Wednesday, May 23, 2007

Telikung Konstitusi

Doni Koesoema, A

Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2007 melanggar Konstitusi sebab anggaran untuk pendidikan nasional tidak memenuhi tuntutan minimal 20 persen, melainkan hanya 11,8 persen, sebagaimana diamanatkan dalam Perubahan Keempat UUD 1945 Pasal 31 Ayat 4. Telikung Konstitusi terjadi lagi!

Selama hampir lima tahun sejak ditetapkan, pemerintah telah konsisten dalam melanggar Konstitusi ini. Sudah tiga kali MK memutuskan hal yang sama. Apa jadinya negeri ini jika pemerintahannya senantiasa melanggar Konstitusi dan dibiarkan tetap memimpin negeri ini?

Biaya pendidikan memang sangat mahal. Karena itu, para pembaharu UUD 1945 ketika menetapkan Perubahan Keempat menyertakan jumlah persentase alokasi dana APBN bagi pendidikan agar tujuan pendidikan nasional tercapai. Namun, pasal-pasal dalam Perubahan UUD ini dianggap angin lalu. Dan para pelanggar UUD ini tetap dengan tenang melenggang memimpin negeri ini!

Politik tanpa Konstitusi

Tampaknya para politisi dan pembuat APBN tidak lagi melihat kepentingan pendidikan sebagai salah tujuan pembentukan negara. Yang terjadi adalah politisi free- lance yang menggerogoti Konstitusi. Mereka bertindak tidak berdasarkan kesepakatan dalam Konstitusi, melainkan demi kepentingan kelompok politiknya sendiri, termasuk dalam memberi prioritas alokasi dana APBN. Kepentingan rakyat yang termanifestasi dalam Konstitusi dihapus, digantikan sekumpulan prosedur politik yang abai Konstitusi yang menyingkirkan kepentingan rakyat.

Rekayasa sosial dalam praksis politik yang digagas oleh Oakeshoot (1901-1992) terjadi ketika politik berubah dari apa yang seharusnya menjadi cara kehidupan bersama berdasarkan pemahaman yang tak terucapkan menjadi sekadar sekumpulan teknik, konsep manajerial, prosedur politik, pembuatan UU, dan proses pengadilan tiada henti. Negara yang dulunya terbentuk demi kepentingan rakyat lantas berubah menjadi negara perusahaan, di mana dasar cara bertindaknya adalah rekayasa demi kepentingan penguasa daripada kesetiaan pada Konstitusi.

Ketika politik menghapus kesepakatan tak terucap yang dipahami oleh rakyat sejak pendiri bangsa ini mendeklarasikan kemerdekaannya, praksis politik lantas menjadi anomali yang mengorbankan idealisme serta cita-cita kebangsaan.

Politik tanpa Konstitusi akan membahayakan kepentingan rakyat karena Konstitusi menjadi dasar kebangsaan yang melindungi hak-hak rakyat. Hanya melalui pelaksanaan Konstitusilah kebijakan politik pemerintah dinilai. Jika tidak, Konstitusi menjadi alat legitimasi bagi kepentingan politik. Mereka memperalat Konstitusi demi mengesahkan perilaku politik menyimpang yang mereka lakukan.

Bahaya lain yang sekarang mengancam kehidupan bernegara dan Konstitusi adalah munculnya gagasan mundur untuk mengubah kembali pasal-pasal Perubahan UUD, terutama tentang pendidikan. Pendapat Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Satya Arinanto, bahwa telah terjadi kesalahan teknis dalam penyusunan UUD ketika mencantumkan angka minimal 20 persen untuk pendidikan, perlu dicermati dengan kacamata kritis. Apalagi salah satu usulan pemecahan yang disampaikannya adalah tentang perlunya merevisi kembali Perubahan Keempat UUD, khususnya tentang alokasi dana pendidikan (Kompas, 5/5).

Mencantumkan besaran persentase minimal 20 persen anggaran pendidikan dalam Konstitusi adalah sebuah keputusan yang sah dan bisa menjadi muatan dalam UUD.

Karena itu, pendapat Satya Arinanto yang menyatakan bahwa besaran 20 persen bukan muatan UUD tidak memiliki dasar yang kuat. Faktanya adalah bahwa besaran itu telah tertulis dan disepakati sebagai Perubahan Keempat UUD kita.

Menolak revisi

Usulan kembali merevisi pasal-pasal ini semakin menunjukkan bahwa para politisi tidak memiliki komitmen dalam mengelola negara agar tujuan negara tercapai. Karena itu, setiap usulan untuk merevisi kembali pasal-pasal ini perlu ditolak dengan tegas. Mereka yang mau merevisi pasal-pasal ini tidak layak lagi menjadi wakil rakyat! Justru dengan dicantumkannya besaran anggaran pendidikan dalam UUD, negara menunjukkan perhatian besar dan sangat mengutamakan pentingnya dunia pendidikan.

Karena itu, pemecahannya bukanlah dengan merevisi kembali pasal-pasal ini agar realistis dengan kebutuhan nyata, melainkan "merevisi" kepala dan nurani politisi dan pemerintah agar segala keputusan politiknya berdasarkan pada Konstitusi. Setiap keputusan politik yang melanggar Konstitusi akan mengacaukan kehidupan bersama, membuat kehidupan sosial dan politik tidak stabil. Pemerintahan dan politisi yang gemar melanggar Konstitusi tidak layak lagi mendapatkan kepercayaan dari rakyat.

Yang kita butuhkan adalah sebuah pemerintahan dan politisi yang setia pada Konstitusi. Kesetiaan ini terwujud dalam kebijakan politiknya. Jika Konstitusi saja dengan mudah dapat ditelikung oleh para politisi, negara ini akan menjadi negara preman yang mengutamakan kekuasaan. Akibatnya adalah pengebirian hak-hak konstitusional rakyat dan penelikungan tujuan negara demi kepentingan pribadi dan golongan.

Setiap pemerintahan yang menelikung Konstitusi tidak layak mendapatkan kepercayaan dari rakyat. Karena itu, kredibilitas sebuah pemerintahan dalam sebuah masyarakat yang demokratis hanya bisa dilihat sejauh mana mereka melaksanakan ketetapan dalam Konstitusi melalui keputusan dan kebijakan politiknya.

Ada harapan masa depan

Pendidikan memang mahal. Besaran 20 persen bukanlah angka-angka yang bisa dinegosiasi sesuai selera para politisi. Di balik angka 20 persen ini ada jutaan anak Indonesia yang tidak dapat membaca, mereka yang tersingkir dan menderita karena defisit dalam pendidikan yang menghancurkan kemanusiaan mereka. Kebodohan dan pengangguran akan menjadi penyakit yang menghancurkan kemanusiaan dan merendahkan martabat manusia Indonesia.

Namun, di balik angka 20 persen ini juga ada harapan masa depan bagi kemajuan peradaban dan kemanusiaan di negeri ini. Angka 20 persen bukanlah angka statistik, atau sekadar pamer-pamer angka demi indahnya pasal-pasal dalam Konstitusi. Di balik angka ini, masa depan, harapan, dan tujuan negara dipertaruhkan. Kemartabatan bangsa Indonesia dipertaruhkan.

Telikung Konstitusi seperti ini kini terjadi lagi. Mahkamah Konstitusi yang telah tiga kali memutuskan pelanggaran ini seolah tidak berdaya. Dan pemerintah serta para politisi melenggang dengan santai sembari menginjak-injak isi Konstitusi.

Kita jadi bertanya, jangan-jangan negara kita telah menjadi negara para preman, di mana kekuasaanlah satu-satunya pedoman bagi penentuan kebijakan politik. Jika Konstitusi dianggap sepi dan keputusan Mahkamah Konstitusi dianggap angin lalu, rakyat berhak mencabut kembali kepercayaannya kepada pemerintah dan politisi yang abai kepada Konstitusi.

Doni Koesoema, A Mahasiswa Jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma

No comments:

A r s i p