Saturday, May 26, 2007

Optimisme Lahirnya Rezim Demokrasi
sidik pramono

Sembilan tahun sudah perjalanan Indonesia semenjak Presiden Soeharto menyerahkan tampuk kekuasaan. Sepanjang itu pula, harapan yang sempat terlambungkan seolah menyurut perlahan. Indonesia terbawa dalam transisi yang berkepanjangan karena agenda perubahan yang tidak dijalankan secara total.

Di tengah kegalauan harapan reformasi yang tidak kunjung sampai, sepercik optimisme muncul dari M Fadjroel Rachman. Demokrasi adalah arus besar sejarah, butuh generasi kepemimpinan baru, kekuatan alternatif dengan ide perubahan yang progresif.

Berikut petikan perbincangan dengan Fadjroel, seorang aktivis dan pemikir.

Bagaimana Anda melihat perjalanan sembilan tahun reformasi?

Keinginan kami semula, bukan hanya terjadi perubahan kepemimpinan nasional, namun juga perubahan struktural. Gerakan Reformasi 1998 hanya berhasil menumbangkan Soeharto, tetapi tidak berhasil mencabut rezim ekonomi sosialnya sampai hari ini.

Elemen Orde Baru selama sembilan tahun ini berhasil memulihkan diri kembali serta menentukan arah dan kecepatan reformasi. Partai Golkar menjadi demikian segarnya sampai hari ini. Konglomerasi yang menjadi dasar ketimpangan ekonomi sekarang ini justru mengambil alih kepemimpinan nasional. Berikutnya, 3,7 juta orang di birokrasi peninggalan Orde Baru juga tidak tergantikan. Tampilnya Yudhoyono berarti TNI menemukan titik pulihnya. Agenda reformasi untuk menghilangkan bisnis TNI/Polri sampai hari ini tidak berjalan.

Kenapa bisa terjadi?

Gerakan 1998 praktis sebenarnya hanya gerakan massa, tidak memiliki gagasan perubahan dan organisasi perubahan politik yang solid. Kenapa bisa terjadi? Karena sepanjang Orde Baru berkuasa, tak pernah ada kesempatan mengeluarkan pendapat secara terbuka sehingga dialog untuk menghasilkan gagasan alternatif betul-betul tertutup. Karena tidak punya hak politik, organisasi gerakan yang solid juga tidak ada. Mahasiswa datang ke gedung MPR/DPR sebagai massa anonim, bukan massa terorganisasi dan terdidik.

Kunci utama kegagalan reformasi adalah dengan tidak dihukumnya Soeharto. Ketika kejahatan tak diadili, ruang itu menjadi kabur. Seakan-akan ruang demokrasi menjadi ruang serba boleh.

Skenario awalnya?

Soeharto dan Habibie diselesaikan sebagai satu paket yang harus diruntuhkan karena mereka ujung rezim Orde Baru. Namun, pada pendudukan Gedung MPR/DPR, yang masuk ke hati dan pikiran hanya Soeharto masalahnya. Orde Baru kembali cukup dengan tiga langkah: naikkan Habibie, naikkan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan pakai Megawati untuk menggusur Gus Dur; dan kalahkan Megawati.

Waktu itu ada Pemilu 1999 sebagai mekanisme demokratis.

Sebagian elemen reformasi ikut pemilu, sebagian menolak karena pemilu diadakan Habibie dan kendali Orde Baru. Apalagi Golkar masih ikut.

Dalam transisi dari rezim totaliter ke demokrasi, ada jembatan dengan sejumlah persyaratan. Satu, konstitusi baru. Kesalahan rezim totaliter adalah korupsi dan kejahatan pelanggaran HAM berat. Ceko membikin undang-undang lustrasi. Partai komunis berikut pengurusnya sampai ke bawah tidak boleh ikut pemilu satu periode.

Di Indonesia, jembatan transisi itu semua habis. Jadi, memang ini rezim rekondisi.

Faktanya, ada yang memilih ikut pemilu.

Mereka yang ikut tergulung dalam permainan, ikut mengesahkan dan melegitimasi permainan. Kesalahan (yang ikut dan kalah) mereka menyangka massa yang histeris menjatuhkan Soeharto itu adalah massa mereka. Itu nonsens. Yang terjadi dalam Pemilu 1999 adalah dua legitimasi dan satu ilusi.

Kalau begitu, membetulkannya bagaimana?

Yang mesti dilakukan kekuatan politik baru adalah mendemokratisasikan demokrasi yang terbatas ini. Parameter rezim demokrasi adalah terjaminnya hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Itu yang dipereteli. Tugas dan tantangan utama adalah membongkar habis melalui agenda politik baru. Yang paling jelek dari reformasi adalah konglomerat dan saudagar memimpin dan mengarahkan kebijakan ekonomi politik negara. Pada masa Orde Baru, mereka dipimpin dan diarahkan oleh Soeharto. Data Bank Dunia, sepanjang 1975-2004, peta distribusi pendapatan tak berubah. Selama masa lima presiden, ketimpangan sosial, kesenjangan ekonomi, itu abadi.

Masih mungkin dilakukan?

Kalau bercermin dari pengalaman Amerika Latin, mereka juga pernah gagal, ada semacam "virus kekecewaan". Setelah larut dalam kekecewaan, mereka menyimpulkan: mereka harus membasiskan diri kepada gerakan sosial, membangun kekuatan alternatif dengan program politik alternatif.

Kekuatan gerakan mahasiswa 1998 mengatakan akan mengambil alih kekuasaan politik berbasis "1998-center". Itu nonsens, ilusi, mimpi busuk. Kalau mau kekuatan politik alternatif, mereka hanya menjadi satu bagian dari kekuatan sosial yang lain.

Masih mungkinkah ada aktor yang menjalankan program progresif itu?

Perubahan politik tidak boleh bergantung pada satu orang, tapi mesti satu generasi kepemimpinan nasional. Kalau Republik ini hanya bergantung pada Soekarno, pada Hatta, kalau tak ada Sjahrir, habis Republik ini. Impian kita hari ini adalah menciptakan generasi kepemimpinan nasional yang bersama-sama bertanggung jawab pada nasib kapal besar ini.

Optimisme

Fadjroel sangat mengagumi Sjahrir, Hatta, dan Soedjatmoko yang disebutnya sebagai "bapak demokrasi Republik ini". Selain itu, Fadjroel juga menyebut fisikawan dan filsuf Karl R Popper sebagai tokoh yang memengaruhi gaya berpikirnya, yang mendorong penerapan gagasan sains ke gerakan sosial. "Kebijakan politik sosial itu hipotesis, bersifat sementara, bisa salah, dan tunduk pada pendekatan kritis," sebut Fadjroel.

Semasa di Institut Teknologi Bandung (ITB), Fadjroel matang dengan sejumlah aksi mahasiswa yang beberapa kali mengirimnya ke penjara. Puncaknya, aksi 5 Agustus 1989 membuahkan vonis tiga tahun (dengan sempat ditahan ke Nusakambangan) plus pemecatan sebagai mahasiswa ITB. Selama di penjara, humanisme terjaga oleh kesempatan menulis dan juga berkebun.

Di penjara pula Fadjroel belajar memasak. Salah satu menu kenangan yang kerap dirindukan istrinya adalah "pizza-sukamiskin".

Fadjroel muda berlatih karate sebagai alat bela diri. Kini, bapak dua anak ini lebih suka berhiking bersama keluarga.

Ada keuntungan dari posisi Indonesia pascareformasi seperti sekarang?

Orang berefleksi dan merenung. Kecepatan konsolidasi elemen Orde Baru jauh lebih cepat ketimbang kekuatan politik alternatif. Perubahan harus progresif dan total. Kalau tidak, hanya terjadi kompromi seperti sekarang, membuat kita tidak bisa melompat ke rezim demokrasi. Kita dalam transisi demokrasi yang berkepanjangan.

Anda masih optimistis bahwa reformasi akan menemukan tujuannya kembali?

Tinggal selangkah lagi untuk menyelesaikan ini. Pelajaran terpenting dari sembilan tahun ini, reformasi mudah dibajak kaum "ular beludak" karena kita tidak kuat merumuskan program dan agenda perubahan politik, tak serius membangun organisasi yang betul-betul matang sehingga mudah dimasuki dan dikalahkan lawan. Kita salah, mereka pernah salah, tapi dari kekecewaan kita belajar.

Demokrasi itu seperti banjir sejarah. Orang-orang Orde Baru, militer, dan orde rekondisi itu pasti akan terhabisi oleh arus sejarah. Mungkin sekarang hanya batu alas untuk rezim demokrasi masa depan.

Banyak aktivis yang menjadikan reformasi sebagai "batu loncatan".

Banyak yang berubah, tapi tidak semuanya. Ibarat perjalanan, ada yang singgah dulu, ada yang terus. Mudah-mudahan kafilah terus bisa menyelesaikan perjalanan dan sampai ke oase demokrasi. Yang singgah, okelah sepanjang tidak mengganggu perjalanan. Toh, yang kami lakukan adalah trial and errror. Demokrasi adalah soal bertarung gagasan, meyakinkan orang untuk percaya kepada gagasan.

Kalimat terakhir (Soe Hok Gie) dalam film Gie bagus sekali. Lebih baik diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan.

No comments:

A r s i p