Monday, May 21, 2007

YAMP

Oleh : Azyumardi Azra

Membaca buku Retnowati Abdulgani-Knapp, putri tokoh nasionalis almarhum Roeslan Abdulgani, Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia's Second President (Singapura: Marshall Cavendish, 2007), saya menemukan uraian dan pembahasan sangat menarik tentang berbagai yayasan yang merupakan warisan presiden ketiga RI, HM Soeharto.

Entah sekadar kebetulan, pada hari-hari saya membaca karya penting ini, sebuah TV swasta yang semula merupakan milik salah seorang anak Soeharto menurunkan laporan khusus bersambung tentang yayasan-yayasan Soeharto, yang diduga telah diselewengkan dan merugikan negara. Hal terakhir ini tentu saja tidak lagi masalah baru; ketujuh yayasan itu memang telah dan terus dipersoalkan banyak kalangan sejak jatuhnya presiden Soeharto dari kekuasaannya pada Mei 1998.

Salah satu dari yayasan itu adalah Yayasan Amalbakti Muslim Pancasila (YAMP), yang kini dipimpin Sulastomo, mantan ketua umum PB HMI, IDI, dan Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia. Hampir 10 tahun sejak Soeharto lengser dari kekuasaannya dan menempuh hari-hari tuanya dengan berbagai penyakit, bagaimanakah kini YAMP?

Sekadar mengingatkan kembali, YAMP didirikan Presiden Soeharto pada 17 Februari 1982 yang bergerak mengumpulkan dan menyalurkan dana yang berasal dari pemotongan gaji PNS dan ABRI yang beragama Islam. Dana yang dipotong dari gaji itu berkisar mulai dari Rp 50, Rp 100, Rp 500, sampai Rp 1.000. Dengan jumlah potongan seperti itu, agaknya tidak mencapai 2,5 persen dari pendapatan untuk digolongkan sebagai penunaian kewajiban zakat; dan karena itu, potongan itu lebih merupakan sedekah dan infak dari para pemberinya.

Pemotongan itu pada dasarnya sukarela; tetapi karena langsung dipotong dari gaji, maka ia pada praktiknya menjadi wajib bagi setiap PNS dan anggota ABRI. Akibatnya, dapat dikatakan tidak seorang PNS dan anggota ABRI Muslim pun yang bisa terlepas dari pemotongan ini.

Terlepas dari kemungkinan adanya gerutuan dari sejumlah PNS dan anggota ABRI Muslim tentang potongan tersebut, hasil-hasil yang berhasil diwujudkan YAMP untuk kepentingan kaum Muslimin sungguh fenomenal. Sampai 2004 YAM telah mengeluarkan dana sebesar Rp 168 miliar untuk membangun 940 masjid; dan jumlah itu terus bertambah, meski kecepatan pertambahannya tidak sebesar pada masa Presiden Soeharto masih berkuasa.

YAMP sampai hari ini telah membangun masjid-masjid dengan arsitektur khas di 30 provinsi, 216 kota/kabupaten, dan 52 kota kecil seperti Wamena. Juga di kota besar seperti New York, ketika YAMP pada 1995 menyumbangkan 150 ribu dolar AS untuk melengkapi dana pembelian sebuah bekas gudang yang kemudian oleh masyarakat Muslim Indonesia New York diubah menjadi Masjid Al-Hikmah. YAMP pada 1996 juga menyumbang 100 ribu dolar AS untuk pembangunan sebuah masjid di Port Moresby, Papua Nugini.

Lebih daripada itu, YAMP juga menyelenggarakan program yang dikenal sebagai 'Gerakan 1.000 Dai'. Yaitu, pelatihan dan pengiriman para dai ke daerah-daerah terpencil dan lokasi-lokasi transmigrasi. Bekerja sama dengan MUI, telah 2.777 transmigran yang dilatih untuk menjadi dai, dan 968 di antara mereka telah memiliki kualifikasi sebagai imam. Satu program YAMP lainnya adalah membantu pembangunan empat rumah sakit haji, dengan total sumbangan Rp 2 miliar.

Dalam masa pasca-Soeharto YAMP masih bertahan; tetapi pemungutan potongan gaji PNS dan anggota TNI Muslim telah berhenti sesuai instruksi Presiden BJ Habibie tertanggal 16 Juli 1998. Seperti bisa diduga, sejak itu YAMP mengalami kesulitan dalam menggalang dana untuk melanjutkan program-programnya. Pada 2005, misalnya, YAMP hanya mampu menyediakan dana bagi pembangunan 12 masjid, karena di samping dana yang bisa disalurkan kian sedikit, juga karena lonjakan harga bahan bangunan dan upah tukang.

Seperti diungkapkan Retnowati, berbeda dengan enam yayasan lainnya yang terus dipersoalkan sejumlah kalangan, YAMP bahkan dipandang sebagai salah satu sisi terbaik Soeharto. Dengan prestasi dan kontribusi yang telah diberikannya, tak bisa lain YAMP telah memainkan perannya dalam proses peningkatan keislaman umat.

Agaknya, peran YAMP seperti itu belum tersaingi apalagi tergantikan yayasan-yayasan lain di kalangan umat, atau bahkan di lingkungan organisasi-organisasi Islam. Memang, setidaknya dalam dua dasawarsa terakhir, semangat mengeluarkan ZIS atau bentuk-bentuk filantropi lainnya terus meningkat di kalangan umat Muslimin.

Pada saat yang sama, juga kita menyaksikan kemunculan berbagai lembaga ZIS dan filantropi Islam yang dikelola secara lebih profesional. Jika revitalisasi YAMP dan akselerasi lembaga-lembaga filantropi Islam lainnya dapat dilakukan, maka bukan hanya pembangunan masjid dan rumah sakit Islam yang dapat diselenggarakan, tetapi tidak kurang pentingnya, juga advokasi dan pemberdayaan masyarakat marginal yang cenderung terus bertambah jumlahnya dalam masa belakangan ini.

No comments:

A r s i p