Saturday, May 26, 2007

Tanda Seru!
Jakob Sumardjo


Tanda seru adalah tanda baca yang berarti peneguhan, kepastian, perintah, keyakinan, keselesaian. Dan, semua dalam tanda seru itu memberikan kedamaian akibat keyakinan yang pasti itu.

Sebaliknya, tanda tanya memberikan ketidakpastian, belum jelas, tidak tahu, meragukan. Dan, semua dalam tanda tanya memberikan sesuatu yang menggelisahkan akibat banyaknya kemungkinan jawaban. Tanda seru memberikan keamanan, tanda tanya memberikan kerisauan.

Dunia tanda seru adalah dunia perintah, dunia tuntunan, dunia kepastian akan semua tujuan. Dunia tanda seru adalah dunia yang telah selesai. Dunia yang jelas dan pasti akan titik komanya. Dunia steril yang masif. Dalam dunia ini, tanda tanya diharamkan karena semuanya sudah serba pasti dan serba benar.

Sebagai bangsa modern, kita pernah mengalami hidup dalam dunia tanda seru. Pada zaman Orde Lama, kita hidup dalam tanda seru Manipol-Usdek yang diserukan Bung Karno. Pada zaman Orde Baru kita hidup dalam tanda seru Demokrasi Pancasila, yang dijabarkan dalam P-4.

Bagi sebagian orang, tanda seru semacam itu menyakitkan dan membuat orang sesak napas. Mereka ini adalah orang- orang yang biasa hidup dalam dunia tanda tanya. Namun, bagi sebagian besar bangsa, ini justru memberi perasaan kepastian dan rasa aman. Mereka ini adalah orang-orang yang hidup dalam dunia tanda seru sejak nenek moyang menghuni wilayah Indonesia.

Jika Anda bertanya kepada orang-orang kecil yang pendidikannya kurang, di jalan perkampungan kota maupun desa, rata-rata mereka merindukan datangnya kembali zaman tanda seru di bawah para pemimpin besar bangsa ini. Namun, bagi mereka yang hidup dalam dunia tanda tanya akan mengutuk para pemimpin besar bangsa ini sebagai para diktator modern.

Hingga kini, masih banyak penduduk di pedesaan yang memasang foto Bung Karno sebagai simbol kerinduan akan datangnya Bung Karno baru. Sementara di kalangan kaum terpelajar kota-kota besar, gambar Bung Karno dan Pak Harto hanya mengingatkan agar bangsa ini tidak jatuh lagi kepada para pemimpin semacam itu.

Tanda seru dan tanda tanya adalah pasangan oposisi, bebas atau tidak bebas. Kepastian atau kemungkinan. Ketenangan atau kegelisahan. Tunggal atau plural. Aman atau terancam. Diam atau dinamik. Tanda seru adalah tuntunan, tanda tanya adalah pertanyaan.

Sebagian besar bangsa ini masih hidup dalam budaya tanda seru. Hanya sebagian kecil kaum elite intelektual Indonesia yang hidup dalam budaya tanda tanya. Kalau mantan Menteri Penerangan dulu, Harmoko, menyatakan, media massa sebagai tontonan dan tuntunan, maka kaum intelektual menyatakan tontonan sebagai pertanyaan. Harmoko berbicara dalam bahasa dunia tanda seru, sedangkan kaum elite intelektual yang jumlahnya mungkin cuma 3-4 persen berbicara dalam bahasa dunia tanda tanya.

Budaya "kebenaran tunggal"

Bangsa ini belum mampu hidup dalam budaya tanda tanya. Kalau semua lulusan SLTA kini sudah mampu hidup dalam budaya tanda tanya, jumlah penganut tanda seru tetap mayoritas. Berkembangnya gerakan-gerakan "kebenaran tunggal" di Indonesia akhir-akhir ini adalah cermin masih kuatnya budaya tanda seru. Hidup ini perlu tuntunan, perlu pemimpin tunggal yang mampu mengajarkan kebenaran mutlak. Mereka ibarat domba yang membutuhkan gembala. Dan, gembala inilah yang menentukan mana yang benar dan salah. Di luar itu tidak ada kebenaran.

Kaum tanda tanya diperlukan toleransi intelektualnya untuk massa rakyat tanda seru. Hanya yang tinggi dapat merendah dan bukan yang rendah harus meninggikan diri. Bersikukuh dalam bahasa tanda tanya hanya akan melahirkan "orang- orang gila di atas atap", atau seperti lagu The Beatles "suara di atas bukit yang tak dimengerti".

Kaum intelektual hanyalah "orang gila" yang bahasanya tak dimengerti oleh mereka yang berkerumun di bawah. Cara berpikir tanda tanya tidak bisa dipahami oleh mereka yang berpikir dalam tanda seru. Hidup ini butuh kepastian bukan kekacauan pembicaraan. Hidup ini butuh teladan dan tuntunan, bukan pertanyaan dengan berbagai jawaban. Hidup ini jelas arahnya, bukan menyodorkan berbagai kemungkinan. Kaum tanda seru dibikin bingung oleh kaum tanda tanya.

Seorang profesor tidak bisa mengajar taman kanak-kanak dengan bahasa tanda tanya. Guru besar itu harus merendahkan dirinya menjadi kanak-kanak yang hanya mengerti bahasa keharusan. Esensi kebenarannya harus diterjemahkan dalam bahasa tanda seru. Bung Karno dulu menjelaskan arti nasionalisme kepada massa rakyatnya dengan menggambarkan Gatotkaca. Yang disebut nasionalisme itu Gatotkaca, yang berani mati membela negara dan saudara-saudaranya di Amarta.

Bahasa tanda seru adalah realitas Indonesia. Sebuah realitas itu tak mungkin dinafikan atau dianggap tidak ada. Karena ada, perlu diperhitungkan dalam bahasa tanda tanya. Sia-sia saja Anda berbicara di atas atap rumah tentang Giddens, Gramsci, Mashab Frankfurt terhadap orang-orang waras tanda tanya di halaman bawah. Mereka hanya butuh tuntunan, kepastian, bukan perdebatan dan pertengkaran. Perdebatan itu hanya wacana yang ternyata tak mampu mengubah apa-apa.

Ujian nasional

Pendidikan tanda tanya ternyata gagal dilakukan di Indonesia. Ujian nasional adalah bahasa tanda seru. Ujian itu tidak membuka kemungkinan jawaban. Budaya tanda tanya itu menolak kepastian mutlak. Semua serba relatif. Orang diberi kebebasan untuk menentukan sendiri mana yang benar bagi dirinya. Bangsa Indonesia kian jauh dari cara berpikir tanda tanya. Justru cara berpikir tanda seru kian merajalela, juga di kalangan mahasiswa.

Tanda seru adalah realitas cara berpikir Indonesia kini. Kepastian, kemutlakan, kebenaran tunggal, tuntunan, dan teladan itulah yang diinginkan bangsa ini agar hidup menjadi tenang dan aman. Tiap kebebasan selalu mengandung risiko akibat relativitas kebenaran dan tersedianya banyak kemungkinan. Ketidakbebasan menjadi antipoda yang dicari, yakni pemimpin tunggal, diktator yang baik hati.

Jakob Sumardjo Esais

No comments:

A r s i p