Tuesday, May 22, 2007

Sembilan Tahun Reformasi
Suksesi yang Kian Demokratis

Sutta Dharmasaputra

Atas desakan rakyat, sembilan tahun lalu, tepatnya 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB, Presiden Soeharto di muka mikrofon Istana Negara menyatakan pengunduran dirinya. Mahasiswa pun bersorak.

Soeharto kemudian mengucapkan terima kasih dan mohon maaf kepada seluruh rakyat dan meninggalkan halaman Istana Merdeka didampingi ajudannya, Kolonel (Kav) Issantoso dan Kolonel (Pol) Sutanto (sekarang Kepala Polri). Mercedes hitam yang ditumpanginya tak lagi bernomor polisi B-1, tetapi B 2044 AR.

BJ Habibie sebagai wakil presiden pun melanjutkan tugas Soeharto dan mengucapkan sumpahnya sebagai Presiden ke-3 RI.

Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata (Menhankam/Pangab) Jenderal TNI Wiranto (saat ini Ketua Umum Partai Hanura dan akan maju pada Pemilu Presiden 2009) pun mengeluarkan pernyataan penting.

"ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan presiden/mandataris MPR, termasuk mantan Presiden Soeharto beserta keluarga."

Simbolik

Mundurnya Soeharto menjadi simbol dari tumbangnya rezim otoritarian dan munculnya harapan adanya pemimpin baru yang lebih demokratis dan mampu menyejahterakan seluruh rakyat.

Mahasiswa yang memadati kompleks DPR pun berteriak dan berjingkrak kesenangan begitu mendengar Soeharto lengser. Bahkan, ada banyak mahasiswa yang menceburkan diri ke kolam air mancur di halaman depan Gedung MPR/DPR.

Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Amien Rais (mantan Ketua MPR) dan cendekiawan Nurcholish Madjid (almarhum) pagi dini hari, sebelum Soeharto resmi mengundurkan diri, bahkan sudah menyatakan, "Selamat tinggal pemerintahan lama dan selamat datang pemerintahan baru".

Kini, tak terasa, peristiwa bersejarah itu telah berlalu sembilan tahun. Presiden pun sudah empat kali berganti, mulai dari BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono.

Pertanyaannya adalah sudah munculkah buah dari reformasi itu, yaitu hadirnya pemimpin baru yang lebih demokratis dan menyejahterakan rakyat?

Tidak puas

Banyak pihak memang merasa tidak puas dengan hasil reformasi. Mereka menilai gerakan reformasi belum membawa banyak perubahan.

Ketua Pedoman Indonesia Fadjroel Rachman, dalam diskusi mengenang 9 tahun reformasi di Gedung DPR, kemarin, termasuk yang kecewa.

Menurut Fadjroel, kegagalan reformasi paling fatal adalah tidak bisa menyentuh Soeharto. Padahal, Soeharto paling bertanggung jawab atas munculnya rezim fasis Orde Baru. "Ada dua kejahatan yang dilakukan Soeharto, yaitu korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia," ucapnya.

Seharusnya, selain kekuasaan politik, aset Seoharto pun direbut. Misalnya, aset Soeharto yang tersimpan di luar negeri yang besarnya Rp 600 triliun.

Reformasi juga memberi kesempatan pada aktor lama untuk menempati pos-pos baru di berbagai bidang. Akibat itu semua, arah dan kecepatan reformasi ditentukan elemen-elemen antidemokrasi Orde Baru. "Reformasi telah dibajak Orde Baru," ucap Fadjroel.

Ada hasilnya

Apakah reformasi sama sekali tidak membuahkan hasil?

Sebagaimana halnya gelas terisi air, bisa dilihat dari dua sudut pandang. Bisa dikatakan, gelas itu terisi separuh, tapi bisa juga dikatakan kosong separuhnya.

Reformasi yang telah berjalan sembilan tahun ini pun sesungguhnya telah membuahkan hasil yang tidak kecil. Suksesi kepemimpinan yang mandek selama 30 tahun, misalnya, tanpa disadari terus berjalan di negeri ini. Prosesnya pun semakin demokratis dari hari ke hari dan berlangsung damai.

Pergantian Soekarno ke Soeharto, yang didahului dengan penumpasan Gerakan 30 September, memakan korban hampir setengah juta jiwa. "Tumpas hingga ke akar-akarnya," demikian istilah yang sering digunakan Soeharto kala itu.

Menjelang pergantian Soeharto, kerusuhan massa pun kembali terjadi dan menelan banyak korban. Pada peristiwa Mei 1998, banyak toko dibakar, penjarahan di mana-mana, dan penyerangan kelompok etnis tertentu. Soetandyo Wignjosoebroto dalam tulisannya menyebutkan tidak kurang dari 1.200 manusia tanpa nama ikut terbunuh dan belasan perempuan dilecehkan, bahkan dilaporkan diperkosa dalam peristiwa itu.

Memasuki pergantian Habibie ke Abdurrahman Wahid, proses suksesi mulai berjalan mulus. Demikian pula saat Abdurrahman Wahid terpilih menjadi presiden dalam Sidang MPR mengalahkan Megawati.

Begitu pula saat Gus Dur dilengserkan. Sekitar pukul 20.48, Gus Dur keluar dari Istana Merdeka. Saat berdiri di ujung teras, Gus Dur malah sempat melambaikan tangan kepada massa pendukungnya yang berunjuk rasa. Hanya pohon yang ditebang kelompok pendukung Gus Dur sebagai pelampiasan emosi.

Pergantian Megawati Soekarnoputri oleh Susilo Bambang Yudhoyono yang dikalahkan melalui pemilihan umum langsung 2004 pun berlangsung damai. Tidak ada kerusuhan terjadi. Dunia bahkan memuji Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia.

Proses pemilihan pemimpin di negeri ini pun makin hari semakin demokratis. Pergantian tidak lagi dilakukan melalui kudeta angkatan bersenjata, tapi melalui proses yang konstitusional, yaitu melalui lembaga perwakilan atau pemilu.

Apabila Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati dipilih oleh 1.000 anggota MPR, semenjak Susilo Bambang Yudhoyono dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilu. Untuk pertama kalinya, Indonesia pun memiliki presiden yang dipilih langsung oleh rakyat.

Harus diteruskan

Benar apa yang dikatakan Rektor Universitas Paramadina Anis Rasyid Baswedan bahwa reformasi politik saat ini harus dilanjutkan ke fase selanjutnya. Kebebasan berpolitik bukan hanya sekadar untuk berpolitik, tapi lebih jauh dari itu adalah untuk menyejahterakan rakyat.

Anis juga merasa kesalahan utama reformasi lalu adalah masih memberi tempat aktor-aktor lama. Karena itu, Presiden Yudhoyono yang relatif memiliki jarak dengan Orde Baru dan dipilih langsung oleh rakyat diharapkan lebih banyak beraliansi dengan publik, bukan dengan elite.

Namun, semua elemen proreformasi tentunya juga tidak bisa berdiam diri, tapi harus merawat pohon reformasi agar berbuah besar dan lebat.

Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengajak semua pihak untuk menyempurnakan reformasi yang belum selesai. "Kegagalan reformasi terjadi karena banyak yang menempatkan diri jadi pengamat, tidak mau melibatkan diri," ucap mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera ini.

No comments:

A r s i p