Monday, May 21, 2007

Kenaifan dalam Demokrasi
Surwandono

Dosen Fisipol UMY dan Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik UGM

Perjalanan demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut. Rezim reformasi sedari awal memiliki willingness untuk memperjuangkan ritme demokrasi di Indonesia menuju kualitas demokrasi yang mampu mengangkat harkat dan martabat masyarakat Indonesia sebagai masyarakat dengan tradisi politik partisipan. Masyarakat politik Indonesia telah tumbuh sebagai masyarakat partisipan, sebuah kondisi di mana masyarakat memiliki kepedulian terhadap proses politik sebagai sebuah bagian tak terpisahkan dalam kehidupan politik. Publik Indonesia telah tumbuh menjadi publik politik yang cerdas, dan demokratis.

Namun, di kalangan elite demokrasi malah justru menunjukan perilaku yang berbanding terbalik dengan perilaku publik yang mulai demokratis. Berbagai nalar, perilaku dan intrik para elite politik justru sedang dalam proses melakukan pembunuhan secara perlahan (euthanasia) terhadap nilai dasar demokrasi.

Beragam fakta muncul beriringan di awal 2007 yang dimulai dari keinginan para elite politik di DPRD yang berupaya mendapat tunjangan komunikasi, sehingga lahirlah produk PP No 37 Tahun 2006 yang kemudian direvisi. Selain itu juga ada program laptopisasi anggota DPR, DPD, yang kemudian juga direvisi karena ditentang oleh publik. Yang tak kalah menariknya adalah nalar UU Partai Politik dan Kepresiden yang juga mencerminkan kenaifan dalam memandang demokrasi.

Demokrasi naif
Bangsa Indonesia telah membangun demokrasi dengan sebuah kesadaran besar bahwa pilihan logika demokrasi diyakini dapat mengentaskan segala persoalan ketamakan politik rezim otoriter. Namun harus diakui bersama bahwa kesadaran akan makna demokrasi masih dalam tataran kesadaran mitos. Demokrasi hanya menjadi alat untuk mengklaim segala bentuk ekspresi dan kebebasan, baik bagi kalangan elite dan publik. Atas nama demokrasi, para aktor demokrasi melakukan tindakan kekerasan dan pemaksaan, baik terselubung ataupun terang-terangan guna memperjuangkan kepentingannya.

Ekspresi kebebasan menjadi sebuah kebiasaan baru yang seringkali tak mengindahkan tata nilai, estetika, dan susila yang selama ini dicitrakan melekat dengan bangsa Indonesia. Jadilah bangsa Indonesia sebagai bangsa amoks, sebuah istilah internasional untuk mengambarkan kekerasan, dan senantiasa untuk mengambarkan Indonesia. Lima tahun pascareformasi justru menunjukkan fakta bahwa logika kekerasan berjalan bersama dengan logika demokrasi. Demokrasi pada akhirnya melahirkan sebuah kondisi demo crazy.

Sepuluh tahun pascareformasi, watak demokrasi Indonesia mulai menunjukkan pola perubahan yang cukup signifikan. Tradisi kekerasan yang selama ini menjadi warna mulai hilang. Pilpres dan pilkada langsung yang selama ini dikhawatirkan akan terjadi pertumpahan darah karena bentrokan konstituen ternyata secara umum berjalan dengan damai. Laju kekerasan fisik dalam proses demokrasi mulai berkurang.

Apakah ini pertanda demokrasi di Indonesia sudah sehat ? Terlalu dini untuk menyatakan bahwa demokrasi Indonesia sudah sehat, sebab justru muncul berbagai perilaku elite sebagai aktor demokrasi yang mengembangkan nalar, perilaku naif dalam berdemokrasi. Logika demokrasi kemudian disimpilifikasi sebagai sebuah transformasi bisnis politik belaka. Kini banyak terjadi transaksi politik yang lebih mengedepankan aspek ekonomi dibanding tertib politik dan sosial yang menjadi sandaran utama mekanisme demokrasi. Aktor politik yang hendak mendapatkan dukungan publik untuk mendapatkan posisi politik, harus menyiapkan miliaran rupiah. Hal ini kemudian semakin dipertegas dengan draf UU Partai Politik yang mensyaratkan partai politik yang akan ikut pemilu harus memiliki deposit minimal Rp 5 miliar.

Tradisi rekrutmen politik demokrasi yang koruptif inilah yang melahirkan tradisi baru dari demokrasi, yakni korupsi. Demokrasi yang sejatinya akan menggerus watak-watak koruptif dari kekuasaan, senyatanya dalam pandangan Prof Dr Eko Prasojo, demokrasi justru melahirkan tradisi koruptif. Karena untuk masuk dalam pusaran demokrasi seorang aktor politik harus mengeluarkan miliaran rupiah, maka saat berkesempatan masuk, dia pun akan berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan modalnya.

Fakta-fakta di depan mata sedemikian mencolok. Para birokrat dan politisi cenderung lebih mudah melakukan tindakan korupsi sebagai bagian tak terpisahkan dari proses 'balik modal' politik. Teramat banyak paket UU, PP, perda yang kemudian dijadikan alat legitimasi legal formal bagi elite untuk menghalalkan segala tindakan koruptif. Maka tidak berlebihan kiranya jika kemudian TII menghadiahi lembaga birokrasi dan parlemen sebagai lembaga yang paling koruptif.

Mengapa semua ini bisa terjadi? Jawabannya adalah karena transformasi demokrasi di Indonesia masih dalam tataran demokrasi naif. Kesadaran untuk berdemokrasi hanya semata-mata untuk mendapatkan keuntungan politik. Pragmatisme, oportunisme, dan hipokritisme politik senantiasa menjadi kendaraannya, sehingga tidaklah mengherankan jika kualitas demokrasi di Indonesia mulai dipertanyakan oleh publik.

Apakah ini akan menjadi akhir demokrasi di Indonesia? Melihat gelagat tersebut, paket UU Politik yang sedang digodok oleh eksekutif dan legislatif, resuffle kabinet yang sedang diproses, jangan-jangan hanya akan meninggalkan kenaifan. Akan sangat mungkin publik semakin menilai bahwa karya demokrasi yang diisi semangat kenaifan tidak akan menguntungkan masyarakat dan demokrasi itu sendiri.

Kenaifan seakan telah menjadi bungkus dan baju demokrasi kita, seperti halnya kekerasan yang telah menjadi baju demokrasi sebelumnya. Yang paling menyakitkan adalah terciptanya simbiosis mutualisme antara tradisi koruptif dengan baju demokratis. Sebuah kondisi di mana penyakit ketamakan kekuasaan bisa diakomodasi dalam sistem yang demokratis. Jelas ini merupakan mekanisme yang paling menggembirakan bagi para petualang politik dan sekaligus menguntungkan bagi kelompok yang prokapitalisme dan liberalisme.

Mengulang reformasi
Reformasi Indonesia tampaknya harus dilakukan ulang dengan cara-cara elegan dan terlembaga. Para aktor politik yang lahir dari rahim reformasi jilid 1 ternyata jauh lebih mudah tergoda dengan kekuasaan daripada aktor politik yang lahir dari rahim rezim orde baru. Aktor-aktor politik yang melakukan tindakan tidak terpuji melalui aktivitas koruptif justru adalah muka baru, elite baru. Kekuasaan memang telah terbukti mampu memperdaya siapapun.

Teramat banyak aktor politik yang semasa rezim transformasi telah memiliki kesadaran kritis dalam memaknai demokrasi, ternyata kemudian berbalik arah ke dalam kesadaran naif. Celakanya, nilai kesadaran naif seakan telah menjadi nilai kesadaran final dalam berdemokrasi. Sehingga tanpa tedheng aling-aling, para aktor politik demokrasi melakukan tindakan-tindakan yang secara esensial tidak demokratis namun senantiasa mengklaim telah melakukan nalar demokrasi dengan sebaik-baiknya. Demokrasi pada akhirnya dimaknai sebagai usaha memperoleh kekuasaan tidak dengan cara kekerasan fisik, tetapi masih dengan menghalalkan segala cara. Jangan-jangan demokrasi di Indonesia adalah baju ketamakan politik dengan cara yang lain. Inikah demokrasi Indonesia.

Ikhtisar

- Laju demokratisasi di Indonesia saat ini berjalan timpang.
- Saat publik mulai melek demokrasi, di kalangan elite justru muncul kebiasaan untuk memanfaatkan demokrasi sebagai kedok dari perbuatan buruknya.
- Kalkulasi ekonomi telihat lebih menonjol dalam proses-proses demokrasi.
- Semestinya, demokrasi bisa menghapus perilaku koruptif, namun kenyataannya justru menyuburkan korupsi.

No comments:

A r s i p