Monday, May 21, 2007

Keberagaman dan Masa Depan Demokrasi

Hendardi

Cita-cita dan berbagai tujuan kehidupan kebangsaan yang lebih baik di masa depan, seperti keadilan, kesejahteraan, perdamaian, dan persatuan, hanya bisa dicapai dengan mengandaikan penerimaan suatu fakta sosio-antropologis bahwa kita berbeda-beda.

Di titik ini, jika orang mengatakan keadilan merupakan syarat kebebasan, maka keadilan sendiri mensyaratkan pluralitas. Hanya dengan kesadaran dan penerimaan bahwa kita berbeda-beda, pertimbangan akan pentingnya membangun kebersamaan, solidaritas, dan keadilan bisa muncul dalam bentuknya yang lebih otentik.

Memelihara keberagaman

Keharusan memelihara keberagaman bukan tanpa alasan jelas. Setelah persoalan demokrasi—selain soal-soal fundamental lainnya—keberagaman sebagai alas bagi kehidupan bersama di sana-sini tampak mulai retak.

Ini tampak dari menguatnya pandangan primordialisme, baik dalam politik, hukum, maupun ekonomi; merebaknya politik identitas dan fundamentalisme serta kekerasan yang berbasis agama, etnis, dan lokalitas.

Kita telah bersusah payah mencapai demokrasi, tetapi dasar paling bawah dari kehidupan demokrasi kita, yakni kebersamaan sebagai komunitas bangsa, kini justru mengalami krisis parah.

Pada wilayah yang lain, salah satu ciri dari mulainya kerusakan ini tampak dari makin merosotnya paham konstitusionalisme. Kehidupan kebersamaan kita sebagai bangsa tidak lagi disoroti dalam semangat konstitusi, tetapi lebih banyak didikte oleh berbagai pandangan partikularistik.

Ini kelihatan dari gejala menguatnya sejumlah peraturan daerah (perda) yang bertentangan dengan asas-asas dalam konstitusi dan Pancasila sebagai dasar kebangsaan kita.

Di atas semua itu, yang paling mengkhawatirkan dari gejala ini adalah, setelah semua fundamen itu roboh, demokrasi pun akan musnah dengan sendirinya.

Dari berbagai pengalaman negara-negara lain dan sejarah, diketahui demokrasi yang mati muda dengan segera bisa menghasilkan suatu sistem dan tatanan yang tak terkira kejamnya, juga kekacauan luar biasa.

Pengalaman Jerman di bawah Nazi menunjukkan bagaimana demokrasi yang mati muda menghasilkan tragedi luar biasa sepanjang sejarah manusia. Sementara negara-negara Eropa Timur yang demokrasinya mengalami kegagalan melahirkan situasi instabilitas dan kekacauan yang panjang.

Ironi demokrasi

Melalui gejala dan kekhawatiran ini, kita menyaksikan ironi dalam kehidupan demokrasi. Dulu kita membenci dan menjatuhkan Orde Baru karena ia, sebagai sistem politik, bermaksud menghancurkan otonomi sekaligus menotalisasi kehidupan kita di bawah suatu esensi dan kesatuan politik yang tunggal.

Dalam Orde Baru, pluralisme diakui, tetapi untuk ditaklukan dan direkayasa. Kini, setelah otoritarianisme Orde Baru ditolak, muncul gagasan dan politik yang sama persis, yakni yang hendak menghancurkan otonomi manusia serta menotalisasi seluruh dunia kehidupan kita ke dalam suatu wadah yang juga tunggal.

Bedanya, pada masa Orde Baru wadah itu adalah Orde Baru sendiri. Kini, totalisasi itu hendak merangkum kita di bawah positivitas metafisik atas nama agama. Ironi di sini adalah, totalisasi ini justru dilakukan melalui jalan dan argumen demokrasi.

Penghancuran keberagaman

Di titik ini, tidak salah kiranya jika kita menilai, setelah otoritarianisme, ancaman terhebat saat ini adalah kehendak untuk menghancurkan keberagaman.

Penghancuran keberagaman akan memecah belah dan menghantar manusia ke sudut-sudut ekstrem yang merupakan awal konflik, kekerasan, dan perpecahan yang lebih besar.

Dari sini ia akan menghadirkan gelombang tragedi dan harga kemanusiaan yang luar biasa, yang tak akan pernah bisa ditanggungkan lagi akibatnya.

Lebih jauh lagi, yang membahayakan di sini adalah, karena yang dihantam adalah segi-segi fundamental atas pendirian Indonesia sebagai bangsa, hantaman terhadap keberagaman secara mendasar akan menghancurkan Indonesia sebagai proyek bersama kita. Kekerasan terhadap keberagaman tidak lain merupakan awal dari penghancuran suatu negara bangsa.

Memperjuangkan keberagaman yang otentik tidak hanya berfungsi memberi semacam suplemen bagi struktur dan pelembagaan demokrasi yang dipunyai kini, tetapi sekaligus melengkapi dan memperkuat fundamen dasar perjuangan demokrasi, hak asasi manusia, dan kebangsaan Indonesia secara sekaligus.

Pada titik ini, penting untuk menyinggung segi-segi instrumental dari ketatanegaraan kita yang baru. Melihat begitu pentingnya prinsip keberagaman bagi eksistensi demokrasi dan ke-Indonesiaan, kita mengharapkan dan memperjuangkan secara sungguh-sungguh suatu jaminan yang lebih memadai di dalam konstitusi dan operasi sistem hukum kita.

Sebagai penutup, sekali lagi penulis tegaskan, memperjuangkan keberagaman hanya bisa dilakukan dengan langkah kebersamaan. Keberagaman hanya bisa diperjuangkan melalui dan di dalam keberagaman itu sendiri.

Hendardi Direktur SETARA Institute for Democracy and Peace

No comments:

A r s i p