Monday, May 21, 2007

Kamp Konsentrasi, Ideologi, dan Kita

M Fadjroel Rachman

(Gunter Grass, The Tin Drum, Vintage, 2005)"Saya adalah anggota Waffen-SS," kata Gunter Grass kepada koran Frankfurter Allgemeine Zeitung menjelang peluncuran biografi masa mudanya dari 1939-1959, Peeling the Onion (2007).

Suara itu melengking tajam seperti suara Oskar Matzerath dalam The Tin Drum (Genderang Kaleng). Menolak tumbuh pada usia tiga tahun sebagai protes terhadap dunia hipokrit orang dewasa, memecah segala kaca, dari bohlam lampu, kacamata, hingga kaca etalase toko parfum dan permata.

Gunter Grass memecah kaca kesadaran kita! Seperti Joseph Goebbels, Menteri Propaganda dan Pencerahan Nasional Nazi, merayakan permusuhan Jerman dengan Yahudi pada 9-10 November 1938 melalui Crystal Night, di mana harta milik Yahudi, rumah, toko, dan sinagoga dihancurkan dan dibakar oleh SA (Sturm Abteilung atau Storm Section), organisasi paramiliter beranggotakan 4,5 juta orang sebelum dilebur Hitler menjadi Schutzstaffel atau SS. Insiden masyhur Night of Broken Glass atau Reichskristallnahcht ini adalah awal dari proyek pemusnahan Yahudi di Eropa.

Rahasia pahit ini disimpan Grass yang lahir di Danzig-Langfuhr, Jerman, pada tahun 1927, pengarang belasan naskah teater dan novel masyhur seperti The Tin Drum dari Trilogi Danzig Cat and Mouse dan Dog Years, serta pemenang Nobel Kesusastraan tahun 1999, dalam kesunyian enam puluh tahun lebih pasca-Perang Dunia II. Selama ini Grass bagaikan legenda hidup, magnet moral dunia, dan saksi hidup bagi kebarbaran manusia di tengah gegap gempita proyek modernisme yang berakar dari Renaissance dan Enlightenment.

Karya Grass adalah bagian dari gerakan kesusastraan Vergangenheitsbewältigung atau "coming to terms with the past", merayakan subversi para penulis, dilengkapi seruan lantang: kesusastraan melawan kekerasan! Kata Alan Frank Keele, "Gunter Grass uses the German Nazi past as a kind of ethical absolute zero against which to measure all other tendencies, past, present and future." (Understanding Gunter Grass, 1988)

Waffen-SS adalah unit bersenjata dari barisan pengawal Hitler yang ditakuti, SS. Pada usia 17 tahun, Grass pemuda pilihan yang cocok bagi Waffen-SS, berdarah murni ras Arya! SS adalah pasukan paramiliter pimpinan Heinrich Himmler. Ketika Adolf Hitler mencanangkan penaklukan Eropa, pada Desember 1940 dibentuklah Waffen-SS, unit tempur yang terkenal keterampilannya di medan perang dan keganasannya terhadap tawanan perang, penduduk sipil, maupun pemusnahan Yahudi di kamp konsentrasi. Waffen-SS dibentuk dari tiga bagian SS, Leibstandarte (pasukan pengawal pribadi Hitler), SSVT (SS-Verfuegungstruppe, atau pasukan khusus SS), dan SSVT (SS-Totenkopfverbaende, unit penjaga kamp konsentrasi SS).

Grass, Nazi, dan kita

Di tengah gempita Nazi dan Hitler menguasai politik Jerman, pada usia 15 tahun Grass menjadi anggota Hitler Youth, lalu Labour Front serta melamar dan gagal menjadi pasukan kapal selam U-Boat, diterima di Waffen-SS dalam 10th SS Panzer Division Frundsberg. Apakah daya tarik gegap gempita itu bagi pemuda Jerman seusia Grass? Struktur ekonomi rezim Hitler adalah kapitalisme kompetitif yang merangkak menuju kapitalisme monopoli, kelas dominannya para kapitalis-uang.

Muncul di tengah krisis kapitalisme (great deppresion) 1930-an yang berebut pasar dunia. Setelah Perjanjian Versailes pada 1921, di Jerman berkembang pesat struktur politik baru bercirikan nasionalisme ekstrem, rasialis, serta antiliberal, komunis dan sosialis. Setelah Hitler mengambil alih kekuasaan pada 1933, negara Jerman berkembang menjadi alat represi dan mobilisasi. Mesin represinya berupa intelijen, militer, paramiliter (SA kemudian SS), dengan menggunakan cara intimidasi, teror, pelarangan, penculikan, penjara, pembunuhan, dan lainnya.

Sasarannya adalah buruh, golongan kiri, agamawan, intelektual, wartawan, bahkan homoseksual. Pendukung Nazi dan paramiliternya adalah kelas menengah yang tersingkir dari proses kapitalisme kompetitif. Tentu saja fungsionalisasi negara represif seperti itu membutuhkan rasionalisasi. Hitler dan begundalnya merumuskan rasionalisasi berbasis pada nasionalisme, rasialisme, keamanan nasional, ancaman laten liberalisme, komunisme, dan sosialisme. Semuanya dibungkus dalam ideologi Nazisme atau Fasisme.

Sekilas bisa dibandingkan dengan rezim Soeharto-Orde Baru yang mengembangkan ideologi serupa, fasisme-militeristik, dalam sistem kapitalisme pinggiran atau kapitalisme berstatus semi-feodal dan semikolonial di mana kapitalis birokrat dan militer menjadi kelas penggeraknya. Fungsi negara, sasaran, dan cara represi serupa rezim Nazi, ideologinya ’demokrasi fasis-militeristik’, dengan eufeisme ’demokrasi Pancasila’.

Kamp konsentrasi

Perjuangan ras (struggle of races) merupakan hukum alam yang diyakini Adolf Hitler, sedangkan perjuangan kelas (struggle of classes) merupakan hukum sejarah yang diyakini Karl Marx. Keduanya mengklaim bahwa hukum alam dan hukum sejarah tersebut bersifat ilmiah (scientific). Bila partai Nazi menjadi eksekutor dari hukum alam, maka partai komunis di Jerman Timur menjadi eksekutor hukum sejarah. Di dalam keyakinan ideologis yang demikian absolut ini, dengan jelas ditegaskan siapa jadi "musuh obyektif".

Bagi Naziisme, ras apa pun di luar ras Arya—termasuk Yahudi—adalah ras inferior. Bagi Komunisme "musuh" itu adalah kelas kapitalis dan lainnya, di luar kelas proletar. Pemusnahan atau pelemahan musuh obyektif adalah kewajiban agar hukum alam maupun hukum sejarah berjalan sesuai tujuannya, ke arah berkuasanya ras superior, atau masyarakat tanpa kelas. Untuk mencapai satu tujuan linier dan absolut ini, dominasi totaliter memakai indoktrinasi ideologis dan teror. Teror adalah esensi dominasi totaliter.

Kamp konsentrasi Sachsenhausen adalah salah satunya. Berada 35 kilometer dari Berlin, didirikan pada Juli 1936, ini adalah kamp pertama setelah Reichfuhrer-SS Heinrich Himmler diangkat sebagai Kepala Polisi Jerman. Sekitar 200.000 orang pernah ditahan di sini dari 1936-1945 dan 35.000-42.000 meninggal karena kelaparan, penyakit, kerja paksa, ditembak mati, digas, dan eksperimen medis. Sachsenhausen terkenal dengan Death March, pada 18 April 1945 menjelang akhir perang, di mana penghuni kamp dipaksa berjalan ke arah Laut Baltik untuk ditenggelamkan. Kamp konsentrasi dimulai sejak awal Hitler berkuasa, Januari 1933, dan mencapai 50 buah pada akhir 1933.

Tiga kritik ideologi

Gunter Grass muda dikepung ideologi totaliter, apakah kita terbebas dari kemungkinan ini? Hannah Arendt menyimpulkan, setiap ideologi memiliki unsur totaliter dan akan berkembang penuh bila ada gerakan totaliter yang mendukungnya. Ideologi yang bersifat pseudo-science dan pseudo-philosophy, berupaya melampaui batas sains dan filsafat.

Bila Arendt benar, totaliterisme tidak hanya berhenti pada ideologi rasisme ala Hitler atau komunisme ala Marx (The Origins of Totalitarianism, hal 470). Bahkan "demokrasi" yang dipaksakan AS dan sekutunya di Irak dan Afganistan pun sekarang sudah berwajah totaliter dan mengorbankan ribuan nyawa tak berdosa.

Apa yang harus dilakukan? Pertama, kita harus menolak sekerasnya setiap gagasan yang membenarkan pembunuhan, penyiksaan, dan pengorbanan manusia atas nama apa pun juga, baik ras, sejarah, pembangunan, demokrasi, agama, bahkan Tuhan sekalipun.

Kedua, mempertahankan kritisisme dan kebenaran dalam batasan ilmu pengetahuan, bersifat sementara (tentatif) dan dapat salah (fallible). Peranan revolusioner pemikiran/pengetahuan jelas melalui perdebatan kritis, bukan dengan kekerasan dan perang (KR Popper, Open Society and Its Enemies, Volume II, hal 396). Perdebatan kritis mensyaratkan keberagaman, dan kebebasan berpikir. Pedang dan perang menghancurkan ketiganya: perdebatan kritis, keberagaman, dan kebebasan berpikir.

Ketiga, mempertahankan kebebasan karena, "…liberty is the possibility of doubting, the possibility of making a mistake, the possibility of searching and experimenting, the possibility of saying "no" to any authority-literary, artistic, philosophic, religious, social, and even political," ujar Ignazio Silone dalam The God That Failed (Bantam Books, 1959).

Keempat, selalu mengingat korban semua ideologi sekuler dan nonsekuler, serta mempelajari sejarah kekerasannya sebagai monumen kejahatan terhadap umat manusia.

M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)/ Kompas

No comments:

A r s i p