Thursday, May 31, 2007

967 Anggota DPRD dan 61 Kepala Daerah Terlibat Korupsi

Padang--RoL-- Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi di Indonesia, telah diikuti maraknya tindak korupsi di tingkat lokal dan hingga kini tercatat 967 anggota DPRD dan 61 kepala daerah terlibat dalam kejahatan itu.

Para anggota DPRD dan kepala daerah dalam proses hukumnya kini ada yang masih tersangka, terdakwa dan ada pula telah divonis bersalah sebagai terpidana, kata peneliti program The World Bank untuk kasus penanganan korupsi pemerintah tingkat lokal, Said Amin di Padang, Kamis. Ia mengatakan, keterlibatan 967 orang "wakil rakyat" itu, berdasarkan data dihimpun dari Kejaksaan Tinggi di seluruh Indonesia, dengan jumlah kasus mencapai 265 kasus korupsi dan ditangani proses hukumnya oleh 29 Kejati.

Sedangkan kasus korupsi melibatkan kepala daerah mencapai 46 kasus dengan jumlah bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota menjadi tersangka, terdakwa atau telah divonis bersalah sebagai terpidana sebanyak 61 orang.


Korupsi melibatkan para kepala daerah itu ditangani kejaksaan Kejati sebanyak 43 kasus dan Kejaksaan Agung tiga kasus. Lebih lanjut, Said Amin mengungkapkan, berdasarkan data dihimpun dari Departemen Dalam Negeri, diketahui selama tahun 2004 - 2006 telah dikeluarkan surat izin pemeriksaan kepala daerah atas dugaan korupsi bagi tujuh gubernur dan 60 orang bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota.

Khusus di Sumatera Barat, ujarnya, terjadi sedikitnya 49 kasus korupsi melibatkan DPRD sebanyak 11 kasus dan 38 kalangan non legislatif (termasuk pemerintahan) dengan jumlah pelaku 276 orang. Akibat 49 kasus korupsi di Sumbar itu telah merugikan keuangan negara mencapai Rp91,65 miliar, tambahnya.

Pada bagian lain, ia mengatakan, terhadap berbagai kasus korupsi di tingkat lokal itu, selalu mendapat tanggapan serius dari berbagai kelompok masyarakat, baik para tokoh, mahasiswa, media massa dan LSM. Kelompok masyarakt itu, sudah melakukan berbagai langkah untuk mendorong agar kasus-kasus korupsi tersebut dapat diproses seadil-adilnya oleh lembaga penegak hukum, tambahnya. Antara


Nakhoda Bangsa

Oleh : Haedar Nashir

Pemimpin itu bagaikan nakhoda. Lebih-lebih pemimpin bangsa di kala pancaroba. Dia tak boleh kehilangan arah kemudi, kendati hantaman gelombang datang dari segala jurusan. Memimpin di kancah perubahan memang sarat masalah. Tak perlu melankolis, apalagi gampang panik. Bersikaplah wajar, jangan berlebihan. Apa pun, pemimpin itu perlu tameng kearifan, sekaligus ketangguhan.

Tapi tak banyak pemimpin yang tangguh, apalagi arif. Reformasi baru berhasil menghadirkan pemimpin pemenang, tapi bukan nakhoda. Air beriak saja disikapi over dosis seolah gelombang dahsyat. Sementara gelombang tsunami dianggap sepi seolah tak ada masalah. Seperti kulit bawang, gampang mengelupas. Padahal betapa menggunung persoalan di tubuh bangsa ini. Sedikit saja kehilangan keseimbangan, efeknya bisa seperti bola liar.

Pemimpin itu memang manusia. Selalu ada salah dan dosa. Tak ada pemimpin yang bebas salah dan masalah. Jika pemimpin itu benar dan sungguh tak bersalah, kenapa mesti gundah? Bukankah ada contoh, yang salah saja berkata apa adanya, lalu publik menghargai makna kejujuran.

Kenapa harus tunggang-langgang? Arif sedikit malah menjadi mutiara berharga. Jangankan sebuah tudingan, bahkan fitnah pun manakala memang tak ada, akan sirna dengan sendirinya. Pemimpin itu harus memiliki seribu satu perisai kearifan, juga kewajaran. Kalau gampang gundah-gulana, malah orang jadi penasaran.

Tapi biarlah rakyat nan cerdas menilai para pemimpin bangsa yang terlanjur hadir di Republik ini. Pemimpin itu memang tak dapat dipaksakan. Mana pemimpin yang sejati dan mampu menghadapi masalah secara nyata. Mana pemimpin yang gampang panik menghadapi masalah. Mana pula pemimpin yang lebih bermain di alam citra sambil meninggalkan masalah krusial bangsa. Kita tak mungkin menuntut pemimpin di luar kapasitasnya.

Kepemimpinan bangsa memang memiliki dinamikanya sendiri, ada yang mau bertindak benar dan jujur, lainnya mengikuti irama alam. Setiap babakan sejarah selalu melahirkan pemimpin yang penuh warna-warni.

Namun satu hal yang tak boleh lupa dan terabaikan oleh siapa pun di negeri tercinta ini. Bahwa bangsa ini membutuhkan pemimpin nakhoda yang harus sanggup menyelesaikan masalah-masalah krusial yang berat. Pemimpin nasional yang dengan langkah nyata mampu mengeluarkan Indonesia keluar dari kemelut. Di situlah tanggung jawab dan kewajiban pemimpin yang memperoleh mandat atau amanat rakyat. Mau arif atau tidak, itu hal yang tak bisa dipaksakan. Sikap praktis kita ialah, menghisab kepemimpinan nasional untuk menyelesaikan persoalan-persoalan krusial bangsa. Bukan kepemimpinan retorika dan pesona.

Kita harus jujur kepada rakyat. Sejumlah masalah besar yang sangat krusial masih melilit bangsa ini. Sebutlah jumlah orang miskin dan menganggur yang terus meningkat, bukan malah kian susut. Martabat bangsa pun jatuh di mata bangsa-bangsa lain, bahkan untuk berpolitik bebas aktif pun Indonesia menjadi terengah-engah karena ketergantungan yang tinggi pada negara adidaya. Bencana demi bencana bermunculan, yang meruntuhkan tatanan sosial dan lingkungan. Persoalan-persoalan lainnya yang krusial saling berhimpitan dan menjadi muara masalah nasional yang kompleks.

Sementara itu pemberantasan korupsi yang digembar-gemborkan, menurut banyak penilaian masih kasus-kasus pinggiran dan cenderung tebang pilih. Bahkan dengan kasus dana nonbujeter DKP pun terasa ada yang kebakaran jenggot, kendati tekad pemerintah katanya mau menuntaskan masalah krusial yang satu ini. Padahal tokoh nasional sekaliber M Amien Rais telah membuka jalan dengan sikap jujur dan berani, yang penuh risiko. Jika bertekad memberantas korupsi kenapa risau dengan hal-hal atributif, lebih baik dahulukan yang substantif.

Sungguh bangsa ini tak beranjak dari persoalannya yang serba krusial. Dari krisis multidimensi. Bangsa-bangsa jiran sudah melangkah jauh, padahal dulu sama-sama mengalami krisis. Rupanya kuncinya terletak pada pemimpin dan kepemimpinan yang tepat. Pemimpin dan kepemimpinan yang benar-benar menjadi nakhoda yang sesungguhnya, yang mampu mengarahkan pelayaran sekaligus tangguh menghadapi gelombang yang menghantam.

Kata Buya Safii Maarif, bangsa ini memerlukan pemimpin di kancah krisis, bukan pemimpin biasa-biasa saja. Boleh jadi pemimpin solidarity maker sekaligus problem solver. Bukan kepemimpinan yang setengah-setengah, apalagi sekadar mengandalkan citra atau pesona. Tak perlu cari dari langit, yang ada pun sebenarnya bisa dimanfaatkan laksana pepatah tak ada rotan kayu pun jadi. Apa boleh buat demokrasi tidak selalu melahirkan pemimpin yang tepat untuk waktu dan keadaan yang tepat. Namun manakala mau belajar dan memiliki kesungguhan yang total, maka tak ada yang musykil apalagi mustahil untuk dipecahkan.

Jadi, jangan-jangan masalah bangsa ini titik krusialnya berada di level pemimpin dan kepemimpinan nasional yang kehilangan fungsinya sebagai nakhoda. Nakhoda yang sungguh-sungguh mau bertanggung jawab untuk mengutamakan penyelesaian masalah-masalah krusial bangsa. Pemimpin yang lebih mendahulukan persoalan bangsa ketimbang urusan citra diri dan hal-hal yang tidak prioritas. Nakhoda yang sensitif terhadap masa depan bangsa, bila perlu tanpa memikirkan sedikit pun masa depan dirinya. Nakhoda yang sungguh-sungguh peduli pada nasib dan martabat bangsa melebihi kecintaan pada dirinya.

Cobalah saksikan persoalan yang melilit bangsa ini, masih banyak yang krusial. Termasuk krusial di bidang moral dan martabat bangsa. Bukalah kembali kasus RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang terkatung-katung hingga saat ini. Nakhoda bangsa kita begitu sangat sensitif manakala menyangkut nama dan persoalan dirinya, namun ketika dihadapkan pada agenda-agenda besar nasional seolah bukan prioritas utama. Tak tersentuh rasa kepemimpinannya, sense of belonging-nya dalam memecahkan masalah krusial bangsa. Kapan ingin menuntaskan RUU yang penting itu. Jika DPR lambat dan mandek, pemerintah bisa berteriak keras, bukan diam. Bukankah untuk satu dua hal begitu sensitif. Masalah moral seolah diletakkan sebagai agenda pinggiran.

Coba pulalah buka kembali kasus majalah Playboy. Tokoh-tokoh bangsa dan seluruh komponen umat Islam sangat berkeberatan dan bahkan memprotes keras, seraya menuntut agar pemerintah tidak mengizinkan majalah porno tersebut. Namanya saja tidak cocok dengan budaya bangsa ini. Tapi apa yang terjadi, pucuk pimpinan nasional nyaris tidak peduli dengan urusan Playboy ini, seolah bukan masalah bangsa. Padahal sering muncul retorika tentang pentingnya moral dan agama di muka publik.

Namun Playboy terus terbit, bahkan pengadilan membebaskan pimpinan redaksinya. Dengan bersembunyi di balik kebebasan pers, pemerintah bukan hanya tak berdaya, bahkan secara nyata tak peduli dan tak berpihak pada persoalan moral dan martabat bangsa. Suara jernih umat dan komponen bangsa yang peduli moral berlalu begitu saja, laksana pepatah anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.

Fakta apa yang bisa kita ambil dari semua ini? Bangsa ini kembali gagal melahirkan kepemimpinan yang efektif dan bermoral tinggi untuk memecahkan masalah-masalah krusial yang terlanjur hadir secara kompleks. Demokrasi hanya melahirkan kepemimpinan pemenang, bukan penyelesai masalah. Kepemimpinan yang begitu rupa memiliki legitimasi politik yang sangat kuat, tetapi kehilangan momentum untuk menyelesaikan masalah besar bangsa secara sistematik. Padahal jika masalah-masalah krusial bangsa ini tak terpecahkan secara tersistem, terbuka kemungkinan rakyat dan elemen-elemen nasional hilang kesabaran dan kemudian lahir tuntutan reformasi jilid kedua.

Bangsa ini lagi-lagi kehilangan peluang untuk menghadirkan kepemimpinan nakhoda di kancah gelombang perubahan. Kepemimpinan yang benar-benar teruji menjadi nakhoda yang tangguh, visioner, arif, dan mampu memecahkan masalah-masalah krusial bangsa secara nyata dan tersistem. Kepemimpinan yang mampu memilah mana yang utama dan mana yang pinggiran. Dalam logika kearifan klasik Islam, pemimpin yang mampu memisahkan mana yang terpenting dari yang penting, taqdim al-aham min al-muhim. Bukan malah terbalik-balik, yang tidak begitu penting dijadikan sesuatu yang seolah sangat penting, sehingga urusan yang semestinya disikapi normal pun akhirnya menjadi heboh dan tumpah-ruah ke segala arah.

Memang tak mudah untuk menjadi pemimpin nakhoda di negeri yang masih dilanda krisis pancaroba ini. Sang nakhoda mesti benar-benar tahu dan paham arah pelayaran bangsa. Nakhoda juga harus benar-benar sigap mengerahkan segenap awak kapal laksana komandan, bukan sekadar kepala pelayaran. Sang nakhoda bahkan harus paling siap dan bertanggung jawab dalam menghadapi hantaman gelombang dengan sikap gagah perwira, tanpa harus menjadi melankolis. Bukankah pemimpin dilahirkan untuk menghadapi gelombang tantangan, ancaman, dan hantaman? Kita tak ingin pemimpin lahir karena kesan terzalimi dan politisasi penzaliman publik, bukan karena kapasitas dan kehadiran untuk menyelesaikan masalah bangsa.

Di negeri mana pun tak ada pemimpin yang segala urusan yang dihadapinya menjadi mudah. Apalagi tanpa masalah. Selalu hadir masalah yang silih berganti bak hantaman gelombang di tengah lautan. Pemimpin itu memang dihadirkan untuk menghadapi dan memecahkan sejuta masalah, yang tak mungkin dipikul oleh rakyat kebanyakan. Pemimpin itu juga dituntut untuk membawa bangsa dan negara ke arah yang benar agar tak jatuh ke jurang yang sama sebagaimana pengalaman sejarah yang baru berlalu. Bangsa ini memang membutuhkan pemimpin nakhoda, bukan awak kapal biasa.

Mengurai Masalah Daerah Pemilihan

Oleh :

Ray Rangkuti
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) dan Sa-Roha Foundation

Salah satu isu penting dalam penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) Parpol (pemilu legislatif) adalah soal pemetaan daerah pemilihan (dapil). Dalam isu ini terdapat banyak persoalan yang jika dipecah ke berbagai isu akan menjadi topik sendiri-sendiri.

Selain itu, isu ini juga akan banyak melibatkan partai politik, karena memang sangat terkait dengan nasib para calon legislatif yang akan bertarung. Karena pentingnya isu inilah, beberapa parpol seperti Golkar, PDIP, PAN, dan PKS, jauh-jauh hari telah menyiapkan skenario dapil ini sebagai bahan masukan dalam penuyusunan RUU Parpol, yang akan dilaksanakan bulan ini.

Pokok soal
Pokok soal dapil adalah pertama, sejauh mana dapil yang ada menjamin adanya hubungan yang representatif antara pemilih dan para wakil mereka (parpol) di legislatif. Hubungan yang dimaksud, tentu terkait dengan tugas pokok dan kewajiban anggota legislatif berupa menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat (Pasal 29 hurup f, UU No 22/2003).

Dalam konteks itulah dapil merupakan perwujudan identifikasi atas pemilih dan yang dipilih. Implikasi hubungan ini tentu terkait dengan pertanggungjawaban politik para anggota legislatif atas kinerja mereka selama lima tahun masa jabatannya. Dapil juga memperkuat hubungan si terpilih dan yang memilih sebagai bukan semata ritus lima tahunan, tetapi berkelanjutan yang terbingkai dalam kontrak politik yang sehat.

Kedua, penentuan dapil diperlukan untuk menerbitkan keadilan bagi para pemilih di seluruh daerah pemilihan di Indonesia. Poin ini terkait dengan keharusan untuk memperlakukan sama para pemilih. Prinsipnya adalah satu orang, satu suara dan satu nilai (OPOVOV). Pemilih daerah tertentu tidak boleh berbeda dengan pemilih daerah lain, apapun persoalan dan kondisinya.

Dalam konteks inilah maka pembagian jumlah dan harga kursi per dapil menjadi signifikan. Apakah satu dapil dengan dapil yang lain terdapat perbedaan antara jumlah dan harga kursi di dalamnya. Jika begitu, apa saja yang memang menghajatkan perbedaan tersebut serta sejauh mana perbedaan itu dapat ditoleransi, dan seterusnya.

Efek penting lain dari faktor keadilan ini adalah menjadikan wakil rakyat sebagai wakil yang sama nilai dan signifikansinya sekalipun dari berbagai dapil yang berbeda. Dengan nilai yang sama, hubungan di antara mereka juga setara. Dengan begitu, tingkat keterwakilan, hak, dan tanggung jawab merekapun sama.

Dapil Indonesia
Masalah pokok dapil di Indonesia adalah belum terwujudnya dapil sebagai pembangunan basis politik para caleg, daerah pertanggungjawaban dan dengan sendirinya merupakan wilayah bagi pertaruhan politik mereka. Hubungan antara pemilih dan wakil mereka dalam dapil tetap rendah. Hal ini terasa dalam praktik politik pascapemilu 2004 yang lalu. Tampaknya, sejauh ini dapil hanya berkesan sekadar membagi daerah untuk membagi kursi.

Rendahnya pola hubungan ini terkait dengan dua hal, pertama, sistem proporsional terbuka terbatas yang kita anut yang masih menempatkan para caleg sebagai wakil parpol daripada wakil para pemilih. Kepatuhan para caleg bukan pada pemilih tetapi kepada parpol.

Karena serba parpol, maka perpindahan dapil bagi para caleg dari satu pemilu ke pemilu berikutnya bukan sesuatu yang bermasalah secara politik dan etik. Perpindahan itupun lebih banyak didasarkan pada bacaan kekalahan yang akan dialami jika tetap pada dapil sebelumnya. Tentu yang hilang di sini adalah pertanggungjawaban dan 'pengahakiman' oleh pemilih atas kinerja anggota legislatif yang mereka pilih.

Mekanisme penetapan caleg yang dilakukan parpol rata-rata satu bulan sebelum diserahkan ke KPU, memberi sumbangsih bagi terjadinya asal pencalegan. Belum lagi ditambah dengan ambisi memenuhi seluruh dapil dengan menempatkan jumlah maksimal caleg dalam dapil.

Penyakit sistem ini diperparah dengan penetuan pemenang dalam pemilu. Sebagaimana diatur dalam UU No 12/2003 dinyatakan bahwa peraih kursi adalah mereka yang memperoleh bilangan pembagi pemilih (BPP) atau yang duduk di nomor urut utama daftar caleg. Kenyataannya, dari 550 anggota DPR hasil pemilu 2004 yang lalu, hanya dua orang yang mencapai BPP. Selebihnya merupakan peraih kursi berkat bantuan perolehan suara kandidat lain dalam satu parpol. Dari sini saja terlihat jelas tingkat ketergantungan para kandidat dengan parpolnya.

Model ini juga sebenarnya mengaburkan pertanggungjawaban personal anggota dewan. Di satu segi, ia harus bertanggungjawab terhadappara pemilih, tapi di sudut lain, kursi yang diraihnya juga disumbang suara perolehan parpol.

Besaran BPP yang mencapai maksimal 425 ribu per kursi di daerah pemilihan padat penduduk atau minimal 325 ribu di daerah rendah penduduk salah satu hal yang menyumbang kesenjangan antara pemilih dan yang dipilih. Jika besaran BPP ini dikaitkan dengan besaran dapil, maka tingkat keterwakilan itu makin berjarak.

Dan kedua, teknis pembagian dapil. Bila metode pembagian dapil semata dilihat dengan luasan daerah atau kepadatan penduduk, maka perbedaan pembagian kursi antardaerah akan terjadi. Jika total kursi DPR tetap 550, maka sebanyak 312 kursi (56,6 persen) akan diambil oleh caleg dari Jawa dan Bali.Di sini isu pulau Jawa dan luar Jawa menjadi signifikan dan sensitif.

Cara mengatasi kerenggangan tersebut, seperti dinyatakan dalam UU No 12/2003, tak sepenuhnya menyelesaikan masalah. Bahkan, seperti diungkap oleh Pipiet R Kartawidjaya (2007), model penyelesaian ini hanya melahirkan praktik pembagian kursi yang 'akal-akalan'.

Tentu saja ada jawaban atas seluruh persoalan yang telah dijelaskan di awal tulisan ini. Hanya memang diperlukan komitmen untuk menjadikan dua tujuan utama pembetukan dapil sebagai hal yang paling utama. Dengan begitu, beberapa revisi atas peraturan yang lama, menjadi keharusan. Dan sudah harus tertuang dalam draf RUU.





Bangsa Ini Sesungguhnya Bisa Indah...
Oleh : Asro Kamal Rokan

Di salah satu sisi Bundaran Hotel Indonesia tempat favorit pengunjuk rasa terdapat foto seluruh presiden Indonesia, dari mulai Presiden Sukarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Foto para presiden itu, dalam ukuran besar, juga terdapat di ruang utama Istana Merdeka.

Penempatan foto-foto tersebut boleh jadi dimaksudkan untuk mengingatkan kepada masyarakat bahwa para pemimpin Indonesia itu lepas dari pro-kontra dalam masa kepemimpinan masing-masing adalah bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah Republik ini. Mereka adalah pemimpin kita, pemimpin bangsa ini.

Saat melintas di Bundaran Hotel Indonesia, saya membayangkan: Betapa indah, apabila para pemimpin Indonesia tersebut, tentu yang kini masih ada, duduk bersama, berdialog, saling membantu untuk kepentingan rakyat dan bangsa ini.

Ketika Presiden Yudhoyono dan Amien Rais, Ahad (27/5) lalu bertemu dan menjalin hubungan silaturahim, tradisi mulia antarpemimpin sedang bergulir dan memberikan warna dan aroma segar bangsa ini. Perbedaan sikap politik dan itu sah-sah saja sedang tumbuh dalam suatu taman bernama silaturahim. Ia menjadi bunga dalam aneka warna, aroma, dan bentuk. Bunga-bunga itu tumbuh mekar, tidak saling meniadakan, membuat taman bangsa ini justru menjadi indah.

Kearifan, kesabaran, saling menasihati dalam kebenaran, sangat penting bagi bangsa ini, bangsa yang mencari jalan meningkatkan martabatnya, mengangkat kemiskinan, dan mengakhiri silang sengketa. Bangsa ini membutuhkan kearifan dan keteladanan. Membutuhkan sebanyak mungkin tokoh yang menyiramkan air dalam api yang berkobar, bukan justru mereka yang menyiramkan bensin dalam api menyala-nyala.

Saya ingat Pak Natsir. Ketika menjadi Perdana Menteri pada 1950-1951, Ketua Umum Masyumi itu melibatkan IJ Kasimo, FS Hariyadi (Partai Katholik), J Leimena dan AM Tambunan (Parkindo), dan tokoh-tokoh sosialis dalam kabinetnya. Bagi Pak Natsir yang pernah menjabat sebagai Wakil Presiden World Muslim Congress dan Presiden The Oxford Centre for Islamic Studies London bangsa ini harus diurus bersama.

Perbedaan politik yang tajam masa itu antara Masyumi, Partai Kristen, Katholik, Nasionalis, dan Komunis, tidak membuat tali silaturahim tokoh-tokohnya putus. Itu karena, menurut Pak Natsir, yang bertengkar itu pikiran, masalah, bukan personal. ''Setelah itu, saya bisa minum teh, makan-makan bersama dengan tokoh-tokoh PKI,'' kata Pak Natsir. Beberapa masalah penting, malah diselesaikan melalui pertemuan informal. Para politisi tidak bicara kami dan kamu, tetapi kita, dalam hubungan kepentingan bangsa. (Majalah Editor, 23/7/1988).

Setelah keluar dari penjara masa Sukarno, hak-hak politik dan Pak Natsir tak kunjung pulih pada masa Orde Baru. Bahkan dimusuhi dan dilarang ke luar negeri. Namun, Pak Natsir pula yang meminta PM Jepang Takeo Fukuda membantu pendanaan Indonesia. ''Beliau yang meyakinkan kami tentang perjuangan masa depan Pemerintahan Orde Baru,'' tulis Fukuda. Pak Natsir pula yang menyurati PM Malaysia Tengku Abdul Rahman agar menerima tim perunding Indonesia dalam pemulihan hubungan kedua negara.

Pak Natsir tetap menghormati Sukarno meski rezim itu yang memenjarakannya, tetap membantu Indonesia pada masa Orde Baru meski rezim itu yang membelenggunya. Pak Natsir tidak pernah dendam. Begitulah seorang negarawan. Pak SBY dan Pak Amien telah bertemu dan ingin terus membina silaturahim. Betapa indah jika seluruh pemimpin berdialog, duduk bersama, dan memecahkan persoalan untuk menolong rakyat. Bangsa ini, bangsa yang memerlukan pertolongan ini, membutuhkan banyak negawaran. Seorang negarawan akan selalu dikenang karena ia berpikir dan berbuat untuk kepentingan negara dan rakyat, bukan untuk dirinya.


Menyoal Gerakan Mahasiswa

Oleh : Azyumardi Azra

Quo vadis gerakan mahasiswa? Kenapa sekarang kian banyak kelompok mahasiswa terlibat tawuran dan kekerasan? Dalam pekan-pekan lalu kita saksikan anarkisme dan kekerasan terjadi di kampus UGM Yogyakarta, UISU Medan, Universitas 45 Makasar, dan STAIN/IAIN Ambon. Daftar kekerasan di antara para mahasiswa pastilah bisa sangat panjang.

Apa pun alasannya, sangat memalukan kelompok-kelompok mahasiswa melakukan kekerasan di antara mereka sendiri atau pihak lain di kampus; merusak fasilitas pendidikan yang dibangun dengan susah payah. Saya mendapat kritik dari beberapa peserta pada seminar Nasional 'Gerakan Mahasiswa Era Reformasi' yang diselenggarakan PPSDM UIN Jakarta dan Balitbang Depag RI pada pekan kedua Mei 2007 lalu, ketika menyesalkan polah dan perilaku kelompok mahasiswa seperti itu.

Saya menyarankan, supaya para mahasiswa lebih berkeadaban dalam aksi dan unjuk rasa; tidak anarkis, seperti sering kita saksikan di TV. Tetapi, seorang peserta menyatakan, jika aksi, demo, dan unjuk rasa dilakukan dengan damai, tidak ada TV yang meliput; begitu mereka memblok jalan, membakar ban, dan seterusnya, barulah mereka mendapat liputan TV. Sayang juga, media, khususnya TV gagal mengembangkan 'jurnalisme perdamaian'.

Pertanyaan saya adalah: apakah aksi-aksi mahasiswa lebih untuk mendapatkan liputan TV yang senang mengekspose kekerasan, dan karena itu harus anarkis dan brutal? Ataukah sebaliknya, murni memperjuangkan idealisme guna mewujudkan Indonesia yang lebih baik? Para aktivis gerakan mahasiswa agaknya merenung kembali, apa tujuan mereka; menjadi aktivis untuk menarik liputan TV atau menjadi insan terpelajar yang berkeadaban.

Masa menjadi mahasiswa adalah masa pengembangan dan penguatan ilmu dan keahlian agar menjadi terpelajar (intelejensia). Meski merupakan transisi, jelas masa kemahasiswaan sangat menentukan perjalanan karier dan kehidupan mahasiswa; jika gagal kuliah, mereka bukan hanya gagal dalam mendapatkan gelar akademis, tetapi juga bisa gagal dalam masa depan dan kehidupan lebih baik. Kegagalan menjalankan tugas pokok belajar dalam menuntut ilmu dapat mengantarkan ke dalam kegelapan masa depan.

Bagi para aktivis gerakan mahasiswa, tugas dan kewajiban untuk sukses dalam kuliah menjadi lebih berat lagi, karena harus membagi waktu dan perhatian antara kuliah dan aktivisme gerakan kemahasiswaan. Tetapi, menjadi kewajiban moral para aktivis untuk sukses kuliah; adalah anathema bagi aktivis kalau kuliahnya amburadul dan menjadi mahasiswa abadi.

Sebagai figur kepemimpinan mahasiswa, aktivis seyogianya menjadi contoh yang baik (uswah hasanah) dan panutan moral bagi para mahasiswa lain, bahwa aktivisme kemahasiswaannya tidak mengganggu keberhasilan perkuliahannya; dan lebih jauh itu memiliki kesantunan dan keadaban atau akhlak mulia (akhlaq al-karimah).

Mahasiswa patut mengembangkan kepedulian sosialnya. Perguruan tinggi tempat mahasiswa menuntut ilmu memang seharusnya tidak menjadi ivory tower, menara gading, yang terpencil dari lingkungan sosialnya. Tetapi penting, dalam mengaktualisasikan kepedulian sosial (dan politik) atau aktivismenya, mahasiswa tetap berpegang pada prinsip akademis dan keilmuan perguruan tinggi. Mahasiswa harus berpijak pada sikap ilmiah, etik, moralitas, objektif, dan adil. Dalam mewujudkan aktivismenya, mahasiswa harus tidak berdasarkan prasangka dan emosi yang berujung pada tindakan tidak terkendali, untuk tidak mengatakan anarki. Inilah keadaban (civility), yang membuat mahasiswa punya hak disebut sebagai insan terpelajar.

Aktivisme mahasiswa --sebagai kekuatan moral-- mestilah tetap berpegang pada prinsip etis dan moral; jika keluar dari itu, gerakan mahasiswa kehilangan hak moralnya untuk mencoba memperbaiki berbagai keadaan yang tidak baik dalam masyarakat. Gerakan mahasiswa yang melanggar prinsip dan norma etik, moral, dan keadaban, hanya mendatangkan apatisme dari publik, bukan simpati dan empati.

Melihat perkembangan sekarang, gerakan mahasiswa tampaknya perlu melakukan restrospeksi dan introspeksi tentang pola, model, bentuk aktivisme. Perlu reorientasi gerakan dan aktivisme mahasiswa. Reorientasi itu tidak hanya mencakup pola, model, dan bentuk aktivisme yang lebih acceptable bagi publik, tetapi juga tentang pandangan dunia dan ideologi gerakan mahasiswa. Dengan begitu, aktivisme dan gerakan mahasiswa dapat kembali memiliki keabsahan filosofis, moral, dan etis.

Dalam aktivisme dan gerakan mahasiswa kini dan ke depan, peran-peran konvensional gerakan mahasiswa sebagai salah satu kekuatan kontrol sosial dapat terus dijalankan. Tetapi, aktivisme dan gerakan mahasiswa semestinyalah juga diorientasikan ke arah pengembangan berbagai aspek sangat esensial bagi masa depan negara-bangsa Indonesia; di antaranya adalah penguatan demokrasi dan good governance; pengembangan civic culture, dan civility; pemberdayaan lembaga-lembaga sosial yang dapat memperkuat integrasi bangsa.

KPK Akan Panggil Amien Rais

Penerima Dana Bisa Dijerat UU Korupsi

jakarta, kompas - Komisi Pemberantasan Korupsi akan mengundang Amien Rais dan Salahuddin Wahid untuk dimintai keterangan terkait pernyataan mereka mengenai dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan atau DKP. KPK akan mempelajari apakah penerimaan dana tersebut tergolong perbuatan tindak pidana korupsi ataukah pelanggaran Undang-Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua KPK Taufiequrachman Ruki, Rabu (30/5). Seperti diwartakan, Amien Rais mengaku menerima dana senilai Rp 200 juta langsung dari Rokhmin Dahuri, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan. Sedangkan Salahuddin mengatakan, tim kampanyenya mungkin menerima dana sebesar Rp 200 juta.

Ruki menyatakan, Amien dan Salahuddin dimintai keterangan agar tidak terjadi kesimpangsiuran atas pernyataan mereka. KPK memantau terus perkembangan persidangan kasus dana nonbudgeter DKP. Keterangan itu dilakukan di bawah sumpah sehingga dapat menjadi kesaksian dan menjadi alat bukti bagi pemeriksaan lebih lanjut.

KPK akan menginventarisasi fakta-fakta persidangan untuk disesuaikan data KPK. "Setelah itu, kita akan melihat siapa penerimanya. Kalau penerimanya adalah penyelenggara negara, maka mereka dapat dikenai dengan Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 atau pasal gratifikasi. Tetapi, kalau bukan, itu bukan tugas KPK untuk menanganinya karena KPK hanya melaksanakan UU Pemberantasan Tipikor," ujar Ruki.

Rabu kemarin, mantan Presiden Partai Keadilan Hidayat Nur Wahid (sekarang Ketua MPR) dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring menemui pimpinan KPK untuk meminta penjelasan tentang daftar penerima dana DKP yang beredar di masyarakat.

Dalam daftar tersebut disebutkan kader Partai Keadilan, Fahri Hamzah, menerima dana tersebut. Disebutkan juga PK menerima dana pada Desember 2003 Partai Keadilan sejumlah Rp 100 juta dan pada Maret 2004 Partai Keadilan menerima Rp 200 juta.

Baik Hidayat maupun Tifatul membantah hal tersebut. Mereka juga mempertanyakan validitas data tersebut, karena Partai Keadilan sudah tidak ada sejak April 2003.

Secara terpisah, Ketua Yayasan Blora Institute Taufik Rahzen mendesak agar aparat penegak hukum mengungkap dan menghadirkan kebenaran terkait aliran dana DKP ke Blora Center yang mendukung pencalonan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kampanye Pemilu 2004.

"Kebenaran harus diungkap dan dihadirkan terkait aliran dana DKP. Jangan dijadikan permainan persepsi," katanya.

(ana/jon/INU)

Pemberantasan Korupsi
Infrastruktur Pendukung Belum Memadai

Jakarta, Kompas - Meskipun perlawanan terhadap korupsi sudah dilakukan sejak era reformasi, hingga kini hasil pemberantasan korupsi belum optimal. Pemberantasan korupsi belum mampu menjangkau pejabat negara strategis. Belum mendukungnya infrastruktur pendukung membuat nuansa politis pemberantasan korupsi lebih kental dibandingkan upaya penegakan hukumnya.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi di Jakarta, Rabu (30/5), mengatakan, penegakan hukum terhadap koruptor belum mampu menjangkau birokrat posisi penting. Koruptor yang ditangkap umumnya akibat melanggar ketentuan administratif, bukan koruptor yang sebenarnya. Proses tebang pilih yang terjadi dikhawatirkan akan terus berulang dalam setiap pergantian rezim penguasa sebagai bentuk balas dendam. Koruptor yang ditangkap adalah mereka yang tidak disukai rezim yang sedang berkuasa. "Lingkaran pemberantasan korupsi hanya akan jungkir balik terus," katanya.

Menurut Hasyim, pemberantasan korupsi harus dilakukan secara total. Pemberantasan korupsi harus dirancang secara sistemik. Upaya perlawanan korupsi harus dilakukan dengan penahapan dan waktu pelaksanaan penegakan hukum yang jelas. Sistem yang kompatibel dengan pemberantasan korupsi di antaranya adalah gaji birokrat dan aparat penegak hukum yang memadai, penciptaan hubungan penguasa dan pengusaha yang transparan, serta reformasi birokrasi menyeluruh.

Secara terpisah, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ibrahim Fahmy Badoh mengatakan, belum optimalnya hasil pemberantasan korupsi disebabkan aparat penegak hukum belum bebas dari segala pengaruh politik. Intervensi politik membuat proses tebang pilih dalam penegakan hukum terjadi. (mzw)

Dana Kampanye Bisa Diatur Tersendiri

Pembahasan Jangan Terburu-buru

Jakarta, Kompas - Pembuatan undang-undang untuk mengatur dana kampanye dalam pemilu legislatif dan presiden bisa saja dilakukan bila memang dibutuhkan. Hanya saja, sampai sekarang, aturan dana kampanye masih diatur dalam RUU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta RUU Pemilu Presiden.

Hal itu disampaikan Kepala Pusat Penerangan Departemen Dalam Negeri Saut Situmorang, Rabu (30/5), menanggapi usulan pembuatan UU Dana Kampanye belajar dari kasus aliran dana Departemen Kelautan dan Perikanan. Usulan RUU Dana Kampanye dilontarkan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie. "Ya, boleh-boleh saja ada gagasan membuat UU Dana Kampanye, tergantung pembuat UU, yaitu DPR dan pemerintah. Sekarang sedang dibahas paket politik, jadi kalau aspirasi itu, disampaikan saja ke DPR," kata Saut.

Menurut Saut, bila aturan mengenai dana kampanye belum jelas dalam Paket RUU Politik, bisa dipertimbangkan untuk dibuat UU sendiri. Namun, jika aturan mengenai dana kampanye dapat diperjelas dalam pasal yang ada dalam Paket RUU Bidang Politik, maka pembuatan UU Dana Kampanye tidak diperlukan. Pemisahan satu bagian dari sebuah undang-undang untuk dijadikan undang-undang sendiri bisa saja dilakukan. Saut mencontohkan aturan tentang pemerintahan desa yang akan dipisahkan dari UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Waktu panjang

Pembahasan RUU politik diperkirakan memakan waktu panjang. Dalam draf RUU politik tercatat ada 1.036 pasal. Sebanyak 518 pasal di batang tubuh dan 518 pasal di bagian penjelasan. Tebalnya mencapai 241 halaman.

Ketua DPR Agung Laksono dan Menteri Dalam Negeri Ad Interim Widodo AS menargetkan pembahasan keempat RUU ini bisa selesai pada akhir Desember 2007.

Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Pramono Anung berharap keempat RUU ini tidak dibahas secara terburu-buru, tapi dilakukan secara mendalam. "Perlu ada tradisi baru. Pembahasan harus dalam. Yang penting tidak boleh lagi ada multitafsir," ucapnya kepada pers di Gedung DPP PDI-P, Lenteng Agung, Jakarta. Mengenai proses pembahasannya, PDI-P mengusulkan keempat RUU itu dibagi dalam dua tahap, seperti pada periode sebelumnya. (sut/sie)

Wednesday, May 30, 2007

Bom Politik Dana Dahuri Cetak E-mail

Oleh: Indra J Pilliang

Pemeriksaan atas aliran dana nonbujeter yang dikeluarkan oleh Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri memasuki babak baru yang serius. Sejumlah tokoh yang disebut-sebut menerima dana itu mengakui, sekalipun dengan catatan tidak tahu kalau dana itu berasal dari rekening dana nonbujeter DKP.

Alasan itu tentu sangat tidak logis, mengingat Dahuri tidak akan mampu memberikan dana jutaan rupiah hanya berasal dari gaji sebagai menteri atau dosen di Institut Pertanian Bogor. Aliran dana Dahuri itu menunjukkan bahwa politikus telah berkeliling di meja para menteri sambil menenteng amplop-amplop tertutup. Uang yang dialirkan tidak dalam bentuk transferan, tetapi langsung cash and carry. Kita tidak tahu persis bagaimana model dialog selama proses serah-terima uang itu dilakukan. Tetapi, satu kata pasti terlintas di kepala,“Ayo, cincai saja.” Bagaimana arah dari pemeriksaan atas aliran dana DKP ini? Yang pasti, cacat politik telah telanjur terjadi.

Kalau dana itu mengalir untuk kepentingan Pemilu 2004, baik pemilu legislatif atau pemilu presiden dan wakil presiden, ketentuan-ketentuan dalam UU No 12/2004 dan UU No 23/2003 telah dilanggar, terutama dari besaran dana dan pihak-pihak yang dilarang menyumbang. Patut diketahui, untuk pemilu legislatif dan pilpres,besaran dana yang bisa disumbangkan oleh perseorangan sebesar- besarnya adalah Rp100 juta dan Rp750 juta untuk badan hukum swasta. Kalau ada pihak yang mengaku menerima dana untuk kepentingan kampanye melebihi angka itu, berarti telah terjadi pelanggaran dan (akan) terkena pasal pidana pemilu.Namun,pasal pidana pemilu itu tidak bisa berlaku surut, alias konsekuensi hukum atas kasus ini sudah kedaluwarsa.

Kapasitas masing-masing orang yang memberikan dan menerima dana itu harus diletakkan dalam konteks ketika dana itu diberikan. Kalau mengaitkan dengan kepentingan pemerintahan dan politik hari ini,hanya akan masuk dalam delik-delik yang rumit yang mengarah kepada antisipasi atas pelaksanaan Pemilu 2009. Akan tetapi, terdapat celah hukum yang bisa saja berlaku surut berkaitan dengan posisi masing-masing calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu 2004 itu.

Amien Rais adalah Ketua Umum PAN dan Ketua MPR RI, Megawati Soekarnoputri adalah Ketua Umum PDIP dan presiden incumbent, Hamzah Haz adalah Ketua Umum PPP dan wakil presiden incumbent. Sementara Susilo Bambang Yudhoyono dan Wiranto tidak sedang menjadi pejabat publik. Kalau Amien,Mega,dan Hamzah diasumsikan menerima aliran dana dari DKP, maka pasal-pasal menyangkut gratifikasi bisa dikenakan.

Rekam Jejak

Namun, bukan berarti Yudhoyono juga bisa melenggang kangkung apabila terbukti menerima dana DKP. Dia bisa saja dituduh telah melakukan perbuatan tercela atas rekam jejak selama kampanye. Ketika Bill Clinton menerima dana kampanye dari salah satu pengusaha Indonesia pada pemilu 1996 di Amerika Serikat, sejumlah kontroversi menyeruak di Amerika Serikat dan Indonesia, mengingat jumlahnya yang melebihi batas sumbangan. Dengan gambaran itu, berarti persoalan dana DKP ini menjadi bom waktu dan bola salju yang bisa bergulir ke mana saja.

Dalam konteks itu, masuk akal apabila Yudhoyono menjadi begitu gusar sehingga mengeluarkan kalimatkalimat yang mengandung kemarahan dan kegelisahan yang kental. Di tengah penurunan popularitas yang terjadi,Yudhoyono mencoba memanfaatkan masalah dana DKP ini sebagai persoalan publik. Padahal, ketika Amien menyampaikan dalam sejumlah wawancara dan forum publik, halamanhalaman media masih terbatas mengulas masalah ini berdasarkan alibi masing-masing pihak.

Bisa diinterpretasikan bahwa Yudhoyono sedang mengadu kepada rakyat atas masalah yang dia hadapi. Perkembangan ini tentu positif dalam konteks demokratisasi dan transparansi.Hanya, bagi penganut paham hukum positif, bisa jadi menarik persoalan yang muncul dalam proses peradilan atas kasus dana DKP keluar ruang pengadilan, apalagi dalam kapasitas Yudhoyono sebagai Kepala Negara dan Amien Rais sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Partai PAN, maka bisa masuk kategori intervensi atas proses peradilan.

Sehingga yang lebih layak dilakukan adalah pernyataan yang dikeluarkan oleh Amien,Salahuddin Wahid,Muhammad Fuad Nuh, Fahri Hamzah, Hasyim Muzadi, dan Yudhoyono sendiri itu disajikan dalam persidangan.Mereka harus dihadirkan sebagai saksi dan pernyataanpernyataan mereka berada di bawah sumpah. Dengan begitu,kebenaran dan kepalsuan atas pernyataan-pernyataan mereka langsung diuji oleh proses peradilan dan diputuskan oleh majelis hakim. Setelah itu, lembaga-lembaga lain yang berkenaan dengan korupsi, gratifikasi, atau bahkan yang melakukan pengawasan terhadap para pejabat negara menindaklanjutinya. Selain itu, para penerima dana DKP itu layak mengembalikan uang yang tidak jelas asal-usulnya itu. Sikap lepas tangan dengan mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui sumber dana itu menunjukkan permisifme yang kuat atas dana-dana (pejabat) publik lain.

Pemilu 2009

Langkah lain yang harus dilakukan adalah bagaimana mengantisipasi agar kasus ini tidak terulang dalam Pemilu 2009. Proses revisi paket undangundang di bidang politik menjadi bagian penting, terutama menyangkut tim kampanye, dana kampanye dan sanksi terhadap hukum pidana pemilu. Dalam hal yang menyangkut sumbangan pihak ketiga, sebaiknya dilarang dalam bentuk cash, melainkan langsung dimasukkan ke dalam rekening para kandidat, kecuali dalam bentuk barang.Pemilu 2004 yang disiapkan terburu-buru, mengingat keterlambatan pemerintah dan DPR menyepakati pasal-pasal dalam paket undangundang politik, justru mengurangi antisipasi kepada persoalan-persoalan teknis dan detail,termasuk dalam soal dana kampanye.

Dalam logika politik, perseteruan antara Yudhoyono dengan Amien ini akan memengaruhi peta politik tahun 2009. Yudhoyono bisa saja akan berhadapan langsung dengan Amien,tetapi Amien bukanlah orang yang mudah dikandaskan. Amien terbukti mampu menggerakkan sejumlah elite untuk membentuk kaukus atau poros, sehingga dikenal dengan sebutan si Kancil. Sementara Yudhoyono terlalu terpesona dengan diri sendiri sehingga kehilangan sentuhan dalam pendekatan personal. Fleksibilitas Amien dan kekakuan Yudhoyono adalah dua sikap yang saling berhadapan.

Untuk jangka pendek, pengaruh terpenting perseteruan Amien dengan Yudhoyono ini adalah menyangkut posisi PAN terhadap pemerintah.Dua menteri yang berasal dari PAN, yakni Hatta Rajasa dan Bambang Soedibyo, bisa jadi akan terjepit, ketika persoalan Amien versus Yudhoyono meluas menjadi persoalan PAN dengan Yudhoyono. Pada tataran ini, Amien jelas akan lebih dibela, ketimbang posisi Hatta atau Bambang. Sebagai magnet politik paling utama, Amien memiliki pengaruh kuat dalam tubuh politikus PAN. Faktor inilah yang barangkali luput dari perhatian Yudhoyono. Namun, apa pun implikasi hukum dan politiknya, sebaiknya persoalan aliran dana DKP diselesaikan secara hukum, bukan secara politik, apalagi secara adat. (*)

Indra J Pilliang
Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta

Anomali Kejujuran Berkorupsi Cetak E-mail

Oleh: A Bakir Ihsan

Jujur sejatinya perbuatan terpuji. Namun, jujur dalam hal berkorupsi, tentu sulit kita pahami. Jagad atmosfer negeri ini kembali disesaki oleh wacana penuh ambigu. Tindak korupsi yang jelas terjadi, dialihkan pada perdebatan pengakuan dan penolakan atas tuduhan korupsi.

Anehnya, pengakuan bertindak koruptif dianggap sebagai blessing in disguest. Sebuah pengakuan atas perbuatan yang sungguh tercela secara sosial, dipuja bak seorang pahlawan. Fakta ini membuktikan adanya simulakra wacana yang menghegemoni sekaligus ”memanipulasi” kesadaran tanpa disadari. Pengakuan Amien Rais menerima dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) mencuat bukan karena pengakuannya.

Namun, karena provokasinya agar orang lain turut mengakui hal yang sama. Provokasi tersebut mengundang reaksi. Paling tidak, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara khusus merespons tuduhan yang dianggapnya fitnah yang keji. Pengakuan Amien Rais sesungguhnya bukan hal baru. Sebelumnya, beberapa orang sudah mengakuinya.Di antaranya Slamet Effendi Yusuf, Ketua Badan Kehormatan DPR, yang mengaku menerima dana tersebut untuk pembangunan masjid di sebuah pesantren. Namun, pengakuan ini tak segaduh pengakuan Amien Rais, karena tidak memprovokasi yang lain. Bahkan, pimpinan DPR sepakat ”mengambangkan” isu tersebut dan meminta aparat terkait menyikapinya sesuai prosedur hukum.

Pengakuan Amien dengan segala provokasinya merupakan sebuah represi kesadaran yang bisa memunculkan paradoksalitas. Pengakuan dan penolakan pada titik ini sama-sama absurdnya. Apalagi data yang dipakai masih harus dibuktikan secara valid. Bahkan, Amien Rais sendiri mengaku hanya menerima Rp200 juta, sementara data dari persidangan yang diekspos media massa, Amien menerima Rp600 juta dengan tiga kali pembayaran.

Dari sini, pengakuan Amien lebih bernuansa politis. Pengakuan tersebut meluncur lebih karena desakan media massa yang terus mengungkit dana yang diterima Amien secara langsung. Dan Amien Rais mengakui dengan embel-embel ”tuduhan” pada pihak lain. Inilah yang mencederai pengakuan Amien atas penyimpangan dana yang diterimanya secara langsung.

Fokus DKP

Wacana aliran dana DKP ini akan terus memicu perdebatan apabila tidak ada fokus dan klarifikasi yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Akibatnya, substansi pengusutan dana DKP bisa melenceng ke mana-mana. Ini menunjukkan adanya upaya pengalihan arah dari substansi persoalan awal, yaitu mengungkap korupsi di DKP. Kalau pada akhirnya muncul nama-nama penerima dana DKP, hal ini masih perlu klarifikasi dan diproses secara hukum setelah persoalan DKP sendiri clear. Karena beberapa nama yang tercantum sebagai penerima dana DKP menolak ”tuduhan-tuduhan” yang dilansir pejabat DKP.

Oleh karena itu, persoalan korupsi dana DKP harus diusut tuntas terlebih dahulu menyangkut siapa yang paling bertanggung jawab atas penggunaan secara ilegal dana nonbujeter tersebut. Setelah pengusutan problem internal DKP ini selesai, pengusutan lanjutannya adalah para penerima dana tersebut. Semua proses ini harus berjalan sesuai koridor hukum. Dalam kasus dana nonbujeter DKP, terlihat jelas dana tersebut paling banyak mengalir ke kantong-kantong politik. Mulai atas nama partai sampai tim sukses Pilpres. Inilah salah satu pintu masuk yang menjerat mantan menteri DKP, Rokhmin Dauri, dalam penyimpangan dana DKP.

Namun, pembeberan fakta-fakta penerima dana, walaupun masih harus di-crosscheck, merupakan langkah jitu untuk membuat jera para aparat negara yang biasa mengeruk uang negara. Catatan seperti ini seharusnya bisa dibeberkan oleh para tersangka korupsi lainnya. Paling tidak, catatan ini menjadi pertanggungjawaban atas penyimpangan dana negara yang mengalir tak wajar.

Sudah menjadi rahasia umum, departemen menjadi sapi perahan berbagai kepentingan. Dan departemen merasa ”nyaman”, karena eksistensinya ditentukan oleh lancar tidaknya aliran dana ke kantong-kantong (kader) parpol. Itulah sebabnya rebutan kursi kabinet (departemen) selalu dikaitkan dengan upaya penyerapan keuntungan finansial sebanyak mungkin dari negara.

Hancurnya Keteladanan

Penyimpangan dana DKP dan tindak korupsi di sektor-sektor lainnya membuktikan pemberantasan korupsi di negeri ini masih jauh panggang dari api. Apalagi yang terlibat tenyata orang-orang yang sejatinya menjadi pionir untuk tidak berbuat koruptif. Ini membuktikan bahwa antikorupsi belum menjadi napas dalam diri bangsa ini. Di sinilah pentingnya kesadaran untuk tidak berkorupsi. Kita patut prihatin atas kasus korupsi yang melibatkan para tokoh yang sejatinya menjadi teladan.

Teladan yang dibutuhkan bukan dalam bentuk kejujuran (pengakuan) berkorupsi yang justru bisa membodohi rakyat. Apa pun alasannya, korupsi tetaplah dosa sosial yang tak terampuni oleh pengakuan. Bahkan, oleh pengembalian dana yang telah dikorupsi. Ia merupakan cacat moral yang tak mungkin terhapus dari memori sejarah negeri ini.

Fakta korupsi di atas memperlihatkan bahwa elite di negeri ini hanya menyisakan ruang kesadaran untuk diri, keluarga, dan elite lainnya demi eksistensi dirinya, bukan untuk rakyat. Inilah koalisi bejat yang menikam hati nurani rakyat. Baik pemberi dan penerima sama-sama menjadi bagian dari penyubur tindak korupsi yang menyesakkan napas bangsa. Untuk itu, transformasi kesadaran di kalangan tokoh-tokoh yang sejatinya menjadi guru bangsa harus dikritisi ulang.

Penguatan Nilai

Silang sengkarut korupsi di negeri ini merupakan tantangan bagi pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi tidak hanya persoalan struktural. Karena pada kenyataannya sistem kontrol yang selama ini sudah ada belum ampuh memupus tindak korupsi. Kontrol hukum dan lembaga-lembaga pemberantasan korupsi merupakan alat yang efektivitasnya ditentukan oleh nilai (budaya). Mekanisme kontrol eksternal, seperti perangkat hukum dan lembaga an-tikorupsi, sangat mudah dibentuk.

Namun, ia layaknya hardware (perangkat keras) yang fungsinya ditentukan oleh software (program) di dalamnya. Itulah sebabnya diperlukan nilai-nilai berupa komitmen dan kesadaran yang mewarnai lembaga dan seluruh tatanan yang ada sehingga sistem tidak bergerak ke arah yang anomalis. Hancurnya nilai-nilai antikorupsi, menyebabkan orang tak sensitif terhadap asal-usul dana yang masuk ke kantongnya.

Orientasi kekuasaan telah membutakan mata hati para elite untuk menanyakan siapa dan dalam rangka apa seseorang menyumbang dana.Tidak adanya kontrol internal (nurani) ini menyebabkan terjadinya anomali kejujuran. Orang tanpa malu jujur mengakui keterlibatan dirinya dalam korupsi. Pada titik tertentu, kejujuran adalah terpuji. Namun, jujur dalam perbuatan tercela (korupsi) tetap harus disesali. Dan yang kita butuhkan bukan penyesalan, tapi kehendak untuk tidak pernah berbuat korupsi. (*)

A Bakir Ihsan
Dosen Ilmu Politik Fakultas Ushuluddin & Filsafat UIN Jakarta

Kebangsaan
Perlu Dibangun Optimisme Bersama

Jakarta, Kompas - Pembentukan bangsa kita memang belum selesai, apalagi saat ini sedang mengalami keterpurukan yang cukup parah. Namun, di antara keterpurukan itu masih ada anak-anak bangsa yang dengan semangat tetap mengusahakan perbaikan.

"Inilah harapan dan optimisme yang dibutuhkan bangsa Indonesia saat ini," kata pendiri Maarif Institute, Syafii Ma’arif, dalam malam penganugerahan Maarif Award di Jakarta, Senin (28/5) malam. Maarif Institute for Culture and Humanity memberikan penghargaan kepada anggota Tim Gabungan Pencari Fakta konflik Poso Arianto Sangadji dan Pendeta Jacklevyn Frits Manuputty yang telah membangun jembatan dialog penghubung komunitas Kristen dan Muslim di Maluku dalam usaha mencari penyelesaian damai.

"Indonesia memang sedang terpuruk, tapi di ujung lorong sana masih ada cahaya. Kita harus bisa membangun optimisme bersama. Apalagi masih banyak anak bangsa yang terus berjuang demi harkat dan martabat bangsa," ujar Syafii. Menurut dia, sebagian besar warga bangsa sekarang sedang berjalan dalam arus pragmatisme.

Tidak heran, menurut Syafii, jika saat ini jarang sekali ada kebijakan yang betul-betul diperuntukkan bagi rakyat. Bahkan, dasar negara Pancasila lebih banyak dihargai dalam kata-kata dan tulisan, tetapi tidak dalam perbuatan.

Manuputty mengatakan, bangsa ini sedang mengalami kerapuhan. Bahkan, sesungguhnya sedang menuju jalur bebas hambatan menuju disintegrasi bangsa.

"Apalagi di negeri ini demokrasi telah menjadi etnokrasi karena nasionalisme kebangsaan telah tererosi maknanya menjadi nasionalisme etnis, nasionalisme agama, budaya dominan, bahkan nasionalisme transnasional," ujarnya.

Dalam menyelesaikan kasus konflik yang muncul, menurut Sangadji, bangsa ini lebih senang mencari kambing hitam. Padahal, dengan usaha bersama dan itikad baik untuk mencari penyelesaian, akan ada jalan keluar. (MAM)

Dana Pilpres Harus Lewat Satu Pintu

Politisi DPR Gagas Hak Angket

Jakarta, Kompas - Penerimaan dan penggunaan dana kampanye pemilihan umum presiden dan wakil presiden harus dilakukan melalui satu pintu. Ini untuk memudahkan pertanggungjawabannya. Masuknya dana kampanye kepada tim sukses yang tidak terdaftar di Komisi Pemilihan Umum atau KPU membuat banyak sumbangan kampanye sulit ditelusuri legalitasnya.

Dikatakan Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform (Cetro) Hadar N Gumay di Jakarta, Selasa (29/5), tim kampanye dan tim sukses harus menjadi satu dalam pelaporan dana kampanye. Selama ini hanya dana tim kampanye yang dilaporkan ke KPU, sedangkan dana tim sukses yang jumlahnya jauh lebih besar justru tak dilaporkan.

Pelaporan dapat dibuat terpusat untuk seluruh Indonesia dengan risiko kerumitan yang tinggi atau dibuat pelaporan berjenjang di setiap tingkatan KPU. Penjenjangan laporan akan mempermudah proses audit. Jika ditemukan dana kampanye bermasalah, KPU daerah bisa mengambil tindakan dan disampaikan ke KPU yang lebih tinggi.

"Parpol di pusat harus menjadi penanggung jawab penuh atas seluruh dana yang masuk dan digunakan. Penyebutan pihak yang bertanggung jawab atas dana kampanye harus disebut jelas di undang-undang," kata Hadar.

Secara terpisah, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti mengatakan, perlu dikembangkan model audit investigatif oleh KPU melalui lembaga audit publik untuk menyelidiki dana riil kampanye. Selama ini jumlah dana kampanye yang dilaporkan hanya kecil. Padahal, dalam kenyataannya, kampanye yang dilakukan membutuhkan dana jauh lebih besar dari yang dilaporkan.

Masa pelaporan pelanggaran, yakni penggunaan dana ilegal, kekerasan dalam pemilu, dan manipulasi suara harus diperpanjang. Pembatasan masa pelaporan membuat pelanggaran yang ditemukan di kemudian hari sulit ditindaklanjuti.

Penyelesaian politik

Secara terpisah, sejumlah politisi DPR menilai penyelesaian damai antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Amien Rais, terkait dugaan penerimaan dana non-anggaran Departemen Kelautan dan Perikanan serta dana asing dalam Pemilu 2004, tak dapat menghentikan proses hukum dan politik atas dugaan terjadinya penyelewengan dana itu. Mereka pun berniat menyelidiki kasus itu, termasuk menggagas penggunaan hak angket atau hak menyatakan pendapat.

"Besok (Rabu ini), pengusul akan konferensi pers," ucap Fahri Hamzah dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, seorang inisiator gerakan itu. Gerakan tersebut dibahas di rumah seorang pejabat tinggi negara. (mzw/sut)

Akhir Drama Gertak Sambal

M Fadjroel Rachman

Hukum harus ditegakkan di Republik Indonesia! Di depan hukum semua orang setara, tanpa kecuali, itulah prasyarat (conditio sine qua non) untuk membentuk demokrasi dan negara hukum (rechstaat).

Jika ada pengecualian untuk warga negara tertentu, dan untuk kasus tertentu, maka hancurlah bangunan demokrasi dan negara hukum seperti istana pasir disapu gelombang. Kita akan tersesat dalam hutan homo homini lupus dan praktik kekuasaan Machiavelian.

Kita, warga negara, harus melihat kesepakatan perdamaian antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Amien Rais sebagai kesepakatan perdamaian pribadi (Kompas, 29/5), sama sekali tidak menghapus kemungkinan perkara hukum terkait kasus Rokhmin Dahuri dalam korupsi di Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) atau kasus lain yang melanggar UU No 23/2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres).

Republik tanpa moralitas

Rokhmin adalah pecundang, seorang oportunis yang dikepung banalitas hasrat berkuasa dengan segala cara, demikian pula sejumlah pejabat tinggi negara lainnya. Uang negara digangsir untuk membeli kekuasaan pada siapa pun pasangan calon presiden-wakil presiden pada Pemilu 2004. Sekadar untuk mempertahankan kursi menteri!

Pertarungan machiavelistik untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan berlangsung liar seperti membuka kotak pandora kejahatan. Mulailah satu per satu sasaran rentan dan korup (juga) dipilih dan berjatuhan: Said Agil Husin al Munawar (Menteri Agama Kabinet Megawati), Widjanarko Puspoyo (mantan Kepala Bulog pilihan Megawati, dulu kader Golkar yang membelot ke PDI-P), dan Rokhmin Dahuri (Menteri DKP Kabinet Megawati). Namun, seperti kata pepatah, menepuk air di dulang tepercik muka sendiri. Berbaliklah semua kejahatan itu dan membasahi bukan hanya muka si penepuk air, tetapi juga tubuh dan orang-orang di sampingnya.

Perburuan koruptor secara tebang pilih menjerat Rokhmin. Agar tak menjadi korban sendiri, ia berbalik membawa siapa pun. Siapa terkena? Hampir semua generasi kepemimpinan politik nasional hari ini!

Rokhmin mewartakan secara terbuka di muka pengadilan, tak seorang pun dari generasi kepemimpinan nasional hari ini yang kebal dari suap-menyuap, kebal dari korupsi, meski setiap hari berteriak antikorupsi.

Secara tidak sengaja, Rokhmin membantu Republik membersihkan generasi kepemimpinan nasional korup dan tak bermoral. Para pemimpin nasional yang tanpa rasa bersalah mengubah cita-cita Res Publica (urusan umum) menjadi Res Privata (urusan pribadi). Kepemimpinan nasional yang tak bermoral ini mempermainkan uang publik, dengan mempertaruhkan nasib RI, taruhan di meja judi politik untuk kepentingan pribadi, jangka pendek dan parokial.

Inilah kondisi yang layak disebut vacuum of morality power, meski penguasa politik nasional ada, mereka tidak berkuasa lagi, sekadar simbol seremonial, bahwa Republik ini memiliki lembaga negara. Sebuah Republik tanpa moralitas!

Kondisi inilah yang terjadi di Indonesia, saat bom atom Amerika menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki, terjadi kondisi vacuum of political power, penguasa politik Jepang masih ada, tetapi mereka tidak berkuasa lagi. Pada momentum itulah generasi kepemimpinan nasional baru, seperti Soekarno, Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, dan para pemuda, menyatakan kemerdekaan Indonesia.

Tegakkan hukum

Kemuakan publik atas perilaku korup dan tak bermoral kepemimpinan nasional saat ini tak membuat mereka merasa bersalah. Ada yang berpura-pura tidak tahu peraturan pilpres, sumbangan sukarela, hingga nama-alamat pendukung fiktif.

Padahal, buku peraturan pilpres menyebutkan, sumbangan dari individu hanya dibolehkan Rp 100 juta, bukan Rp 200 juta atau lebih! Jika pelaporan tidak benar, pada UU No 23/2003 tentang Pilpres disebutkan pasangan calon bersangkutan dapat dipidana 1 (satu) tahun. Bahkan Panitia Pengawas Pemilu 2004 telah melaporkan dugaan dana kampanye fiktif yang melanggar UU No 23/2003 itu.

Pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, misalnya, diduga melaporkan dana fiktif Rp 4,045 miliar, sedangkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla senilai Rp 1,625 miliar.

Komisi Pemilihan Umum seharusnya segera melakukan audit dana kepresidenan 2004 kembali, serta memanggil Yudhoyono-Kalla, Megawati-Hasyim, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo, dan Jenderal (Purn) Wiranto-Salahuddin Wahid.

Jangan ragu, apa pun jabatan mereka, semuanya sama di depan hukum, itulah jantung demokrasi! Kepada penegak hukum, cepatlah bertindak menyelidiki Amien Rais atau siapa pun yang diungkapkan di pengadilan Rokhmin Dahuri, untuk kejahatan tindak pidana umum.

Kongkalikong politik

Ketika penegak hukum diimbau harus menyelesaikan skandal politik memalukan ini, pesimisme menyebar di Tanah Air. Mungkinkah? Semula masyarakat berharap Amien Rais yang balas menggertak mau "buka-bukaan" setelah digertak Presiden Yudhoyono. Ternyata keduanya cuma gertak sambal! Sungguh, antiklimaks yang hambar sekaligus mencurigakan.

Pertemuan yang difasilitasi Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa "tercium" berbau kongkalikong politik kekuasaan. Tudingan muncul, pasti ada deal, saling beri dan menerima konsesi. Jika benar demikian, tentu lebih terhormat Menteri Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang, Toshikatsu Matsuoka, yang bunuh diri (Senin, 28/5) karena skandal korupsi dana politik. Di sini, jangankan ada menteri mundur, apalagi bunuh diri.

Kepada siapa Republik ini berharap? Kita seharusnya berharap kepada warga negara yang mencintai Republik ini dan kekuatan generasi kepemimpinan nasional baru. Kita tidak mungkin menyandarkan keselamatan Republik hanya pada seorang pemimpin nasional. Republik ini memerlukan satu generasi kepemimpinan nasional baru di segala bidang, tanpa kecuali.

Sejarah adalah wajah tindakan manusia. Dari tindakan yang berani dan bermoral akan muncul harapan baru. Selamat jalan generasi kepemimpinan nasional lama yang korup, rakus, berkuping tipis, dan machiavelistik. Selamat datang generasi kepemimpinan nasional baru yang akan menegaskan moralitas publik baru di Republik tanpa moralitas sekarang ini.

M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)

Nurani dan Akal Sehat

Saat menyampaikan Penghargaan Maarif, Senin (28/5) lalu, Prof Syafii Maarif mengingatkan kita tentang kondisi krisis yang terus-menerus menerpa bangsa.

Dari hasil perenungannya, Prof Syafii Maarif melihat penyebab utama dari krisis yang tidak pernah berakhir itu adalah perilaku kita. Secara khusus ia melihat hilangnya nurani dan akal sehat dari bangsa ini.

Hilangnya nurani dan akal sehat membuat kita cenderung memikirkan diri kita sendiri. Kita kehilangan kepekaan dan kepedulian terhadap kehidupan masyarakat yang lebih besar.

Apa yang terjadi dalam aliran dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan bisa dijadikan cermin betapa kita selalu mendahulukan tujuan daripada proses. Bahkan dari sana kita bisa mengambil pelajaran, betapa kekuasaan itu menjadi tujuan yang harus kita raih, tanpa kita mau peduli apakah itu diraih dengan cara yang benar atau tidak.

Mengapa kita mengatakan seperti itu? Sebab kita menangkap seperti adanya kenaifan. Para calon presiden pada Pemilihan Presiden 2004 maupun tim suksesnya menganggap dana yang diperoleh dari para pejabat DKP sebagai dana yang sah. Mereka tidak menyangka bahwa uang bernilai jutaan yang mereka peroleh itu berasal dari penyalahgunaan anggaran negara.

Padahal, kalau nurani dan akal sehat kita berbicara, seharusnya kita tahu uang ratusan juta rupiah yang diterima pasti berasal dari anggaran negara. Sebab kita tahu menteri dan pejabat yang sedang menduduki jabatan ketika itu bukan berasal dari kalangan pengusaha yang memiliki simpanan yang berlebihan. Mereka adalah dosen atau pegawai negeri sipil yang bisa kita ukur pendapatannya.

Kita tidak ingin masuk lebih dalam terhadap kasus yang saat ini sedang berproses di pengadilan. Yang lebih pantas menjadi perhatian kita bersama bagaimana kita melihat perjalanan bangsa dan negara ini ke depan.

Sepanjang kita tidak mau menyadari kesalahan yang sudah terjadi dan memperbaiki perilaku kita, seumur-umur kita tidak akan lepas dari persoalan seperti ini. Siapa pun presiden yang terpilih di masa mendatang tidak akan pernah lepas dari jeratan persoalan seperti yang terjadi sekarang ini.

Mustahil bagi kita untuk bisa memperbaiki perikehidupan bangsa ini sepanjang kita tidak mampu mengubah orientasi kita yang sekadar mengejar kedudukan, sekadar mengejar kekuasaan, sekadar mementingkan diri sendiri.

Seperti halnya Prof Syafii Maarif, kita percaya bahwa bangsa ini masih mempunyai harapan. Kecintaan terhadap negara ini masih cukup besar dan masih banyak orang yang peduli terhadap masa depan bangsa dan negara ini.

Tantangan kita bagaimana membuat orang-orang yang masih memiliki nurani dan akal sehat tidak kalah dalam peran dan gaungnya dari mereka yang hanya mementingkan diri sendiri. Untuk itulah kita semua harus mengawal proses demokrasi ini agar tidak "dibajak" dan disalaharahkan oleh pihak-pihak tertentu.

***

Lain Indonesia, Lain Pula Jepang

Terbongkarnya skandal suap telah membuat Menteri Pertanian Jepang Toshikatsu Matsuoka memilih bunuh diri di tiang gantungan awal pekan ini.

Itulah cara yang tidak jarang digunakan pejabat Jepang jika tersandung korupsi. Rasa malu dan bersalah yang luar biasa memaksa pejabat mengundurkan diri, bahkan bunuh diri. Hanya beberapa jam sebelum memberikan keterangan di panitia parlemen atas skandal dana politik dan manipulasi kontrak bisnis, Matsuoka (62) bunuh diri di apartemennya.

Ia dituduh menerima suap lebih dari 28 juta yen, atau sekitar Rp 2,2 miliar. Perdana Menteri Shinzo Abe amat terguncang atas cara Matsuoka mengakhiri hidupnya yang begitu tragis. Matsuoka merupakan menteri pertama yang bunuh diri sejak akhir Perang Dunia II.

Lain Jepang, lain pula China dan Indonesia. Di Jepang, hukuman pertama-tama datang dari dalam diri pejabat sendiri, yang merasa terpukul dan bersalah atas perbuatan korupsi. Sebelum diproses secara hukum, pejabat yang merasa bersalah langsung mengundurkan diri, atau bunuh diri seperti kasus Matsuoka.

Sementara di China, hukuman tidak pertama-tama datang dari kesadaran diri pejabat sendiri, tetapi dari penegak hukum. Sulit menemukan pejabat yang mengundurkan diri karena merasa malu atau bersalah, tetapi penegak hukum sangat efektif menjatuhkan hukuman. Pejabat yang korupsi dipecat, dipenjara, bahkan ditembak mati atau dibawa ke tiang gantungan.

Lain pula di Indonesia. Tidak seperti di Jepang, sulit sekali menemukan budaya malu dan rasa bersalah di kalangan pejabat Indonesia sekalipun dituduh tersandung korupsi. Jangankan mengundurkan diri, apalagi bunuh diri, pejabat yang tersandung korupsi sulit sekali mengaku bersalah dan menyatakan rasa malu. Sebaliknya cenderung menutup-nutupi, dan tanpa canggung mencitrakan diri seolah-olah sebagai pejabat atau bekas pejabat yang bersih.

Juga tidak seperti di China, pemberantasan korupsi di Indonesia tidak berjalan efektif karena penegak hukum sering disebut tidak tegas dan kurang bersih. Sering terdengar istilah tebang pilih, atau mafia peradilan. Tidak ada hukuman mati bagi koruptor seperti di China sekalipun pejabat dan masyarakat Indonesia mengagumi cara China atau Jepang dalam melawan korupsi.

Arah kampanye melawan korupsi di Indonesia pun tidak jelas. Secara kultural, budaya malu di kalangan pejabat Indonesia tidak sekuat di Jepang. Sementara secara struktural, penegak hukum Indonesia tidak setangguh di China yang mampu menghukum berat, termasuk hukuman mati bagi koruptor.

Tuesday, May 29, 2007

Kultur Barat Lawan Kultur Jawa

TJIPTA LESMANA

Pertikaian Amien Rais dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait dana nonbudgeter Departemen Kelautan dan Perikanan adalah pertarungan kultur barat dan kultur Jawa.

Kultur Jawa mengagungkan kerukunan dan keharmonsian. Rukun berarti berada selaras, tenang, dan tenteram. Antarsesama, jangan membuka aib. Kritik terbuka—apalagi kecaman—harus dihindarkan. Namun, oleh Soeharto prinsip "rukun" dipelesetkan untuk membungkam lawan atau mereka yang kritis.

Awal Oktober 1995, misalnya, Menteri Negara Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja mengkritik pemerintah, menilai terjadi ketidakberesan dalam komunikasi politik. Akibatnya, sulit menentukan arah dialog politik yang mampu menumbuhkan kesadaran pencapaian cita-cita bangsa (Kompas, 4/10/1995). Pernyataan Sarwono memancing kontroversi di antara sesama menteri. Soeharto marah.

Dalam perjalanan pulang dari Osaka ke Jakarta, di pesawat, Soeharto mengingatkan semua pihak bahwa landasan pembangunan yang diletakkan menuju kemampuan Indonesia bersaing dengan negara lain jangan diganggu "tetek bengek" yang menggelisahkan rakyat, tidak bisa memanfaatkan peluang pasar (Kompas, 21/11/1995). "Kalau dibiarkan diganggu berita-berita yang tidak benar, semua potensi kita akan terganggu, timbul keragu-raguan, tidak bisa memusatkan tenaga dan pikiran untuk membangun sehingga peningkatan daya saing kita menjadi kurang!"

Kultur Jawa

Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga bercorak kultur Jawa, tak beda dengan Soeharto. Perhatikan berbagai pernyataannya, "Kalau bicara hati-hati", "Jangan sembarang kritik", "Jangan memfitnah", "Membangun budaya damai".

Namun, pemimpin tipikal Jawa pun bisa marah. Soeharto menggunakan kata "gebuk" untuk mengultimatum para politisi yang tergabung dalam kelompok Petisi 50 saat ia mencurigai langkah-langkah mereka sudah mengarah ke tindakan makar. SBY pun mengancam akan menyeret Amien Rais ke pengadilan jika "nyata-nyata Amien Rais atau siapa pun menuduh saya (menerima dana nonbudgeter DKP) di depan umum."

Amien bicara dengan kultur Barat saat (a) mengakui menerima sumbangan dana dari mantan Menteri Rokhmin Dahuri dan siap mempertanggungjawabkannya secara hukum; (b) meminta agar calon presiden 2004 lain mengakui secara ksatria kalau juga menerima bantuan serupa. Ia tidak pernah menuduh secara eksplisit pasangan SBY-JK ikut menikmati dana itu. Bahwa opini publik berkembang dan mengarah ke nama SBY-JK, itu bisa dimaklumi sebab dari persidangan Menteri maupun Sekretaris Jenderal DKP terungkap, hampir semua calon presiden/wakil presiden dikatakan menerima melalui tim sukses mereka.

SBY atau calon presiden 2004 mana pun tidak usah kebakaran jenggot jika merasa tak menerima. Seyogianya SBY tidak menggunakan komunikasi konteks Jawa dalam menanggapi serangan Amien, tetapi perintahkan saja pengadilan atau aparat penegak hukum "membuka" kotak pandora yang dilemparkan Rokhmin.

Konteks kultur Jawa pada era Orde Baru dan Reformasi amat berbeda. Pada era Orde Baru, siapa pun tak berani merespons, apalagi menantang, saat melihat Soeharto gusar. Pada era reformasi tidak ada yang takut. Bahkan kian memprovokasi SBY untuk melampiaskan amarahnya setiap kali ia melontarkan pernyataan kontroversial!

SBY perlu memahami, kultur Jawa sudah kehilangan pamor. Pada rezim Orde Baru, kekuasaan Soeharto begitu omnipoten sehingga bebas menggebuk siapa pun yang berani melawannya. Kini, kekuasaan dalam arti luas (power) terdistribusi merata antara Presiden, DPR, lembaga peradilan, LSM, dan media. Belum lagi tuntutan agar hukum ditegakkan secara adil.

Jalur hukum

Jika SBY tidak pernah menerima dana DKP dan merasa kehormatannya ternoda oleh tuduhan-tuduhan miring, tuntut saja pihak-pihak yang dinilai telah memfitnahnya?! Ucapan Presiden, "Saya ini tidak suka sedikit-sedikit menuntut. Ini tidak sehat", memberi pelajaran buruk dari perspektif law enforcement.

Jangan lupa reformasi menuntut tegaknya good governance, jika tidak mau menggunakan istilah kultur Barat. Good governance berarti pemerintahan harus dijalankan secara terbuka dan akuntabel. Masyarakat berhak mengontrol. Setiap pertikaian harus diselesaikan melalui jalur hukum. Jika SBY terus bersikap defensif dan menyatakan tidak menerima uang DKP tanpa tindakan nyata, posisinya akan kian terjepit. Prinsip good governance mengharuskan Presiden memerintahkan penegak hukum untuk menindaklanjuti data peradilan yang diangkat Rokhmin.

Bisa saja sejumlah anggota Tim Sukses SBY-JK atau calon presiden lain menerima bantuan DKP tanpa sepengetahuan capres dan cawapres bersangkutan. Daripada menduga-duga, lebih baik buka-bukaan. Maka, tepat ucapan Amien, "The show must go on." Skandal dana nonbudgeter DKP harus dituntaskan lewat proses hukum!

Tjipta Lesmana Mantan Anggota Komisi Konstitusi

A r s i p