Saturday, May 26, 2007

Kebangsaan
Sekarang Saatnya Bangsa Ini Saling Jujur


Jakarta, Kompas - Seluruh komponen anak bangsa ini harus menampilkan etika, keteladanan, dan kejujuran dalam berbangsa. Tanpa itu, bukan saja masyarakat tidak akan mendukung program pemerintah, parpol, dan pemimpin yang selalu berteriak demi kepentingan rakyat, namun lebih jauh lagi bangsa ini akan hancur.

Hal ini disampaikan anggota Majelis Hikmah PP Muhammadiyah Rustam Effendy di Jakarta, Jumat (25/5). "Dalam kasus dana DKP, kader politik dari kalangan Islam banyak yang menyangkal telah menerima dana tersebut. Jika mereka betul-betul tidak menerima, tidak mengapa, tetapi kalau menerima kemudian bilang sudah mengembalikan atau untuk yayasan, ini jelas ketidakjujuran," ujarnya.

Menurut Rustam, ketidakjujuran dan politik citra telah merusak bangsa ini hingga sulit untuk bangkit lagi. Padahal, masyarakat sudah tidak sanggup lagi melihat tampilan megah dan citra baik para pemimpin.

"Kita rasanya sudah terlalu lelah menghadapi perilaku para pemimpin," ujar Rustam.

Koordinator Masyarakat Profesional Madani Ismed Hasan Putro mengatakan, saat ini para tokoh dan pemimpin bangsa perlu melihat hati nuraninya. Hanya dengan itulah mereka akan bisa menuntun moral bangsa ini dengan kejujuran dan kebenaran.

"Bukan dengan kemunafikan dan pembenaran. Karenanya, janganlah mengecoh publik seolah- olah bantahan dapat menjadi kebenaran mutlak. Jangan lagi ada dusta di antara para pemimpin dan tokoh," ujarnya.

Ismed mencontohkan, sebagai bagian dari tokoh bangsa, mestinya pasangan Pilpres 2004 dapat menjunjung harkat dan nuraninya. Dengan berjiwa besar, mereka memberi kesaksian yang berkekuatan hukum di pengadilan atas apa yang telah terungkap dalam persidangan korupsi DKP mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rochmin Dahuri.

"Sungguh menyedihkan kalau kejujuran telah digadaikan demi citra diri. Memprihatinkan kalau pembenaran menjadi wahana untuk menyucikan diri," ujarnya.

Belajar dari Soekarno

Mestinya para pasangan Pilpres 2004, tokoh partai, dan pemimpin bangsa ini, menurut Ismed, belajar dari pendiri bangsa, Soekarno-Hatta. Pendiri bangsa tersebut lebih mengutamakan kepentingan negara dan masa depan bangsa, dibandingkan dengan birahi untuk tetap terlihat bak malaikat dalam singgasana kekuasaan politik. (MAM)

No comments:

A r s i p