezim otoriter bangkit kembali. Barang-barang pokok, dulu ketika zaman Suharto, menurut kelompok ini, lebih mudah didapat dan harganya terjangkau. Setelah reformasi semuanya jadi mahal. Kondisi semakin parah karena di samping mahal, barang-barang pokok juga tidak ada di pasaran. Singkatnya, kelompok ini memandang masa reformasi tak lebih dari sebuah era kemunduran.

Kedua, pesimisme memunculkan kelompok yang tidak ingin kembali pada masa Suharto, tetapi juga tidak cukup sabar meniti jalan reformasi. Menurut kelompok ini perubahan melalui reformasi adalah perubahan semu yang sesungguhnya tidak mengubah apa-apa. Reformasi hanya melanggengkan struktur lama yang korup. Tak ada yang berubah sama sekali setelah reformasi. Pejabatnya masih pejabat lama, birokrasi lama, partai lama, semuanya orang lama.

Mahasiswa ketika melahirkan reformasi memberikan cek kosong yang lantas cek itu diisi dan dinikmati oleh muka lama yang bertampang reformis. Karena itu, kelompok kedua ini menghendaki perubahan revolusioner dan perombakan total sistem yang ada agar sisa-sisa sistem korup yang lama tercabut dengan akar-akarnya.

Menguatnya pesimisme
Pesimisme terhadap reformasi ini belakangan muncul semakin kuat. Alasannya, reformasi dan demokratisasi tidak juga menyejahterakan masyarakat. Reformasi belum bisa mengangkat nasib hidup bangsa ini menjadi lebih baik. Memang pemerintah berhasil menyelesaikan banyak masalah besar seperti menyelesaikan konflik di Aceh, konflik etnis di Poso dan Maluku, masalah Papua, menangkap teroris, menjaga stabilitas keamanan, dan lain-lain. Tapi semua keberhasilan itu tidak langsung dirasakan oleh sebagian besar masyarakat. Hal yang langsung dirasakan masyarakat terutama yang berkaitan dengan urusan ekonomi dan pengurangan jumlah pengangguran, tak juga mengalami perbaikan.

Padahal kalau kita merujuk pada sejumlah penelitian yang menghubungkan kesejahteraan ekonomi dan kelangsungan demokrasi sebagaimana dirintis Martin Lipset tahun 1959, indikator perbaikan ekonomi memegang peranan penting bagi kelangsungan demokrasi. Semakin sejahtera sebuah negara, semakin besar kesempatannya mempertahankan demokrasi (Lipset, 1959).

Studi statistik konprehensif mengenai hal ini dilakukan oleh Adam Przeworski dan Fernando Limongi. Keduanya melakukan penelitian terhadap lebih dari 100 negera dari tahun 1950 samapai 1990. Temuannya cukup menarik. Menurut mereka, negara-negara demokratis yang memiliki pendapatan per kapita di bawah 1.500 dolar AS hanya memiliki kemungkinan untuk bertahan selama delapan tahun. Negara yang berpendapatan per kapita antara 1.500 dolar AS sampai 3.000 dolar AS, mempunyai kemungkinan untuk bertahan selama 18 tahun. Kesimpulannya, semakin sejahtera penduduk sebuah negara demokratis, semakin aman nasib demokrasinya.

Pendapatan per kapita penduduk negara kita sekarang diperkirakan hanya sekitar 1.300 dolar AS. Secara teoretis, nasib demokrasi kita sedang kritis. Namun tampaknya kita aman-aman saja. Pemerintahan berjalan seperti biasa. Kondisi politik dan keamanan juga stabil. Jika demikian, lantas apa yang terjadi? Pertanyaan ini mungkin bisa dijelaskan dari sudut pandang non-ekonomi, yakni dari aspek kepercayaan terhadap demokrasi.

Rezim SBY sebenarnya adalah rezim yang beruntung. Popularitas, meski terus meolorot dalam beberapa bulan, tetap cukup tinggi, menguasai parlemen, kondisi keamanan stabil, cadangan devisa bertambah dan politik internasional relatif mendukung. Ditambah rakyat juga cukup bersabar: meski demokrasi dan reformasi tidak kunjung menyejahterakan, mereka tetap memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap demokrasi.

Seharusnya dengan kondisi demikian rezim SBY lebih berani mengeluarkan kebijakan yang tegas dan tepat, sekalipun beriesiko, terutama terkait masalah perbaikan ekonomi. Sisa dua setengah tahun ke depan seharusnya betul-betul dimanfaatkan untuk lebih fokus pada perbaikan ekonomi.

Jika ekonomi membaik, sesungguhnya yang menikmati hasilnya bukan hanya rakyat. Pemerintah sediri diuntungkan secara politik. Keberhasilan ekonomi sebelum 2009 akan membuat rakyat memberikan hadiah dengan cara memilih kembali SBY di tahun 2009 nanti.

Namun sebaliknya, jika kondisi ekonomi tak juga bisa diperbaiki, rezim SBY akan dihukum rakyat dengan tidak dipilih kembali menjadi peminpin rakyat pada Pemilu 2009 nanti. Nasib demokrasi di negara kita juga terancam. Rakyat akan semakin pesimistis dengan demokrasi. Bukan mustahil lantas kita akan kembali terperosok ke dalam masa otoritarian. Hal ini cukup beralasan karena pelembagaan demokrasi di negara kita, tidak seperti di India, masih sangat rentan dan belum mapan. Kembalinya sistem otoriter masih membayangi.

Yang perlu ditekankan dan disadari bersama oleh kita adalah kesabaran dan konsistensi dalam meniti jalur reformasi. Karena, pesimisme yang muncul bisa menghancurkan jalan yang telah ditempuh. Jika titian reformasi hancur, kita harus memulai lagi semuanya dari awal. Baik pesimisme yang berujung pada romantisme otoritarian maupun pada revolusi sama-sama akan membunuh demokrasi. Baik romantisme maupun revolusi selalu berujung pada rezim otoriter, bahkan totaliter. Namun, dengan demikian tidak berarti kita tidak harus kritis terhadap pemerintah.

No comments:

A r s i p