Monday, May 21, 2007

Wacana sistem pemilu proporsional terbuka murni
Sebelum RUU di bidang politik diajukan oleh pemerintah dan dibahas di DPR, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah dua kali melontarkan gagasan segar dengan mengusulkan

penghapusan sistem nomor urut calon anggota legislatif (caleg) dalam pemilu 2009 yang akan datang.

Gagasan Presiden SBY ini menunjukkan sikap serius Presiden terhadap soal yang sangat memengaruhi wajah parlemen Indonesia ke depan.

Tentu saja usulan Presiden SBY harus memperoleh perhatian serius. Demikian pula ide penyelenggaraan pemilu legislatif 2009 agar menggunakan sistem proporsional terbuka murni, sebaiknya dijadikan wacana yang serius di kalangan partai. Ide ini, seperti digagas Presiden, memberikan arah perubahan sistem politik yang lebih bisa dipertanggungjawabkan.

Kini, pembahasan RUU di bidang politik mulai bergulir di Senayan. Namun wacana tersebut ternyata serentak ditanggapi dingin, bahkan dengan nada tegas sejumlah partai besar dengan tegas menolaknya dengan beragam alasan.

Cepat atau lambat proses demokratisasi di tanah air akan mengarah pada terwujudnya proses sistem proporsional terbuka murni. Apalagi langkah kearah itu sudah dimulai dengan pilkada dan pilpres secara langsung termasuk pemilihan DPD. Karena itu, untuk menghargai sistem demokrasi yang sudah berjalan agar lembaga politik sama-sama memiliki legitimasi yang kuat, maka DPR juga harus mengadopsi sistem proporsional terbuka murni.

Dalam sistem ini, hanya calon legislatif yang meraih dukungan rakyat penuh yang bisa duduk di legislatif. Selain itu, sistem baru yang sedang digagas ini bisa disebut sebagai bentuk respons atas kekecewaan banyak kalangan, yang dalam Pemilu 2004 mendapat suara terbanyak ternyata tidak bisa duduk di legislatif.

Penyebabnya, karena terbentur sistem yang dipakai proporsional terbuka campuran, di mana hanya mereka yang menduduki nomor urut teratas yang bisa duduk di legislatif.

Ada banyak manfaat yang bisa diambil dari gagasan menerapkan sistem pemilu legislatif dengan menggunakan model proporsional terbuka murni. Pertama, mendekatkan wakil rakyat dengan konstituen. Dengan model baru ini, akan mendapatkan wakil rakyat yang sesuai pilihan hati nurani rakyat.

Kita melihat komunikasi antara anggota legislatif dan rakyat di tingkat bawah masih sering terjadi kesenjangan karena mereka tidak memiliki kedekatan hubungan personal.

Politik uang

Kesenjangan ini menimbulkan dampak buruk, karena efeknya menimbulkan politik uang. Akhirnya, siapa yang banyak uang, mereka bisa 'membeli' suara konstituen. Sementara yang tidak memiliki banyak uang, tidak bisa berbuat banyak. Hal ini jelas membuat sistem politik kita tidak sehat.

Kedua, kader akar rumput atau tokoh populer akan memiliki peluang terpilih. Kader akar rumput terbentuk karena dia banyak turun dan dikenal konstituennya. Karena dia banyak turun, dia akan lebih optimal menjalankan fungsi agregasi kepentingan masyarakat dan representasi politik masyarakat.

Kebalikan dari kader akar rumput adalah kader 'jenggot'. Seperti namanya, kader jenggot adalah kader yang mengakar ke atas. Kader semacam ini mengandalkan eksistensinya dari kedekatan dengan jajaran pimpinan partai semata.

Ketiga, model baru ini bisa menghindarkan dari praktik KKN di internal partai, di mana tradisi yang kita lihat, hanya orang yang ada di lingkaran kekuasaan partai, atau yang memiliki hubungan dekat dengan elite partai yang bisa mendapatkan nomor urut teratas dalam pencalonan legislatif. Keempat, menghindari terjadinya oligarki dalam partai politik.

Kelemahan model ketiga dan keempat ini menyebabkan timbulnya citra buruk bagi perkembangan partai, karena seperti yang terlihat sekarang, banyak anggota legislatif yang duduk di DPR/DPRD atas penunjukan elite partai, bukan atas kemauan konstituennya.

Faktor ini pula yang menyebabkan ketidakpuasan kader partai sehingga memunculkan resistensi yang tinggi. Akhirnya menjadi sebuah kebiasaan baru, kader yang tidak puas dengan partainya mendirikan partai baru. Keuntungan ketiga dari penerapan model proporsional terbuka murni, bisa mendekatkan hubungan anggota legislatif dengan konstituennya.

Peluang perempuan

Jika sistem proporsional terbuka murni diterapkan, akan memiliki banyak manfaat. Peluang tersebut di antaranya, golongan perempuan akan memiliki peluang lebih besar. Mengapa demikian? Pengalaman dalam Pemilu 2004 bisa menjadi indikatornya. Dalam pemilihan presiden, tercatat bahwa calon perempuan, dalam hal ini Megawati Soekarnoputri, mampu meraih suara lebih banyak dari tiga calon laki-laki, yakni Wiranto, Amien Rais, dan Hamzah Haz.

Sementara itu, dalam pemilihan anggota DPD, persentase perempuan yang terpilih juga lebih besar dibandingkan DPR. Sebanyak 21% atau 27 orang dari total 128 anggota DPD adalah perempuan.

Memang kita mengakui gagasan menggunakan sistem proporsional terbuka murni ada kelemahan yang tidak bisa dihindari. Salah satunya, menimbulkan kekhawatiran, pengawasan dan peran partai politik akan pudar. Kader partai tidak akan lagi berebut untuk menjadi pengurus harian partai, karena selama ini jabatan pengurus harian menjadi 'tiket' masuk Senayan.

Sebaliknya, kader partai akan berebut meraih simpati atau pengaruh dengan turun ke daerah yang akan menjadi incaran pemilihannya. Persaingan internal partai juga semakin sengit dan biaya yang dikeluarkan juga menjadi besar.

Sebagai tindaklanjut dari kondisi tersebut, maka pengaruh partai politik untuk mengawasi kadernya yang menjadi DPR juga semakin menurun. Hal ini bisa mengakibatkan tidak disiplinnya politisi di Senayan karena dia dengan mudah keluar jalur kebijakan partai. Dengan kendali partai yang rendah ini, maka partai politik harus memiliki wewenang untuk me-recall kadernya yang menjadi anggota DPR.

Kelemahan lain adalah orang-orang yang populer (contoh, selebritis) memiliki peluang besar untuk dipilih rakyat meski tidak memiliki kompetensi dan kapabilitas. Namun masalah ini bisa diatasi selama kader populer ini diberi ruang gerak yang lebih luas untuk meningkatkan intelektual dan wawasannya di bidang yang digeluti.

Disamping itu, untuk memperkuat kapabilitas anggota parlemen, mereka bisa disediakan tim ahli untuk setiap anggota. Hal ini sudah menjadi salah satu rekomendasi tim peningkatan kinerja DPR dan pernah diusulkan dalam BURT.

Di luar negeri, wakil mereka diberikan jatah beberapa tim ahli yang digaji oleh negara di sam-ping mereka dapat membawa sendiri tim ahli yang digaji oleh anggota DPR bersangkutan. Persoalannya adalah sejauh mana sikap partai politik terhadap usulan Presiden SBY.

Oleh Faisal Baasir
Mantan Anggota DPR/Ketua Lembaga Pemerhati Kebijakan Publik (LPKP)

No comments:

A r s i p