Wednesday, May 23, 2007

Pengamalan Ilmu Pengetahuan

Daoed Joesoef

Ada artikel di harian Kompas (8/12/2006) berjudul "Ibadah Ilmu", buah pikiran Sulistyowati Irianto, yang begitu mengingatkan hingga tidak pantas jika tidak ditanggapi. Dia menyayangkan mengapa ilmuwan "terlalu diam" dengan dalih "obyektivitas" dan "netralitas" dan lalu mengajaknya untuk melibatkan diri dalam masalah kemanusiaan untuk mampu membuat ilmu menjadi suatu ibadah dalam rangka perumusan jawaban yang diperlukan.

Harus diakui bahwa pengetahuan dikembangkan praktis di Eropa sejak zaman Pencerahan begitu rupa hingga menjadi "pengetahuan ilmiah" atau "ilmu pengetahuan" (IP) tentang alam. Metode pengembangannya berupa laboratory experiment, yaitu memanipulasi parameter yang efeknya dipertanyakan, melakukan parallel control experiments terhadap parameter yang ditetapkan konstan, mempertahankan lain-lain parameter terus- menerus konstan, mengopi baik manipulasi eksperimental maupun control experiment dan mendapatkan data kuantitatif. Metode ini tidak hanya berhasil dalam penanganan fisika, tetapi juga untuk urusan kimia dan biologi molekular, hingga disimpulkan bahwa eksperimentasi adalah hakikat metode ilmiah.

Jadi, sejak awal IP dikembangkan sebagai pengorganisasian pengetahuan begitu rupa hingga ia dapat mengungkapkan lebih banyak lagi potensial yang tersembunyi dalam alam guna selanjutnya diamalkan oleh manusia. Pengamalan IP ini membuahkan fakta mulai dari teori kinetic gaz dan telepon, melalui jembatan gantung dan mesin penggerak, hingga obat-obatan dan medicated toothpaste. Maka, ibadah ilmu dapat dikatakan membantu manusia mewujudkan "emansipasi fisik", yaitu pembebasan humanitas dari kekuatan alam, dari kekuasaan alami.

Dengan mengembangkan ilmu alam, para ilmuwannya sejak awal tidak bermaksud mengubah alam, cukup dengan mengetahui rahasianya saja. Mereka sadar tidak mungkin mengintervensi pembentukan galaksi, mengatur ulang peredaran planet dan bintang, memusnahkan secara eksperimental fauna dan flora tertentu lalu menggerakkan kembali kehidupan evolusionernya, memulai dan menyetop badai serta zaman es. Namun, dengan pengetahuan ilmiahnya, mereka bertekad menolak atau mengurangi fatalitas yang ditimbulkan oleh malapetaka alam yang tak terelakkan.

Membantu nasib manusia

Pengetahuan sosial dan humanities yang datang belakangan mengadopsi begitu saja agar dikualifikasi sebagai "ilmiah", metode kerja ilmu alam, yaitu the standard empiricism. Ilmu-ilmu non-alam tersebut dikembangkan juga dengan maksud membantu nasib manusia menjadi lebih baik. Sebab, semakin disadari bahwa tanpa IP, the modern world is indeed inconceivable. Namun, untuk memperbaiki, menyempurnakan, kehidupan sosial, dan masyarakat human; kehidupan dan masyarakat ini harus diintervensi. Berarti, ilmu sosial tidak cukup hanya berusaha "memahami" kehidupan sosial dan masyarakat human, tetapi demi terwujudnya "emansipasi sosial", ia harus mencampuri, ikut menata, kehidupan dan masyarakat tersebut.

Dengan perkataan lain, ilmu sosial harus "mengambil keputusan", beda dengan ilmu alam yang tidak harus berbuat begitu karena ia memang tidak ingin mencampuri struktur alami dan jalannya alam, yang adalah kreasi Tuhan, jadi sudah cukup sempurna.

Jadi, walaupun sama-sama manusia berilmu, kiranya perlu disadari perbedaan fundamental antara sikap "ilmuwan alam" dan "ilmuwan sosial". Ilmuwan alam (scientist) maunya menjadi "penganut ilmu" dan sebagai penganut yang carrect—sama dengan penganut agama atau kepercayaan apa pun—dia tunduk pada ketentuan ilmu yang dihayatinya. Ilmu alam tidak mengambil, apalagi mendikte, keputusan. Ia hanya memaparkan keadaan alami apa adanya sebagai suatu kebenaran yang terjelaskan dan menjelaskan (explanatory truth). Jadi, kalau ilmuwan alam sebagai scientist bersikap "diam" (netral) terhadap (jalannya) alam adalah wajar. Namun, karena dia "memahaminya" adalah wajar pula kalau dia menyiapkan segala sesuatu untuk mengelakkan fatalitas yang ditimbulkan oleh alam, bukan untuk mengatur atau menata ulang alam.

Ilmuwan sosial, orang berilmu yang kadang kala disebut scholar, maunya menjadi "pemilik ilmu" dan sebagai pemilik bersikap sebagai "penguasa ilmu", mau menggunakan ilmunya untuk mengintervensi kondisi kehidupan sosial dan masyarakat human. Sedangkan ilmunya sebenarnya tidak mengambil keputusan ke arah itu karena ia terbentuk menurut standard empericism dari ilmu alam yang bertujuan untuk sekadar "memahami".

Jadi, "memahami" adalah satu hal, sedangkan menerapkannya begitu saja sebagai suatu kekuatan intervensi ilmiah adalah hal lain lagi. Artinya, kalau seorang ilmuwan sosial merasa terpanggil untuk memperbaiki/menyempurnakan kehidupan sosial dan masyarakat human selaku scientist—penganut ilmu dan tidak sekadar sebagai seorang "intelektual"—dia harus berbuat supaya "ilmu sosialnya" itu berpembawaan "mengambil keputusan", bersendikan "kebenaran yang bernilai" (valuable truth), berkat metode pembentukannya sendiri yang khas.

Dan metode yang khas baginya itu adalah aim-oriented empiricism, bukan standard empericsm dari ilmu alam. Dan hal ini sah-sah saja mengingat science yang berarti knowledge—dari kata Latin scire (mengetahui) dan scientia (pengetahuan)—diperoleh dengan metode apa saja selama dianggap paling sesuai dengan bidang khusus (sosial) tadi. Mengingat aim-oriented empiricism ini tidak memungkinkan eksperimen laboratorium, empirismenya diperoleh dengan cara-cara lain, berupa "observasi", "perbandingan" (comparison), dan apa yang disebut natural experiments.

Galaksi

Jika astronom yang mempelajari pembentukan galaksi tidak mungkin memanipulasi sistemnya dalam eksperimen laboratorium yang terkontrol, demikian pula halnya dengan sejarawan human atau yuris atau antropolog. Namun, mereka dapat memanfaatkan natural experiments, yaitu membanding-bandingkan sistem yang berbeda berkat ada-tidaknya, atau kuat-lemahnya efek, dari some putative causative factors.

Tidak bebas nilai

Memang jauh lebih sulit menyimpulkan asas-asas umum (hukum) dari pembelajaran gejala sosial (sejarah, hukum, dan lain-lain) daripada pembelajaran gejala alam (orbit planeter dan lain-lain). Namun, hal ini tidak terlalu fatal karena sejujurnya kesulitan yang sama dialami juga oleh subyek-subyek keilmuan yang sudah terjamin tempatnya di lingkungan ilmu-ilmu kealaman, seperti astronomi, klimatologi, ekologi, biologi evolusioner, geologi, dan palaentologi.

Walaupun begitu, tidak bisa dikatakan bahwa IP, baik alam lebih-lebih sosial, adalah "bebas nilai". Yang benar adalah bahwa metode ilmiah adalah "bebas emosi", dalam artian, in its perfect application it proceeds rigorously regardless of values to which there may be deep emotional reactions pro or con. Tetapi, hal ini tidak membuat "ilmu" yang dihasilkannya "bebas nilai" mengingat IP itu sendiri merupakan suatu nilai. Jika tidak, untuk apa ia dikembangkan dengan menghabiskan begitu banyak biaya in terms of energi, waktu, dan uang.

IP memang perlu diamalkan. Ilmuwan sosial seharusnya merasa terpanggil untuk turun tangan, mencampuri kondisi kehidupan sosial dan masyarakat human sebelum terlambat. Jika tidak, kondisi ini terus ditentukan oleh kebijakan politik (policy), semakin diacak-acak seenaknya oleh politikus demi kepentingan primordialnya sendiri. Sedangkan "politik"—baik sebagai "kiat" maupun selaku "profesi"—cenderung menjauhi diktum "politik" sebagai "ilmu pengetahuan". Namun, dalam mengintervensi ilmuwan sosial seharusnya tetap bertindak selaku scientist mengingat ilmu yang dihayatinya itulah yang "memutuskan" begitu.

Berarti, pengembangan ilmu sosialnya perlu dibenahi menurut ketentuan aim-oriented empiricsm sebab far from letting politics corrupt science, science needs to contribute to the decorruption of politics!

Daoed JOESOEF Docteur d’Etat es Sciences Economiques Universite Pluridisciplanaires Pantheon-Sorbonne de Paris I

No comments:

A r s i p