Sunday, May 27, 2007

Peradilan Harus Sangat Tegar
Sumbangan "Politik" Juga Dilakukan Para Menteri Lain

Semarang, Kompas - Peradilan harus benar-benar tegar dalam menghadapi kasus dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan. Hakim yang menangani kasus itu harus memiliki visi kenegarawanan karena hal itu menyangkut masa depan bangsa dan negara Indonesia.

Menurut Guru Besar Emeritus Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Satjipto Rahardjo di Semarang, Sabtu (26/5), pola berpikir seperti hakim konvensional tidak mencukupi untuk menangani kasus ini. Logika saja tidak cukup karena konsekuensi yang bisa ditimbulkan sangat besar terhadap bangsa Indonesia.

"Proses hukum tetap harus dijalankan terkait dengan dugaan penyaluran dana Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) kepada beberapa calon presiden dalam Pemilu 2004. Rakyat tentu akan melihatnya sebagai proses memberantas korupsi di negeri ini," ujar dia. Persoalan ini, katanya, menjadi sensitif karena dana DKP ini diduga disalurkan untuk mendanai kampanye beberapa calon presiden.

Apabila hal ini benar, menurut Satjipto, dampaknya juga bisa mencoreng pencapaian yang luar biasa dalam pemilihan presiden secara langsung itu.

Pemilihan tersebut sudah dianggap sebagai pemilihan demokratis dan sah. Maka, kata dia, ketika aliran dana DKP ini melebar hingga menyangkut dana kampanye, hal ini sensitif.

"Jika hal ini terbukti, bisa jadi akan berimbas pada hasil pemilihan presiden yang sudah dinyatakan sukses itu. Kalau terbukti dana kampanye berasal dari dana tidak sah, tentunya hasil pemilihan presiden akan terimbas. Hal terburuk, ini berarti hasil pemilu cacat," kata dia.

Hanya saja, menurut Satjipto, dalam menyikapinya, hakim harus berhati-hati dan tidak sekadar menggunakan logika hukum.

Dua cara

Ada dua cara untuk menyikapi kemungkinan terburuk ini. Pertama, tetap berpegang pada prinsip keadilan untuk keadilan sehingga tidak peduli kepada dampak putusan, termasuk penggugatan terhadap keabsahan pemilihan presiden.

Akan tetapi, Prof Satjipto mengatakan ia lebih cenderung pada pilihan kedua, yaitu dengan tidak mengabaikan keberhasilan pemilihan presiden meski kemungkinan terburuk dalam putusan, pemilihan presiden mengalami beberapa kecacatan.

"Harus diperhatikan hakim, selain nilai keadilan itu sendiri, masih ada nilai kemanfaatan. Harus dipikirkan bagaimana dampak kepada bangsa Indonesia. Oleh karena itu, hakim harus mempunyai visi kenegarawanan," katanya.

Wapres tentang Amien

Di Denpasar, dalam perjalanan transit dari Tokyo ke Jakarta, Wapres Jusuf Kalla meminta agar kasus aliran dana nonbudgeter DKP terhadap sejumlah calon presiden pada Pemilu 2004 tersebut tidak diperlebar ke persoalan lain yang dapat mengganggu konsentrasi bangsa Indonesia menyelesaikan pembangunan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.

"Jika kasus itu terus diperlebar, masalahnya bisa menjadi panjang dan bangsa Indonesia tidak punya waktu memperbaiki kehidupan bangsa," kata Wapres.

Tentang pernyataan calon presiden 2004, Amien Rais, yang mengaku menerima dana DKP, Jusuf Kalla mengatakan, biarlah pengadilan yang sedang berjalan menindaklanjutinya.

"Pengadilan pasti mengusut apa adanya. Ini masalah yang bisa (menimbulkan) keributan melulu. Lantas, kapan kita akan bekerja?" lanjut Wapres.

Menurut Wapres, ia menghormati Amien Rais yang mengaku telah menerima delapan cek secara pribadi. Namun, Wapres sekali lagi membantah tuduhan bahwa dirinya dan Susilo Bambang Yudhoyono menerima dana serupa dari DKP.

"Blunder"

Tentang kecaman Presiden terhadap Amien Rais, Sri Bintang Pamungkas menilai hal itu justru menjadi blunder (kesalahan besar). Menurut Bintang, seusai menjenguk mantan Menteri DKP Rokhmin Dahuri di tahanan Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Sabtu, Presiden tidak perlu menanggapi tuduhan-tuduhan tersebut secara langsung, apalagi tertuju kepada seseorang tertentu secara terbuka.

Tanggapan, apalagi kecaman seperti itu, katanya, seolah-olah merupakan bentuk lain dari pembenaran adanya ketidakberesan.

Bintang juga menyarankan agar pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) juga memberi penjelasan. "Nazaruddin (Ketua KPU) harus bicara. Komaruddin Hidayat (ketua Panwaslu) juga harus bersaksi," lanjut Bintang.

Kepada Bintang, Rokhmin mengatakan, semua calon presiden mengajukan proposal permohonan dana kepadanya. Namun, proposal itu tidak disampaikan langsung sang capres, melainkan oleh tim sukses masing-masing capres. Dalam proposal juga tidak tercantum nominal dana yang diinginkan.

Rokhmin sempat mengantar Bintang hingga ke lobi. Ia mengakui, pemberian sumbangan itu dilakukan juga oleh para menteri lain di masa pemerintahan Megawati. Namun, Rokhmin mengaku tidak tahu apakah "kebiasaan" menyumbang itu diketahui Megawati. "Itu saya tidak tahu," kata Rokhmin. (AB1/Har/SF)

No comments:

A r s i p