Thursday, May 24, 2007

Saat DPD Menuntut Penguatan Wewenang

Marwan Mas

Tuntutan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 kembali menggema. Meski tidak sekencang saat awal reformasi, gaungnya cukup krusial.

Sebuah tuntutan progresif yang bermuara pada keinginan menguatkan konstitusionalitas lembaga negara yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Betapa tidak, saat Soehar- to berkuasa, malah ia mempersonifikasikan dirinya dengan UUD. Jika ada yang mengkritik kebijakannya, akan dicap mengobok- obok konstitusi. Hampir semua keran partisipasi politik rakyat tertutup rapat. Mekanisme saling mengimbangi dan mengawasi (checks and balances) menjadi kabur. Soeharto-lah personifikasi negara dan konstitusi diharamkan untuk diutak-atik.

Namun, empat kali perubahan UUD masih saja menuai kritik akibat proses perubahan yang tidak memiliki paradigma dan kerangka yang memadai, miskin referensi metodologis, serta kurang didukung oleh teori dan tafsir konstitusi. Akibatnya, hasil perubahan bersifat parsial—atau malah tambal sulam—yang menyisakan persoalan baru. Padahal, perubahan UUD dilandasi oleh tuntutan akan pentingnya pemerintahan konstitusional yang demokratis (constitutional state).

Penguatan DPD

Persoalan seputar DPD dan ketimpangan hubungan antarlembaga negara adalah dua aspek yang sering diperdebatkan di kalangan akademisi. Perdebatan yang meluas itu ditangkap oleh DPD dan sebagian anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari unsur Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melakukan perubahan kelima. Realitas menunjukkan, DPD tidak lebih sebagai aksesori demokrasi dalam sistem perwakilan. Perlu kesetaraan kewenangan dalam dua kamar, sebagai keniscayaan di tengah harapan rakyat agar DPD berperan sebagai penyeimbang dalam sistem pemerintahan presidensial.

Penguatan kewenangan bukan sekadar mengajukan rancangan undang-undang (RUU) berkaitan dengan kepentingan daerah (Pasal 22D UUD), tetapi juga membahas, menetapkan, dan mengawasi pelaksanaan undang-undang. DPD berperan aktif pada proses pembentukan dan pelaksanaan undang-undang sebagai "roh" kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20 UUD).

Jika perubahan kelima menguatkan kewenangan DPD sebagai konsekuensi atas pilihan dua kamar (bikameral), akan semakin mempererat kristal NKRI. Dengan begitu, devolusi dan dekon- sentrasi menjadi ciri inheren dalam melahirkan kebijakan publik. Partisipasi politik yang diperankan DPD dapat menguatkan korelasi inheren antara pusat-daerah. Pola penataan negara kesatuan yang diformat dalam otonomi daerah tidak akan bergerak di ruang hampa karena DPD menjadi jembatan dalam menata sistem politik bersama DPR.

Namun, substansi perubahan yang semata-mata menuntut penguatan kewenangan yang terkesan parsial boleh jadi mendapat ganjalan meski risikonya kecil akan menjadi bola liar. Sebab, usul perubahan harus sesuai dengan Pasal 37 Ayat 2 UUD bahwa: "Setiap usul perubahan UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan secara jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya". DPD perlu meracik ulang usul perubahan Pasal 22D UUD dengan mengintroduksi pasal-pasal lain yang terkait.

Perlu kajian

Untuk mengegolkan usul perubahan perlu kajian mendalam dan komprehensif agar tidak terjadi disharmoni dalam proses legislasi dan checks and balances. Pasal penguatan kewenangan DPD tidak berdiri sendiri, ia terkait dengan kedudukan presiden yang juga mengusulkan dan membahas RUU bersama DPR. Termasuk ketidakcermatan formulasi norma yang memosisikan DPR dan presiden sebagai lembaga yang mendominasi pengambilan keputusan dalam perpolitikan nasional.

Jika hanya mengubah Pasal 22D, dikhawatirkan tidak akan mendapat dukungan kuat di MPR. DPD akan dinilai hanya berjuang untuk kepentingannya sendiri, padahal perubahan terkait dengan Pasal 20 Ayat 1 dan Ayat 2 bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang- undang, serta pembahasan RUU dilakukan DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.

Begitu pula, Pasal 5 Ayat 1 mengenai hak presiden untuk mengajukan RUU kepada DPR. Namun, di mana posisi presiden dalam pembentukan undang-undang? Jika presiden tidak terlibat dalam proses legislasi, tentu perlu memikirkan "hak veto". Setiap RUU yang disepakati DPR-DPD dapat ditolak presiden, seperti pada sistem presidensial yang sudah mapan di Amerika Serikat.

Bukan hanya itu, perubahan Pasal 22D juga bisa terkait dengan pasal pemakzulan (pemberhentian) presiden dan/atau wakil presiden. Apalagi syarat pemakzulan tidak boleh bermotif politik (political impeachment), dipersempit pada pelanggaran hukum pidana atau hal-hal yang membahayakan keselamatan negara. Karena itu, Pasal 7A UUD juga diapresiasi agar usul pemakzulan bukan hanya dari DPR, tetapi melibatkan DPD sebagai elemen penting yang mewakili aspirasi daerah. Dengan begitu, DPD menjadi salah satu bagian penting bagi check and balances antarlembaga negara.

Reposisi MPR juga bisa diformat ulang menjadi sidang gabungan (joint session) dengan kewenangan terbatas. Sidang gabungan dimaknai sebagai upaya menguatkan semangat checks and balances. Oleh karena itu, sangat penting DPD membuat content draft (rumusan pasal-pasal perubahan beserta alasannya) yang berkaitan dengan penguatan wewenang. Content draft dijadikan paradigma yang cukup mendasar untuk ditawarkan dalam sidang MPR.

Marwan Mas Dosen dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PuSKon) Universitas 45, Makassar

No comments:

A r s i p