Friday, May 25, 2007

Reformasi TNI
Perlu Lebih dari Sekadar Permintaan Maaf

wisnu dewabrata

Nyaris tak terasa, sembilan tahun waktu bergulir sejak gelombang raksasa aksi unjuk rasa yang diusung gerakan mahasiswa bergulung-gulung menghantam bak gelombang tsunami. Gelombang itu berhasil merontokkan rezim pemerintahan otoriter Orde Baru yang telah terpancang selama 32 tahun di Indonesia.

Boleh jadi sekarang yang tertinggal hanyalah riak- riak kecil. Banyak pihak masih meyakini sejumlah agenda besar terkait tuntutan reformasi sembilan tahun lalu yang belum kunjung selesai diungkap dan dituntaskan.

Hal itu terutama dirasakan oleh para keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu yang terus mendesak negara bertanggung jawab dan mengungkap apa sebenarnya yang terjadi dan siapa yang harus bertanggung jawab.

Berbagai kasus pelanggaran HAM, mulai dari Daerah Operasi Militer Aceh, peristiwa Tanjung Priok, Timor Timur, kasus 27 Juli 1996, kerusuhan Mei 1998, penculikan aktivis mahasiswa 1997-1998, Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II, seakan masih berbaris mengantre menuntut penuntasan.

Dari sejumlah proses pengadilan yang digelar, tidak satu pun putusannya dirasa mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat, khususnya bagi para keluarga korban. Kalaupun ada yang dijatuhi hukuman, hal itu masih sebatas operator lapangan dan belum menyentuh aktor intelektual di balik semua itu.

Padahal, berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi diyakini bukannya tanpa tujuan tertentu. Otoritas negara di masa lalu menggunakan berbagai bentuk kekerasan untuk melanggengkan kekuasaan yang dimiliki, termasuk menggunakan institusi militer sebagai satu-satunya institusi yang memang diberi kewenangan menggunakan kekerasan.

Dalam salah satu tulisannya, almarhum aktivis HAM Munir menyebutkan institusi militer sebagai salah satu dari tiga pilar terpenting Orde Baru yang dilibatkan secara utuh untuk mencapai tujuan ekonomi politik negara (Jejak Pemikiran Munir 1965-2004, hal 70-71, 2006).

Selain terjadi perubahan struktural, dalam sejumlah kesempatan, institusi TNI pun secara resmi telah mengajukan permohonan maaf, terutama terkait pelanggaran HAM.

Belum cukup

Saat ditemui di ruang kerjanya, Sekretaris Federasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Mufti Makaarim menilai, upaya mereformasi diri secara internal oleh TNI maupun pernyataan maaf secara institusi seperti disebut di atas belum cukup.

Kalaupun memang ada perubahan, Mufti melihat hal itu terjadi lebih karena desakan yang sedemikian kuat yang dilancarkan dunia internasional dan elemen masyarakat sipil. Hal itu sama artinya, perubahan terjadi lantaran momentumnya saat itu (reformasi) memang menginginkan ada perubahan.

"Sedangkan yang dikhawatirkan sekarang, momentum dan tekanan yang ada tidak lagi sekuat di masa lalu saat pertama kali reformasi digulirkan. Akibatnya, yang muncul kemudian tinggal bentuk pengabaian oleh militer," kata Mufti.

Perubahan yang terjadi dan sedang berjalan saat ini, khususnya di tubuh militer, masih belum menyentuh hal-hal substansial dan sebatas prosedural. Perubahan substansial hanya bisa terjadi jika para pelaku kejahatan dan pelanggaran HAM di masa lalu mengakui perbuatan mereka dan dihukum.

Selain itu, negara juga harus memastikan hak-hak para korban maupun keluarganya, baik terkait hak untuk mengetahui kebenaran tentang apa yang menimpa mereka maupun hak mendapatkan kompensasi sudah terpenuhi.

Selama ini, ujar Mufti, peradilan yang digelar atas pelaku pelanggar HAM masa lalu, khususnya yang melibatkan militer, baru mampu menyentuh para aktor pelaksana di lapangan.

Keadaan seperti itu tampak jelas terjadi di seluruh kasus pelanggaran HAM yang melibatkan personel TNI, mulai dari kasus Timor Timur, Tanjung Priok, peristiwa 27 Juli, kerusuhan Mei 1998, penculikan aktivis, dan Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.

Dalam kasus penculikan aktivis, misalnya, hanya 11 personel Tim Mawar Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat yang diketahui terlibat menculik para aktivis dan kemudian diadili serta dijatuhi hukuman.

Sementara upaya pengungkapan keberadaan sembilan aktivis lain yang masih dinyatakan hilang terkesan menguap begitu saja ketika Dewan Kehormatan Perwira bentukan Panglima TNI saat itu memberhentikan dengan hormat Danjen Kopassus Letjen (Purn) Prabowo Subiyanto.

Mufti menekankan, seharusnya proses pengadilan yang digelar bisa sekaligus menjadi tanggung jawab moral negara, terutama kepada para keluarga korban.

"Sebuah standar peradilan hukum yang adil menuntut adanya akuntabilitas prosedural sekaligus moral. Pengadilan seharusnya menghukum siapa pun pelaku agar tidak muncul preseden orang atau kelompok tertentu kebal hukum. Tidak hanya itu, peradilan yang adil juga harus memberikan rasa keadilan bagi korban dan masyarakat," ujar Mufti.

Selain itu, Mufti juga menegaskan pentingnya institusi TNI menerapkan proses seleksi ketat dalam mutasi atau penempatan para prajuritnya di posisi jabatan strategis tertentu, terutama juga dengan mempertimbangkan rekam jejak seseorang terkait pernah tidaknya dia melakukan atau terlibat dalam kasus pelanggaran HAM.

Proses seleksi (vetting) itu dinilai perlu, menyusul kontroversi yang muncul terkait keberadaan sejumlah mantan anggota Tim Mawar Kopassus dalam kasus penculikan aktivis mahasiswa tahun 1997-1998 yang sekarang justru menduduki posisi strategis, seperti komandan kodim atau kepala staf korem.

Serahkan pada hukum

Sementara itu, di tempat terpisah, Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto kepada Kompas menilai dirinya tidak melihat ada alasan kuat yang bisa digunakan sebagian kalangan untuk meragukan komitmen perubahan dan reformasi internal di tubuh institusinya.

Terkait penilaian institusi hukum masih belum bisa menghadirkan rasa keadilan bagi publik, terutama terkait keterlibatan sejumlah oknum prajurit TNI di masa lalu dalam pelanggaran HAM, Djoko juga mengaku tidak melihat ada alasan kuat yang menopang pendapat seperti itu.

Menurut Djoko, institusinya selama ini hanya akan berpegangan dan berpatokan pada hukum dan proses hukum yang dijalankan. Selain itu, dia juga meminta semua pihak agar tidak hanya melihat wajah militer di masa lalu dan mengabaikan perubahan-perubahan yang sekarang telah dicapai TNI.

"Saya tanya, apa masih ada prajurit TNI yang masih dimanfaatkan atau dipakai alat kekuasaan seperti terjadi di masa lalu? Apa ada TNI yang dimanfaatkan untuk menciduk atau menculik orang?" ujar Djoko.

Ia mengatakan, mereka yang terlibat dalam kasus Tim Mawar Kopassus sudah divonis dan ada hukuman yang dijatuhkan. "Saya berpegangan pada itu saja. Kalau ada keluarga korban yang merasa tidak puas, silakan banding," ujar Djoko.

Djoko menambahkan, prajurit yang telah dijatuhi dan menjalani hukumannya tidak lantas mengakhiri atau mengugurkan karier maupun prestasi yang telah dan akan dicapainya selama mengabdi di TNI. Mereka tetap akan mendapat promosi maupun penghargaan jika menunjukkan prestasi yang baik.

Djoko mengatakan, sejak Juni 2000, prajurit TNI, khususnya Angkatan Darat, dibekali buku saku tentang "Pedoman Prajurit TNI AD dalam Penerapan HAM". Isinya, antara lain, larangan melanggar HAM, seperti membunuh dan menyiksa, menculik, atau menghilangkan orang secara paksa.

No comments:

A r s i p