Tuesday, May 22, 2007

Pengangguran Masih Jadi Beban

hamzirwan

Meskipun laju pertumbuhan lapangan kerja di negara-negara anggota ASEAN sejak tahun 2000 hingga 2006 mencapai 11,8 persen, pertambahan pengangguran masih jadi persoalan. Para pemangku kepentingan harus segera mencari solusi dari peningkatan pasokan tenaga kerja yang lebih cepat dari laju penciptaan lapangan kerja baru akibat pesatnya pertumbuhan penduduk.

Laporan ILO tentang Tren Ketenagakerjaan dan Sosial di ASEAN 2007 yang diluncurkan di Jakarta, Rabu (16/5), menyebutkan, angkatan kerja ASEAN tumbuh rata-rata 2,2 persen per tahun, sehingga sampai 2006 jumlah angkatan kerja baru mencapai 36 juta orang.

Ledakan angkatan kerja baru tertinggi terjadi di Kamboja, yakni 52,8 persen selama kurun waktu 2000-2006, disusul Laos yang tumbuh 24,5 persen, dan Filipina sebanyak 20 persen. Di Thailand dan Singapura, pertumbuhan angkatan kerja kurang dari 9 persen per tahun.

Adapun di Indonesia, jumlah tenaga kerja baru bertambah sedikitnya 2,5 juta orang per tahun dari 105 juta angkatan kerja. Lemahnya investasi baru menyebabkan hanya 1 juta orang yang terserap lapangan kerja setiap tahun, 1,5 juta orang lagi tidak memiliki pekerjaan.

Kondisi ini yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi ASEAN sebesar 11,8 persen selama tujuh tahun terakhir tak mampu menyalip pertumbuhan angkatan kerja baru. Jumlah pengangguran di seluruh negara ASEAN tumbuh 51,3 persen atau naik dari 12,3 juta orang pada tahun 2000 menjadi 18,6 juta orang tahun 2006.

Tidak bisa disangkal, Indonesia yang memiliki penduduk sedikitnya 220 juta jiwa menjadi penyumbang terbesar jumlah pengangguran di ASEAN. Hampir 60 persen pertambahan tingkat pengangguran ASEAN berada di Indonesia. Jumlah kumulatif pengangguran terbuka di Indonesia sampai saat ini mencapai 10,5 juta orang.

Dalam kurun waktu yang sama, tingkat pengangguran di Indonesia juga naik dari 6,1 persen menjadi 10,4 persen, sedangkan di sebagian besar negara ASEAN lain tingkat pengangguran menurun atau stabil pada kisaran 3 persen hingga 4 persen.

Namun, penurunan itu bukan karena ada lapangan kerja baru di sektor formal. Pertumbuhan ekonomi yang baik di ASEAN hanya berdampak pada lapangan pekerjaan di sektor informal. Sedikitnya 156 juta orang dari 263 juta pekerja di seluruh ASEAN tahun 2006 masuk sektor informal, seperti buruh bangunan dan pembantu rumah tangga.

Keadaan ini sebenarnya tidak banyak membantu mengurangi orang miskin. Karena, pekerja informal yang keluar dari garis kemiskinan karena telah bekerja, masih sangat rentan untuk jatuh lagi ke jurang kemiskinan.

Pada tahun 2006, sebanyak 28,5 juta pekerja di ASEAN hidup dari upah 1 dollar AS per hari atau setara Rp 8.900 per hari. Sebanyak 148,7 juta pekerja lainnya, hanya memiliki penghasilan 2 dollar AS atau setara Rp 17.800 per hari. Dari sedikitnya 90 juta pekerja di Indonesia, sekitar 70 persen di antaranya merupakan pekerja sektor informal. Kita hanya sedikit lebih rendah dari Kamboja dan Laos yang jumlah pekerja informalnya mencapai 80 persen atau sedikit di atas Filipina sebesar 66 persen pekerja berupah 2 dollar AS per hari.

Indonesia bu

Menurut Ekonom Senior ILO untuk Asia Pasifik Gyorgy Sziracki, rendahnya kesempatan kerja baru menyebabkan semakin banyak tenaga kerja yang sebenarnya berpendidikan minimal SMA bekerja dengan upah rendah, jaminannya sosialnya marginal untuk jangka waktu yang tak menentu.

"Indonesia memang bukan yang terbaik kemampuan perekonomiannya saat ini, meskipun memiliki pertumbuhan yang sangat positif selama 7-8 tahun terakhir. Harus ada upaya lebih baik untuk menciptakan lapangan kerja baru yang menjamin kesejahteraan pekerja," kata Sziracki, yang berbasis di Bangkok, Thailand.

Kerja kontrak

Ekonom ILO Jakarta Kee Beom Kim mengatakan, sempitnya peluang kerja di tengah pertumbuhan angkatan kerja telah menimbulkan kondisi yang tidak menguntungkan bagi pekerja. Kondisi ini terjadi hampir di semua negara ASEAN yang sedang berkembang, seperti Indonesia, Kamboja, Filipina, Laos, dan Vietnam.

Keterbukaan ekonomi yang mendorong pergeseran lapangan kerja dari bidang-bidang berproduktivitas rendah, seperti pertanian, ke sektor berproduktivitas tinggi dan berorientasi ekspor, seperti industri manufaktur dan tekstil, juga telah meningkatkan kompetisi dan tekanan terhadap pasar kerja.

Kondisi ini secara tidak langsung malah menimbulkan ketidakpastian bagi pekerja karena maraknya sistem kerja kontrak. Menurut Kim, pengusaha dan pekerja seharusnya memiliki hubungan yang lebih baik dalam sistem kerja kontrak. Pengusaha harus memberitahukan seluruh hak dan kewajiban pekerja. Pengusaha juga harus memberikan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja pada pekerja kontrak seperti halnya pekerja tetap.

"Memang sempitnya lapangan kerja telah melemahkan posisi pekerja. Tetapi, pengusaha transparan terhadap buruh mengenai hak dan kewajiban mereka agar produktivitas perusahaan bisa meningkat," kata Kim.

Sistem kerja kontrak, atau lebih dikenal sistem perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), diatur dalam Pasal 50 hingga 66 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam aksi damai 1 Mei lalu, buruh di seluruh Indonesia menuntut agar PKWT dihapus.

Data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan, sampai akhir April 2006, ada 22.275 perusahaan dengan 2.114.774 tenaga kerja yang memberikan pekerjaan kepada perusahaan lain. Pada sisi pemasok, terdapat 1.540 perusahaan pemborongan pekerjaan yang mempekerjakan 78.918 tenaga kerja dan 1.082 perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh yang mempekerjakan 114.566 tenaga kerja.

Sekretaris Jenderal Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) Harry Heriawan Saleh mengatakan, tantangan ke depan adalah memperbaiki iklim investasi untuk meningkatkan realisasi penanaman modal di Indonesia.

"Jika tidak ada antisipasi apapun untuk menghadapi tekanan pengangguran, tentu jumlah pengangguran semakin bertambah. Pemerintah tetap menargetkan agar tingkat pengangguran bisa ditekan menjadi 5,9 persen pada tahun 2009," kata Harry Heriawan.

No comments:

A r s i p