Monday, May 21, 2007

Oposisi dan Kemajuan Negara

Siswono Yudo Husodo

Di negara demokrasi mana pun, peran partai politik amat penting. Juga di Indonesia, yang parpolnya memiliki kekuasaan amat besar.

Selain di legislatif pusat dan daerah, jabatan eksekutif: presiden-wapres, gubernur-wagub, bupati-wakil bupati, wali kota-wakil wali kota, harus melalui nominasi partai politik (parpol). Juga jabatan kenegaraan, seperti gubernur, duta besar, ketua MA, KPK, panglima TNI, dan kepala Polri, harus melalui fit and proper test di DPR sebagai kepanjangan tangan parpol.

Dalam menyusun kabinet pun Presiden perlu berkonsultasi dengan parpol. Dengan kewenangannya yang besar, tugas utama parpol seharusnya mencari—bagi negara dan rakyat—putra-putri terbaik untuk menduduki jabatan politik dan pejabat negara.

Sayang, kredibilitas parpol yang amat berkuasa itu, sesuai survei LSI, sedang merosot, disebabkan maraknya money politics dalam banyak proses politik di berbagai lembaga politik. Anggota DPR meminta imbalan dan menjadi calo berbagai proyek. Terungkapnya skandal asusila, anggota DPR yang menyelundupkan beras dan divonis pidana, partai-partai yang internalnya kisruh terus, dan lain-lain.

Sulit dibayangkan, bagaimana good governance dapat terbentuk dalam kondisi parpol demikian.

Karena itu, penyehatan kehidupan parpol di Indonesia menjadi kebutuhan jika kita ingin mempercepat kemajuan negara-bangsa.

Politik bisa dipahami dalam dua arti besar. Pertama sebagai teknik untuk meraih kekuasaan, menguasai sumber-sumber daya, dan meraup kekayaan.

Kedua, etik untuk mengabdi rakyat, kepada negara, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, meningkatkan persatuan bangsa.

Terlalu berbahaya membiarkan meluasnya pemahaman yang pertama. Kegiatan politik menjadi tidak efisien dan tidak produktif. Penguasa menghabiskan energi terlalu besar untuk mempertahankan kekuasaannya, sementara lawan politiknya menghabiskan energi untuk menjatuhkan penguasa. Akibatnya, energi politik bukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, sebaliknya energi sosial ekonomi rakyat tersedot untuk politik.

Oposisi

Dalam konteks mengembangkan politik sebagai etik untuk mengabdi itulah perlu dipikirkan kecenderungan setiap parpol ikut dalam setiap pemerintahan.

Dalam pemerintahan SBY-JK, para tokoh yang duduk di pemerintahan dari Golkar, Demokrat, PPP, PAN, PKS, PKB, PBB, dan PKPI, total 414 kursi di DPR. Partai di luar pemerintahan adalah PDI-P (yang secara terbuka menyatakan diri sebagai oposisi), PDS, PBR, dan partai-partai di bawah electoral treshold, total 136 kursi di DPR. Kita perlu berterima kasih kepada PDI-P yang memulai tradisi politik baru dengan bersedia menjadi oposisi.

Bisa dipahami, banyak parpol cenderung mendukung pemerintah, disimbolkan duduknya pimpinan partai di kabinet. Dan kebutuhan presiden, ada dukungan politik mayoritas.

Belajar dari keberhasilan banyak negara demokrasi yang maju, negara memerlukan hadirnya pemerintahan yang kuat bersama oposisi yang kuat. Kuat dalam pengertian memiliki gagasan yang unggul, mampu mengelola negara yang andal, serta moral dan etika yang baik.

Dalam buku-buku politik disebutkan, tugas pemerintah adalah to show the way menunjukkan jalan bagi perkembangan negara. Betapa besar manfaat dari arah yang ditunjukkan Deng Xiao Ping di masa lalu pada perkembangan China sekarang. Dan betapa merosotnya Zimbabwe sekarang dengan arah yang ditunjukkan oleh Mugabe di masa lalu.

Karena itu, dalam pengertian "kuat" juga harus visioner. Oposisi siap mengambil alih kepemimpinan politik. Di Inggris oposisi membentuk kabinet bayangan.

Dengan pemerintah dan oposisi yang kuat, rakyat menjadi mantap dan optimistis mengenai masa depannya. Karena, jika terjadi kekeliruan dari salah satu pihak, rakyat memiliki pilihan yang meyakinkan pada pemilu berikut. Bagi tokoh-tokoh pemerintah, kritik oposisi adalah cambuk untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan negara. Oposisi yang kuat, yang efektif mengawasi pemerintahan adalah suatu kebutuhan karena kekuasaan tanpa pengawasan yang efektif akan cenderung korup.

DPR adalah arena terbaik untuk elite politik oposisi membentuk kredibilitasnya di mata rakyat, dengan lantang menyuarakan kritik dan menyodorkan alternatif pilihan kebijakan.

Untuk dapat menjadi pilihan rakyat, partai-partai harus dapat menawarkan gagasan, program dan kepemimpinan alternatif, bukan menjadi partai yang sibuk dengan masalah internal.

Kemantapan sistem

Hadirnya pemerintah yang kuat dan oposisi yang kuat di negara demokratis akan menciptakan kemantapan sistem dan kemantapan rakyat akan masa depannya; sesuatu yang dibutuhkan negara untuk membangun masa depan bersama yang lebih baik.

Dengan segala kemajuan yang telah diraih di bidang politik utamanya demokratisasi, negara Indonesia belum memiliki pemerintahan dan oposisi yang kuat.

Di AS, Partai Demokrat dan Partai Republik silih berganti meraih dukungan rakyat AS. Keduanya selalu siap menjadi pemerintah dan oposisi yang baik. Pemerintahan Clinton dari Partai Demokrat amat populer pada periode pertama karena mampu menekan angka pengangguran.

Namun, skandal Clinton dengan Monica Lewinsky ikut membuat pilihan rakyat AS pada pemilu berikut beralih pada presiden dari Partai Republik. Demokrat lalu menjadi oposisi yang kuat. Menyusul Peristiwa 11 September, Demokrat bersama seluruh warga AS mendukung kampanye perang antiterorisme yang digagas Presiden George Bush.

Meski demikian, rakyat AS menyadari, Presiden Bush berbohong mengenai senjata pemusnah massal Irak, pendulum politik beralih ke Partai Demokrat. Rakyat AS menempatkan Demokrat sebagai mayoritas di Senat, House of Representatives (DPR) dan Kongres. Banyak negara bagian yang gubernurnya juga beralih ke Partai Demokrat.

Jika kehadiran pemerintahan yang lemah bersama oposisi yang lemah berlangsung lama, hal itu akan memerosotkan kepercayaan rakyat pada sistem yang ada, yang bisa membahayakan eksistensi negara, melemahkan ikatan kebangsaan, memunculkan sektarianisme, etnosentrisme, yang memperlemah negara.

Di masa lalu, untuk waktu lama, penguasa politik di Indonesia mengembangkan sistem tanpa oposisi. Oposisi diharamkan; pengkritik dianggap lawan yang perlu ditumpas, ditiadakan. Karena sistem itu telah lama berlangsung, di banyak tempat—pusat dan daerah—sebagian elite politik masih banyak yang tidak suka dikritik.

Kehadiran oposisi bukan hanya diperlukan dalam konteks relasi eksternal parpol, tetapi juga internal parpol. Untuk waktu lama, di Jepang partai berkuasa LDP amat kuat dan di Parlemen oposisi lemah sekali. Tetapi, oposisi muncul berupa faksi-faksi dalam tubuh LDP; antara lain faksi Tanaka, faksi Watanabe, faksi Fukuda, dan banyak lagi. Faksi-faksi dalam LDP menggambarkan kematangan politisi Jepang yang membuat LDP tetap utuh dan mengantar Jepang menjadi adidaya ekonomi karena antarfaksi saling mengawasi.

Kuatnya dinamika oposisi internal membuat RRC—negara satu partai—maju. Meski ada adagium, "diktator yang baik lebih baik dari demokrat yang lemah", tak layak jika kita mengharap hadirnya seorang diktator sebaik Lee Kwan Yew, bukan karena upaya itu bisa sia-sia, tetapi juga kita perlu konsisten dengan jalan demokrasi yang sudah dipilih. Segenap elite politik sesuai kapasitas dan kompetensinya dengan kesadaran penuh dapat ikut meningkatkan kualitas pemerintah dan oposisi di Indonesia.

Siswono Yudo Husodo Ketua Yayasan Pendidikan Universitas Pancasila

No comments:

A r s i p