Tuesday, May 29, 2007

Divina Commedia Indonesiana"

Armada Riyanto

Tu lascerai ogne cosa diletta più caramente.... Tu proverai sì come sa di sale lo pane altrui.

("Engkau akan meninggalkan apa saja yang kamu kagumi;

Engkau akan merasakan betapa asin dan pahitnya roti orang")

Galau. Itulah jiwa Dante Alighieri, penyair kondang periode Mediovale dalam Divina Commedia (Div-C) yang ditulis dalam bahasa dialek campuran Tuscano (Florentino), Siciliano, juga Latin.

Commedia tidak sama dengan "komedi atau lelucon" karena isinya berupa 100 syair yang justru mengungkap pelarian etis jiwa manusia di tengah gelap-pekatnya kekacauan nilai hidup sehari-hari. Terminologi Commedia dalam ranah sastra Mediovale mengatakan pengetahuan secara keseluruhan.

Div-C melukiskan perjalanan pengetahuan jiwa yang galau seorang Dante dari inferno (neraka), purgatorio (api penyucian), ke paradiso (surga). Aneka intrik persaingan, kepalsuan, korupsi, dan hipokrisi para tokoh politik, punggawa moral bangsa dan para agamawan telah menciptakan ruang hidup terasa pengap dan menyesakkan.

Ketidakjelasan moral distingsi antara "baik dan buruk", atau "benar dan salah", atau "suci dan munafik", atau "adil dan tamak", atau "koruptif dan tulus", atau "jujur dan licik", membuatnya galau, lantas lari ke dunia alegoris kematian. Hanya dalam kematian, jiwa Dante menikmati sebuah panorama diskursus etis tanpa keremangan, tanpa ambiguitas, tanpa hipokrisi.

Yang unik, dalam inferno rekaan Dante, jiwanya melihat tokoh-tokoh terpandang. Para eksponen politik yang dipuja-puji dalam sejarah, para pengajar moral etis kehidupan, bahkan para pemimpin agama terkemuka zamannya ada di sana.

Hipokrisi

Divina Commedia Indonesiana melukiskan perjalanan jiwa galau bangsa Indonesia saat ini. Jiwa bangsa galau menyaksikan dan mendengarkan betapa jelas dan nyata kekacauan moral dan hipokrisi para pemimpin, baik di bidang politik, moral, bahkan pendidikan maupun agama.

Adalah Prof Dr Amien Rais yang berbicara blak-blakan bahwa dirinya telah menerima dana nonbudgeter dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Jika proses hukum dikerjakan dan terbukti melanggarnya, Amien Rais berkata dirinya siap dihukum (Kompas, 16/5/2007).

Amien Rais mengklaim dirinya tidak sendirian. Ada sederet nama dan pimpinan organisasi kepemudaan maupun keagamaan yang kecipratan dana haram itu. Genderang ditabuh.

Hiruk pikuk tuduh-menuduh tak terelakkan. Bahkan, tak kurang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono gerah. Menurut dia, Amien telah menebar fitnah.

Galau

Jiwa bangsa ini galau. Tak peduli siapa paling benar. Jika Amien Rais koruptif, jiwa ini bergumam, masih adakah yang tersisa?

Artinya, jika sosok pribadi yang pernah menjabat Ketua Umum Muhammadiyah dan pendiri sekaligus Ketua PAN, profesor ilmu politik dan menguasai segala seluk-beluk ranah moral-etik-politik hidup bernegara khilaf koruptif menerjang hukum atau sekitar itu, masih adakah tangan yang tidak belepotan kotor?

Masih mungkinkah sekarang diskursus tentang moral dan etika hidup bernegara dan hidup bersama di tanah kita?

Ketika para pemimpin hidup bernegara, pemimpin agama, dan punggawa moral terjerembab dalam aktivitas manipulatif, kita kehilangan nyaris segalanya untuk berdiri tegak di atas kaki sendiri.

Amien Rais korupsi. Amien Rais mengakui. Amien Rais dipuja-puji. Ia korupsi karena menerima dana nonbudgeter. Namun, ia dipuji karena keterusterangannya. Dia bahkan mengakui jumlahnya secara persis baik yang tidak maupun melalui tangannya sendiri. Banyak tokoh intelektual negeri ini, para penyeru antikorupsi, memuji-muji sikap Amien Rais, bahkan mendeklarasikannya sebagai contoh kejujuran. Meski demikian, soalnya lebih dari sekadar perkara jujur atau tidak; atau apakah uang dikembalikan atau tidak. Ada kegalauan mendalam.

Kemarin, tetangga sebelah, Pak Saridi, kedapatan mencuri ayam. Saridi korupsi. Saridi mengakui. Tetapi, alih-alih dipuji, Saridi digebuki lantas dijebloskan ke bui.

Amien Rais berkata, sejumlah dana haram itu tidak untuk diri sendiri, tetapi untuk dana kampanye. Soal sederhana yang berlanjut: andai kampanye itu sukses, siapa yang jadi presiden? Serupa dengan itu, Saridi kemarin mengaku terpaksa mencuri ayam karena dia sangat butuh uang untuk membeli obat bagi anak kecilnya yang sakit demam.

Apa yang membuat hati ini risau dan galau? Jika bangsa ini konsekuen, mari kita ramai-ramai memuji, siapa pun yang khilaf koruptif, termasuk juga Saridi dan kawan-kawan yang lain!

Bangsa koruptif

Rasanya, karena tidak ada lagi yang tidak belepotan koruptif, kita barangkali telah memecahkan rekor menjadi bangsa nomor satu di planet ini, di mana para warganya koruptif semua. Jika pengandaian ini benar, seluruh hukum dan prosedur ketentuan memperkarakan kejahatan korupsi hanyalah tautologi belaka. Nothing!

Artinya, jika kita semua koruptif, terminologi "korupsi" itu sendiri menjadi tak bermakna lagi. "Korupsi" tak lagi sebuah kejahatan. Malah, kebalikannya, sebuah aktivitas —yang jika diakui dengan baik dalam ranah publik—justru akan menghasilkan puja-puji luar biasa. Kehadiran KPK terancam cuma sebagai ornamen kelembagaan negara belaka.

Amien Rais, para eksponen politik, para pemimpin agama, penyeru keadilan dan moralitas bangsa ini layak dihormati. Namun, oh … ke mana lagi diskursus nilai-nilai moral adiluhung menjadi mungkin? Dante Alighieri benar, di dunia alegoris kematian.

Sebab, sementara di dunia ini, doa, ziarah, zikir-aneka pujian- meditasi-sesaji entah apa lagi namanya sebagai ungkapan ketakwaan agamis kepada Tuhan terasa simbolis belaka. Hati tetap hipokrit. Moralitas tetap tinggal dalam kata. Diseru-serukan sebagai slogan, tetapi nil dalam penghayatan keseharian.

Divina Commedia melukiskan the pilgrim’s moral confusion and ends with the vision of God. Ketika jiwa sampai surga dan memandang wajah Allah, Dante bergumam diam, all’alta fantasia qui mancò possa—"ketika sampai pada momen teragung ini, aku tak mampu mengatakan apa-apa" (Paradiso, XXXIII, 142).

Divina Commedia Indonesiana semoga sampai paradiso dunia, di mana nilai-nilai moral kehidupan dipuja, dibela, dihayati bermakna. Sekali lagi.

Armada Riyanto Pengajar Filsafat Politik; Ketua STFT Widya Sasana, Malang

Divin

No comments:

A r s i p